Tiga tahun menunggu kejelasan, kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik senior KPK, Novel Baswedan, memasuki babak baru.
Teranyar, Tim Advokasi Novel Baswedan menilai bilamana tuntutan terhadap dua terdakwa penyerangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat mengungkapkan fakta yang sebenarnya dalam kasus ini.
“Sandiwara hukum yang selama ini dikhawatirkan oleh masyarakat akhirnya terkonfirmasi. Penuntut pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta hanya menuntut dua terdakwa penyerang Novel Baswedan satu tahun penjara,” bunyi kutipan rilis tertulis Tim Advokasi Novel Baswedan dari salah satu anggotanya, Muhammad Isnur, Kamis, 11 Juni 2020 seperti dikutip Tempo.
Lebih jauh, Isnur menilai bahwa tuntutan terhadap kedua terdakwa tidak hanya sangat rendah, tetapi juga memalukan serta tidak berpihak pada korban kejahatan.
Apalagi, kata dia, perbuatan yang dilakukan kedua terdakwa merupakan serangan brutal terhadap penyidik KPK.
“Penuntutan tidak bisa lepas dari kepentingan elite mafia korupsi dan kekerasan,” kata Isnur.
Seperti diketahui, dua penyerang Novel yang merupakan polisi aktif, Brigadir Rahmat Kadir Mahulettu dan Brigadir Ronny Bugis, telah menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Menurut Jaksa, Ronny dan Rahmat telah terbukti melakukan penganiayaan berat dan terencana. Penilaian itu didasarkan pada upaya kedua terdakwa dalam memantau rumah Novel sebelum melancarkan aksinya. Terlebih, Novel mengalami luka berat pada matanya.
Meski begitu, jaksa hanya menuntut ringan kedua pelaku dengan hukuman masing-masing 1 tahun penjara.
Jaksa menyatakan tuntutan ringan itu lantaran keduanya sudah meminta maaf, menyesal, kooperatif, serta telah mengabdi sebagai anggota Polri selama 10 tahun.
“Hal-hal yang memberatkan, terdakwa telah menciderai institusi Polri. Hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, mengakui perbuatan, bersikap kooperatif dan mengabdi sebagai anggota Polri selama 10 tahun,” kata jaksa Ahmad Patoni dalam sidang pada Kamis (11/6).
Baik Ronny maupun Rahmat dinilai telah terbukti melakukan dakwaan subsider yakni melanggar Pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebagai pihak yang dirugikan, Novel tentu saja tak terima dengan tuntutan ringan tersebut. Dia akhirnya angkat suara.
Novel mengaku sudah melihat banyaknya permasalahan sejak persidangan pertama digelar. Ia bahkan merasa malu akibat terus menerus mengkritisi kecacatan yang muncul dalam proses persidangan itu.
“Dalam sidang ini begitu nekat, permasalahan di semua sisi terjadi dengan terang. Saya sudah tanggapi dengan tidak percaya sejak awal, hingga malu sebenarnya terus mengkritisi kebobrokan ini,” ujar Novel.
Kebobrokan tersebut, kata Novel, adalah sebagai fakta dari hasil kerja Presiden Jokowi dalam membangun sistem hukum di Indonesia.
Akankah Novel Baswedan mendapat keadilan yang setara? Entahlah. Yang jelas, melihat rentang waktu antara tiga tahun menunggu keadilan dengan hukuman satu tahun rasanya memang tidak sebanding. Lebih-lebih, yang satu tahun itu diputuskan karena alasan meminta maaf, menyesal, kooperatif, dan telah mengabdi sebagai anggota Polri selama 10 tahun. Dipikir ini adalah kecelakaan lalu lintas kali, yang bisa diselesaikan secara “kekeluargaan”.