Tulisan Ulil Abshar Abdalla, Seri Pertama: Soal Tambang dan Fikih Lingkungan

Tulisan Ulil Abshar Abdalla, Seri Pertama: Soal Tambang dan Fikih Lingkungan

Berikut ini penjelasan, jawaban dan analisis Intelektual Muslim dan Ketua PBNU Ulil Abshar Abdalla soal tambang untuk ormas Keagamaan

Tulisan Ulil Abshar Abdalla, Seri Pertama: Soal Tambang dan Fikih Lingkungan

TULISAN pendek ini saya kemukakan sebagai pelengkap kolom saya di Kompas (20/7) yang lalu. Niat saya menulis catatan ini bukan untuk MEMENANGKAN debat atau adu argumen. Saya hanya mengemukakan sudut pandang yang lain tentang isu tambang dan lingkungan.

Dengan kata lain, saya tidak memiliki pretensi “missionaris” dalam pengertian mengubah pandangan anda karena membaca tulisan ini. Jika anda “terbujuk” dan teryakinkan oleh argumen dalam tulisan ini, alhamdulillah. Jika tidak, tak masalah. Saya hanya mengemukakan pandangan yang berbeda saja.

Karena tak memiliki niat “misionaris”, maka saya juga tidak punya rencana untuk melakukan polemik berkepanjangan. Jika suatu ide dikemukakan, lalu, ditanggapi, ditanggapi-balik, kemudian ditanggapi balik kembali, maka, bagi saya, itu sudah cukup. Yang penting teman-teman sudah mendapatkan gambaran tentang perbedaan sudut pandang tentang masalah ini.

Tujuan lain dari tulisan saya ini (semoga saja berhasil) adalah untuk “mematahkan” kleim bahwa hanya ada satu versi saja dalam memahami soal lingkungan, climate change; bahwa soal climate change sudah merupakan konsensus di kalangan saintis.

Kenapa saya menarik isu tambang ini ke soal besar tentang “climate change”? Karena, menurut saya, memang asal-usulnya dari sana. Kalau diskusi tidak ditarik ke isu itu, kita hanya berputar-putar di pinggir kolam saja; tidak “njegur” atau menceburkan diri ke dalam palung kolam itu.

Baik, mari saya mulai mengetangahkan gagasan saya.

*

Fikih lingkungan

Berkali-kali saya mengetengahkan gagasan soal “fikih lingkungan” dan dengan keras membedakannya dari “ideologi lingkungan”. Apa yang saya maksud dengan gagasan itu?

Fikih lingkungan adalah cara memandang segala sesuatu dengan sudut pandang fikih (tentu yang saya maksud dengan fikih di sini juga mencakup dua aspek sekaligus: ushul fikih dan kaidah fikih). Fikih adalah tradisi khas ulama dan kiai NU. Sebagai warga NU, saya lebih suka menggunakan pendekatan ini ketimbang pendekatan lain.

Tentu saja fikih tok tidak memadai.

Kiai Sahal Mahfudz (mantan Rais Aam dan Ketum MUI, sekaligus guru saya yang saya anggap sangat alim dalam bidang fikih) pernah menggagas apa yg dia sebut “fikih sosial”. Yakni, fikih yang didaya-gunakan serta dikembangkan untuk menjawab masalah-masalah sosial, termasuk soal lingkungan. Agar fikih konvensional menjadi fikih sosial, demikian kira-kira kata Kiai Sahal, maka fikih yang ada harus dilengkapi dengan pendekatan multi-disiplin, termasuk filsafat, sosiologi, dan piranti-piranti keilmuan yang lain.

Tetapi, walau menggunakan piranti ilmu yang beragam, pada akhirnya fikih sosial adalah fikih dengan ciri-cirinya yang khas. Salah satu ciri fikih sejak dulu adalah: terbuka pada pandangan yang beragam (ta’addud al-ara’), realis/pragmatis (dalam pengertian memperhatikan aspek praktis di lapangan, bukan semata-mata teoritis), kontekstual, dan dinamis. Tentu masih ada banyak ciri yang lain untuk fikih sebagai “diskursus ilmiah”. Saya hanya menyebutkan beberapa saja.

Kaidah dasar fikih, terutama dalam melihat masalah-masalah yang disebut “mu’amalah” (public affairs) adalah sederhana: al-ashlu fi-l-mu’amalati al-ibahah; hukum dasar dalam segala hal yang terkait dengan mu’amalah adalah boleh, kecuali jika ada dalil agama yang jelas-jelas mengharamkannya.

Baca juga: Melampaui Ideologi dan Fikih: Kritik atas Tulisan Ulil Abshar Abdalla soal Tambang

Dalil ini memberikan keleluasaan bagi umat Islam untuk mengeksplorasi segala aktivitas duniawi dengan segala renik-renknya, termasuk aktivitas mengelola bumi dan segala isinya. Tentu saja eksplorasi ini harus didasari oleh pertimbangan mashlahat dan mafsadat.

