Sebagian orang Islam, terutama penganut Islam politik, sangat memuji dan mengidolakan Turki seperti tanah air sendiri. Mereka menaruh harapan besar pada Turki, terutama di bawah kepemimpinan Recep Tayyib Erdogan, untuk menghidupkan kembali “Khilafah Islamiyyah”.
Jika kita mau sedikit jujur membaca sejarah Turki, seperti salah satunya tersaji dalam buku “Turki: Revolusi Tak Pernah Henti”, harapan dan imajinasi kelompok islamis ini (Islam politik) tampaknya terlalu berlebihan dan jauh sekali dari kenyataan.
Tulisan wartawan senior Kompas Trias Kuncahyono ini menceritakan sebuah proses pencarian identitas Turki sejak akhir kekuasaan Kekaisaran Ottoman (Dinasti Utsmaniyyah), revolusi Mustafa Kemal Ataturk, hingga Turki Modern di bawah pemerintahan Erdogan.
Kelompok Islamis pasti membenci Mustafa Kemal Ataturk. Bagi penganut islam politik, pendiri Republik Turki ini (ataturk) memiliki “dosa sejarah” tak terampuni karena telah menghapus Kekhilafan Islam dari muka bumi ini.
Selama enam Abad Kekaisaran Ottoman hampir menguasai separuh dunia. Sebuah Kekhalifaha Islam dengan dua kaki: satu kaki berpijak di Eropa dan satunya lagi di Asia. (kekaisaran Ottoman sebetulnya hanyalah sebuah Dinasti/Kekaisaran seperti Majapahit/Sriwijaya di Nuasantara. Penyebutan “khilafah” adalah klaim politik agar memiliki legitimasi teologis dan politik)
Memasuki Abad 19 satu-satunya kekhalifahan bukan dari bangsa Arab ini mulai merosot, baik dalam kemampuan militer, kekuatan ekonomi maupun politik. Tentara Ottoman gagal memasuki Vienna (1683), batas akhir ekspansi Ottoman ke daratan Eropa. Turki-Rusia berperang (1877-1878). Akibat perang ini Bulgaria yang sudah 500 tahun di bawah kekuasaan Ottoman memerdekakan diri. Setelah itu pecah perang Balkan (1912-1913). Dalam peperangan ini Ottoman banyak sekali kehilangan wilayahnya di Eropa. Puncaknya terjadi Perang Dunia I. Ottoman, Jerman, Austria (central power) melawan sekutu (Inggris Raya, Prancis, Italia, dan Rusia). Setelah mengalami kekalahan dalam Perang Dunia I pengaruh dan kekuasaan Ottoman mulai memudar digantikan negara-negara kuat di Eropa.
Sejak saat itu Ottoman mulai sepenuhnya menghadapkan wajahnya ke Eropa. Sebetulnya ini sudah dimulai sejak periode Selim III (1789-1807). Ia banyak melakukan restrukturisasi pemerintahan dan mereorganisasi militer agar menyerupai tentara-tentara Eropa.
Reformasi pemerintahan dilanjutkan pada masa Sultan Mahmud II (1808-1839). Bahkan, dalam masa pemerintahannya, sudah dibedakan antara urusan agama dan dunia. Untuk persoalan hukum dan pemerintahan mengacu pada konstitusi yang diadopsi dari Eropa. Sekularisasi sudah dimulai sejak masa ini.
Pada 1923 episode sejarah baru Turki dimulai. Mustafa Kemal Ataturk emoh melanjutkan dinasti yang sudah tua dan sakit-sakitan itu (orang Eropa menjuluki Dinasti ottoman saat itu sebagai “sick man of europe). Jenderal besar itu membubarkan “Khilafah Islamiyyah” dan mendirikan Republik Turki (nation-state). Ia ingin menjadikan Turki sebagai negara berdaulat, demokratik, percaya diri, sekular, dan modern.
Sejak Republik Turki diproklamirkan, negara ini tak pernah lepas dari bayang-banyang militer. Mustafa sengaja memposisikan militer sebagai guardian ideologi kemalisme, yaitu: republikanisme, nasionalisme, populisme, sekularisme, revolusionalisme, dan statisme. Kemalisme ini ibarat Pancasila di Indonesia.
Mustafa membatasi ruang gerak militer agar tidak aktif dalam politi praktis (militer kembali ke barak). Namun konstitusi membenarkan militer melakukan intervensi politik jika orientasi kepemimpinan sipil mulai melenceng dari ideologi kemalisme.
Karena itu, semenjak didirikan 1923, sudah terjadi lima kali kudeta militer. Tahun 1960 militer mengambil alih kekuasaan politik Perdana Menteri (PM) Adnan Manderes. Pada 1971 menyingkirkan PM Suleyman Damirel. Pada September 1980 Kepala Staf Jenderal Kenan Evran melakukan kudeta militer. Dan di masa kepemimpinan Necmettin Erbarkan pada 1997 militer kembali mengambil alih kekuasaan sipil yang dikenal dengan “soft” kudeta. Selanjutnya, pada 15 juli 2016 di bawah kekuasaan Erdogan, militer kembali melancarkan kudeta namun gagal.
Erdogan banyak melakukan reformasi politik dan secara pelan-pelan mulai menutup celah bagi militer untuk melakukan intervensi politik. Ia membangkitkan kembali sentimen serta simbol-simbol keagamaan yang di era sebelumnya dianggap tabu. Majalah “The Economist” memuat cover story Erdogan dengan judul “Erdogan’s New Sultante”.
Erdogan adalah seorang nasionalis-relijiuas sekaligus politikus pragmatis. Sebagaimana pemimpin-pemimpin sebelumnya, Erdogan menginginkan Turki tergabung dalam Uni eropa, menjadikan Turki sebagai negara modern, pro pasar bebas, dan sama sekali tak memiliki cita-cita pan islamisme.
Dalam imajinasi dan keyakinan penganut islam politik, Erdogan dianggap “nabi” baru pembawa “risalah” khusus untuk menghidupkan kembali “Khilafah Islamiyyah” yang “mati suri” akibat terhempas badai sekularisme dari Barat. Sayang sekali, itu semua hanyalah sebatas mimpi dan angan-angan, sejenis wahm yang menjangkiti islam politik.
Walhasil, tidak aneh ketika seorang Felix Siau mengejek, menghina, dan menolak mentah-mentah Islam Nusantara karena visi, misi, mimpi, dan cita-cita politi Felix adalah Islam Turki dan Islam Nusantara bisa menghalangi dan membuyarkan semuanya.