Tulisan Gus Mus: Mata Air

Tulisan Gus Mus: Mata Air

Tulisan Gus Mus ini jernih sekali melihat persoalan

Tulisan Gus Mus: Mata Air
Tauhid

Jarak waktu kehidupan kita sekarang ini dengan kehidupan pemimpin agung kita Rasulullah SAW sudah mendekati 15 abad. Ibarat air sungai, kita sudah sangat jauh dari mata air. Boleh jadi sudah mendekati muara. Maka air sungai pun sudah semakin keruh, nyaris tak terlihat lagi warnanya. Tinggal namanya saja.

Berbaur dengan limbah nilai-nilai baru yang dikemas begitu menarik oleh kehidupan serba materi yang mendominasi dunia dewasa ini, ajaran dan keteladanan Rasulullah SAW sering tak jelas lagi. Kalau pun tampak, kebanyakan sekedar dagingnya belaka. Peringatan-peringatan Maulid Nabi yang digelar dalam kemas yang begitu-begitu saja dengan isi yang kurang lebih permanen dari Rabi’ul Awal ke Rabi’ul Awal, tak cukup berarti di sela-sela derasnya banjir ‘pengajian lain’ yang lebih menggiurkan yang secara rutin dan tertib melanda rumah-rumah.

Setiap kali kita menyebut suatu perangai atau perilaku pemimpin agung kita Muhammad SAW, kita hanya terkagum-kagum seperti mendengar dongeng nan indah. Apalagi di zaman dimana kebanyakan pemimpin tidak lagi mecerminkan sosok pemimpin yang pantas disebut pemimpin, pemimpin yang membantu memudahkan orang menghormati dan meneladaninya. Mereka yang terlanjur disebut pemimpin dewasa ini, bila diingatkan akan keagungan Rasulullah SAW, mungkin akan berdalih, “Itu kan Nabi pemimpin agung yang mendapat wahyu Ilahi, mana mungkin kami bisa menirunya. Lagi pula kalian sebagai umat juga tidak seperti para shahabat Nabi.”

Seperti juga air sungai yang masih jernih ketika baru saja meninggalkan mataairnya, para pemimpin salaf masih dapat dengan jelas kita lihat benang merah yang menghubungkan mereka dengan kepemimpinan Rasulullah SAW. Aroma keharuman akhlak mereka masihanduk kesemerbakan uswah hasanah-nya. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat melihat shahabat Abu Bakar Shiddiq, misalnya, masih dapat dengan jelas melihat kelembutan; kasihsayang; dan kearifan kenabian melalui pribadi khalifah pertamanya ini. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat melihat shahabat Umar Ibn Khatthab, masih dapat dengan jelas menyaksikan kesederhanaan; kedemokratan; dan keadilan kenabian melalui pribadi Amirulmukminienini.

Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat melihat shahabat Utman Ibn ‘Affan, masih dapat dengan jelas merasakan; kesantunan; kedermawanan; dan keikhlasan kenabian melalui pribadi Dzun Nurain ini. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat mengenal shahabat ‘Ali Ibn Abi Thalib, masih dapat dengan jelas menghayati keilmuan; kezuhudan; dan keberanian kenabian melalui pribadi Babul Ilmi ini.

Jika mau, Anda bisa melanjutkan sendiri dengan contoh-contoh agung lainnya seperti Tholhah Ibn ‘Ubaidillah; Zubeir Ibn ‘Awwam; ‘Abdurrahman Ibn ‘Auf; Sa’d Ibn Abi Waqqash; Sa’id Ibn Zaid; Abu ‘Ubaidah Ibn Jarrah dan masih banyak lagi dari para pemimpin salaf –radhiaLlahu ‘anhum ajmaien– yang meneruskan tradisi Nabi: menebar kasih sayang. Rahmatan lil ‘aalamien!

Kalau mereka terlalu jauh, Anda masih dapat mencari-cari dari teladan-teladan mulia yang datang belakangan, seperti khalifah Umar Ibn Abdul Aziez; imam Hasan Bashari; imam Abu Hanifah; imam Malik, imam Syafii; imam Ahmad; imam Juneid; imam Ghazali; syeih Syadzily; syeikh Abdul Qadir Jailani; dlsb. Atau yang lebih belakangan lagi: Hadlratussyeikh Hasyim Asy’ari …hingga Kiai Abdu Hamid Pasuruan. RahimahumuLlhu ajma’ien.

Setiap bulan Rabi’ul Awal, memang banyak di antara kita yang sengaja mendatangi tempat dimana ‘percik-percik’ kebeningan mata air coba dikemukakan. Sekilas-sekilas kemilau kejernihannya tampak oleh kita; namun belum sempat kita menyerap kesegarannya, sampah-sampah yang membanjiri sungai sudah melanda kita.

Gemerlap sampah-sampah yang deras itu begitu canggih menutupi sisa-sisa air mata air, hingga kita tak lagi dapat atau sempat membedakan mana yang warna sampah dan mana yang warna air. Kekeruhan yang sempurna. Masya Allah!

Meratapi nasib saja tak ada gunannya. Kita yang berada di hilir ini masih bisa menapis dan menyaring untuk mendapatkan air yang bersih. Apalagi zaman sekarang menyediakan berbagai fasilitas canggih untuk itu. Tinggal kita. Maukah kita menyempatkan diri melakukan penapisan dan penyaringan itu, atau bahkan mau bersusah payah naik ke hulu, mencari mata air. Ataukah kita masih asyik dan sibuk dengan sampah-sampah limbah hingga tak merasa perlu dengan air jernih nan bersih?

sumber: Gus Mus, gusmus.net