Tidak seperti dugaan orang pada umumnya, pendeatan fikih justru tidak menekankan aspek halal-haram. Tuduhan seperti ini “imma” datang dari orang-orang yang tidak tahu fikih sama sekali, atau orang-orang yang memiliki bias “modernisasi” yang salah arah. Pendekatan fikih justru menekankan aspek “ibahah” (permissibility) atau kebolehan segala hal asal tidak ada larangan yang tegas dari agama.

Dengan nalar semacam inilah, kurang lebih, NU dulu menerima Pancasila pada 1983, dengan resiko dicaci maki kiri-kanan; dituduh oportunis, takut dan takluk pada rezim Orba, ingin dekat dengan pemerintah, dan sebagainya.

Caci-makian pada NU saat itu (yang masih mengalami zaman itu pasti ingat) tak kurang dari caci maki yang berhamburan saat ini saat NU menerima tawaran konsesi tambang dari pemerintah.

Baca juga: Polemik Pemberian Izin Tambang, Ketua Umum PBNU: Memanfaatkan Batu Bara itu Tidak Otomatis Haram

Saat itu NU tidak mundur; jalan terus dengan keputusannya untuk menerima Pancasila. Saat ini, menerima Pancasila tentu dipandang sebagai hal sepele dan remeh; sama sekali tidak istimewa. Tetapi pada zamannya, keputusan ini menimbulkan kontroversi dan cacian yang luar biasa.

Kembali kepada pokok masalah, pertimbangan dasar dalam menyikapi segala hal dalam soal mu’amalah, menurut saya, ada dua: (1) dalil al-istishab, yakni kebolehan segala sesuatu sebagai hukum asal; dan (2) kemaslahatan (al-maslahah al-mursalah). Tentu saja bisa ditambahkan dalil atau pertimbangan lain sebagai pendukung.

Mari kita terapkan kerangka ini dalam soal tambang. Apakah tambang, terutama batubara (karena inilah yang menjadi “mahallun niza’”, sumber kontroversi, saat ini), haram atau halal?

Dalam fikih, ada tradisi menjawab segala hal dengan metode tafsil, alias diperinci. Ini mirip dengan metode yang dalam ilmu debat (al-jadal, disputatio) disebut “al-sabr wa al-taqsim” (observasi dan kategorisasi). Dalam fikih, kita tidak bisa menghukumi sesuatu secara “gelondongan” (kulli), umum, tanpa diperinci.

Pertanyaan di atas bisa dijawab dengan tafsil atau perincian. Sesuatu bisa dipandang haram (atau halal) dari dua sudut pandang: li-dzatihi, pada dirinya sendiri, atau li-ghairihi, karena sesuatu di luar dirinya. Tambang, termasuk batubara, pada dirinya sendiri (li dzatihi) jelas tidak bisa disebut haram.

Tidak ada dalil agama (Islam) manapun yang mengharamkan tambang dan pengelolaannya. Karena itu ia masuk dalam kaidah asal tentang kebolehan segala sesuatu. Sama dengan sawah, tambak, sungai, hutan, laut dan sumber-sumber daya alam yang lain, tambang adalah anugerah Tuhan yang diperuntukkan bagi manusia untuk dimanfaatkan bagi sebesar mungkin kemaslahatan umum.

Tambang pada dirinya jelas tidak haram. Ia jelas halal. Ia adalah anugerah Tuhan bagi manusia, terutama bagi bangsa Indonesia. Kampanye aktivis lingkungan akhir-akhir ini untuk ma-najis-kan dan mengharamkan tambang harus ditolak.

Baca juga: Isu Tambang Bukan Sekadar Ideologi dan Fikih, Catatan untuk Ulil Abshar Abdalla

Kampanye ini, selain tidak bisa dipertahankan dari sudut nalar fikih dan “common sense” biasa, juga lemah secara saintifik. Bagian ini akan saya bahas dalam seri kedua tulisan ini. Bagian ini hanya mengkhususkan diri pada aspek fikih saja.

Meski demikian, sesuatu yang semula halal pada dirinya (li-dzatihi), karena keadaan tertentu (bahasa fikihnya: li-‘aridlin), bisa berubah menjadi haram. Ia disebut sebagai “haram li-ghairihi”, haram karena sesuatu yang ada di luar dirinya.

Jika pengelolaan tambang ditempuh dengan cara-cara yang menimbulkan mafsadat terlalu besar, maka ia bisa menjadi haram. Tetapi keharaman di sini bukan sesuatu yang bersifat li-dzatihi. Pada dirinya sendiri tambang tidak bisa diharamkan. Dia halal berdasarkan premis “istishab al-ashl”, kebolehan sesuatu dari segi hukum asalnya.

*

Kalkulasi maslahat-mafsadat

Salah satu nalar yang dipakai dalam fikih adalah kalkulasi masalahat-mafsadat, “harm and benefit”. Dalam banyak kasus kita menjumpai sesuatu yang tidak hanya mengandung maslahat (manfaat), melainkan dua hal sekaligus: masalahat dan mafsadat (kerugian).

Dalam kasus yang lain, kita bahkan menjumpai keadaan di mana ada dua mafsadat sekaligus: mafsadat yang satu lebih besar dari yang lain. Keadaan-keadaan seperti ini jelas menimbulkan dilema moral. Menghadapi keadaan seperti ini, fikih mengenalkan dua kaidah pokok:

(1) Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil masalih: menghindari mafsadat atau bahaya harus diprioritaskan katimbang memburu maslahat. Contoh yang biasa dipakai dalam literatur fikih ialah: memperjual-belikan “liquor” atau minuman beralkohol (muskirat). Meskipun jual-beli khamar atau minuman beralkohol mengandung maslahat (berupa keuntungan atau laba jual beli), tetapi status khamar sendiri adalah haram. Karena itu jual beli khamar diharamkan. Pengharaman jual beli khamar didasarkan pada nalar: jika ada hal mengandung maslahat dan mafsadat sekaligus, maka aspek mafsadat yang harus didahulukan.

Kaidah kedua adalah:

(2) Idza ta’aradlat mafsadatani ru’iya akhaffuhuma: jika ada dua tindakan yang sama-sama mengandung mafsadat (bahaya), dipilihlah tindakan yang paling kecil mafsadat-nya. Dalam filsafat etika ini dikenal dengan prinsip “lesser evils” seperti dibahas oleh Aristoteles dalam karyanya yang masyhur, “Nicomachean Ethics.” Contoh yang terkenal dalam dilema moral seperti ini adalah: bus yang rusak remnya dan hendak tercebur jurang. Jika supir membelokkan bus, seluruh penumpang akan selamat, tetapi dengan resiko menabrak seorang anak yang sedang melintas. Jika ia terus, bus akan tercebur ke jurang dan seluruh penumpang akan tewas. Mana pilihan yang harus diambil oleh supir?

Contoh yang dipakai dalam literatur fikih adalah kasus berikut ini: seorang yang sedang haji dan terancam mati karena kelaparan. Di hadapannya hanya tersedia dua pilihan untuk “survive”: memakan bangkai (yang diharamkan oleh agama), atau memakaj daging hewan hasil buruan (yang juga diharamkan dalam agama; semua hewan yang ada di tanah suci tidak boleh diburu dan diganggu untuk menghormati kesucian tanah suci).

Baca juga: NU dalam Pusaran Tambang: Untung atau Buntung?

Menghadapi keadaan dilematis seperti ini, fikih memberikan jalan keluar: boleh memakan daging hewan buruan walau pun haram. Sebab level keharamannya lebih ringan dari bangkai.

Dalil-dalil semacam ini memberikan keleluasan bagi seorang “faqih” (ahli fikih) untuk menimbang-nimbang kalkulasi maslahat-mafsadat atau mafsadat besar vs mafsadat yang lebih ringan. Tentu saja setiap ulama akan sampai kepada kesimpulan yang berbeda, karena ia memiliki pertimbangan yang berbeda pula dalam menentukan kalkulasi masalahat-mafsadat tersebut. Dalam nalar fikih, perbedaan dalam menentukan hukum adalah hal biasa. Perbedaan dalam fikih disebut sebagai “khilafiyyat”, sesuatu yang sudah lumrah terjadi sejak dahulu. Perbedaan dalam hal “khilafiyyat” tidak membuat seseorang harus dikafirkan.

Ini berbeda dengan situasi saat ini. Di dalam dunia sekular (teeutama di Barat) yang diasumsikan telah “bersih” dari diskriminasi dan persekusi karena alasan-alasan keagamaan, kita menyaksikan munculnya kembali persekusi dalam bentuk lain: yaitu apa yang disebut dengan “cancel culture”, budaya meng-cancel atau mengucilkan orang lain (hingga menutup akses orang yang bersangkutan pada pekerjaan) karena perbedaan pandangan dalam isu-isu tertentu yang memang “polarizing”, memecah belah. Isu climat change masuk dalam kategori ini. Seseorang yang memiliki pandangan yang (sebut saja) heterodoks atau menyimpang dari “the so-called” ortodoksi sains mengenai climate change, akan mengalami peng-cancel-an. Ini terjadi karena soal lingkungan sudah berubah menjadi isme atau ideologi.

Kalau memakai bahasa Islam, di Barat isu lingkungan ini sudah berubah menjadi “akidah” (dalam bentuknya yang telah disekularkan, tentunya!), bukan lagi isu fikih. Kecenderungan meng-akidah-kan isu lingkungan (climate change), menurut saya, yang menjadi sumber dari pandangan yang diam-diam menajiskan tambang. Saya memandang, masalah tambang ini harus di-downgrade ke level fikih saja. Ini masalah khilafiyyah biasa. Perbedaan tak usah menyebabkan seseorang “dikafirkan”, yakni di-cancel, dianggap jahat. Kecenderungan ini saya lihat di kalangan para aktivis lingkungan, atau sekurang-kurangnya sebagian dari mereka.

*

Bagaimana menerapkan dua kaidah di atas dalam kasus tambang saat ini? Saat ini ada gerakan internasional untuk menangani pemanasan global dan perubahan iklim dengan apa yang disebut net zero emission (NZE), yaitu menjaga keseimbangan antara gas rumah kaca yang dikirim (dari bumi) dan dikeluarkan (dari atmosfer) sehingga mencapai hasil akhir: nol.

Lepas dari soal kontroversi dan pro-kontra di antara para saintis mengenai “natuur” atau watak dari climate change (apakah peran manusia cukup besar atau minimal saja), yang jelas ada langkah global yang sudah diambil oleh sejumlah negara untuk menanganinya. Masing-masing negara membuat komitmen untuk mengurangi emisi karbon dan gas rumah kaca lain. Setiap negara memiliki jadwal masing-masing untuk mencapai titik net zero. Indonesia, misalnya, menargetkan akan mencapai net zero pada 2060, kalau tidak salah.

Dengan kata lain, hingga tahun itu, masih ada ruang bagi negeri kita untuk memanfaatkan energi fosil yang dipandang sebagai sumber emisi karbon dan menimbulkan pemanasan global atau efek rumah kaca.

Logic yang mendasari kebijakan net zero ini, menurut saya, adalah kaidah “idza ta’aradlat mafsadatani” atau prinsip “lesser evils” di atas. Sebab, mustahil menghentikan penggunaan energi fosil seperti minyak, gas, dan batubara secara mendadak saat ini. Terminasi secara total penggunaan batubara sekarang juga jelas akan menimbulkan mafsadat (chaos/kekacauan) besar, sebab mayoritas konsumsi energi yang kita pakai hari-hari ini, terutama untuk listrik, masih dipasok oleh batubara. Berapa juta orang yang terdampak oleh kebijakan terminasi semacam ini? Berapa juta murid yang harus kehilangan kesempatan belajar karena mati listrik akibat terminasi penggunaan batubara, misalnya? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Di sini, kita berhadapan dengan situasi dilematis: antara memakai batubara tetapi menimbulkan emisi karbon yang bisa menyebabkan pemanasan global, atau menghentikannya sama sekali, tetapi bisa menimbulkan kekacauan yang luar biasa. Di sinilah kita berhadapan dengan dilema moral. Dari dua mafsadat di atas, kita harus memilih mafsadat yang lebih ringan. Hasilnya ialah: tetap memakai batubara sambil pelan-pelan menyiapkan strategi untuk transisi ke energi non-fosil.

Dengan memakai nalar fikih seperti ini, kita bisa mencapai semacam “win-win solution”, meskipun tidak sempurna. Kita tetap memperhatikan aspek lingkungan dengan menetapkan jadwal bagi net zero emission secara gradual, tetapi di pihak lain kita juga memperhatikan kebutuhan masyarakat akan listrik yang terjangkau. Dengan kebijakan seperti ini, mafsadat yang lebih besar (yaitu kekacauan sosial karena terminasi penggunaan energi fosil secara mendakak) bisa dihindarkan.

Dengan demikian kita bisa menyimpulkan beberapa hal berikut: batubara pada dirinya sendiri (li dzatihi) jelas tidak haram. Batubara adalah bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada bangsa ini; sama seperi sawah, sungai, hutan, lautan, dll. Ia harus dikelola sebaik-baiknya untuk kemaslahatan manusia.

Meski tambang adalah halal “li dzatihi”, tetapi, karena situasi tertentu, ia bisa menjadi haram. Ini terjadi, misalnya, pada kasus ketika tambang dieksplorasi secara sembarangan sehingga menimbulkan kerusakan alam dan bencana alam. Pengelolaan tambang dan sumber daya alam pada umumnya haruslah memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh aturan.

Dengan memakai nalar fikih ini, ada hal yang bisa kita hindari, yaitu menganggap bahwa tambang, terutama batubara, adalah barang najis dan haram. Pandangan aktivis lingkungan atau para simpatisannya agaknya cenderung ke arah menajiskan ini.

Dari mana asal-usul pandangan yang “ekstrem” seperti ini? Saya akan membahas dalam seri tulisan kedua besok.[]