Menggugat Tujuan Ibadah yang Hanya untuk Surga-Neraka

Menggugat Tujuan Ibadah yang Hanya untuk Surga-Neraka

Jika tujuan ibadah kita adalah demi pahala dan/atau (sekaligus) menghindari siksa neraka,ibadah hanya jadi kemestian dan bukan kebutuhan.

Menggugat Tujuan Ibadah yang Hanya untuk Surga-Neraka
Foto: Elik/Islamidotco

Tidak ada agama dapat tumbuh, mengikat ikatan umat, bertahan dari generasi ke generasi tanpa adanya ritual dan ibadah. Bahkan jikapun ada agama yang tidak memiliki ritual sama sekali, ketiadaan ritual itu sendiri justru merupakan ritual.

Secara sederhana, ritual dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran berketuhanan dan kesadaran berkeyakinan (keimanan) di dalam agama tersebut. Ia bersifat tegak ke atas, transedental, vertikal menuju Tuhan—walau dalam Islam, Tuhan diyakini sebagai melampaui ruang dan waktu sehingga tidak dibatasi lokus dan modus operandi-nya.

Namun begitu, ritual juga dimaksudkan sebagai proses internalisasi nilai-nilai dan prinsip-prinsip moralitas dalam membangun relasi sosial (muamalah) sehingga semestinya garis tegak transenden itu ditopang/dilengkapi oleh garis lurus horizontal sehingga melahirkan garis tegak dan lurus yang dalam bahasa matematika berderajat 90 dan bernilai tangen tak terhingga, sedangkan dalam konteks diskursus Islam bermakna istiqomah (tegak-lurus).

Alhasil, harus ada kesinambungan antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Dengan kata lain, ketaatan ritualistik kita harusnya membekas nilai-nilai pada sikap dan perilaku sehari-hari.

Itu sebabnya Tuhan bahkan bersumpah dengan menggunakan lafaz inna taukid (penguatan/penegasan), bahwa shalat dalam mencegah kita dari perilaku keji dan mungkar. Karena jika kita berhasil menginternalisasi nilai-nilai dan prinsip-prinsip shalat, maka dalam hati kita ada atsar sujud yang membuat kita menjadi pribadi yang senantiasa khusyuk, tuma’ninah, penuh doa, dan secara sukarela menjadi duta salam alaikum.

Tetapi bahwa itu tidak selalu terjadi adalah benar. Ada kesulitan luar biasa untuk mewujudkan konsep ideal tersebut, sehingga Gus Mus perlu mengklasifikasi kesalehan ke dalam dua jenis: saleh ritual dan saleh sosial. Apalagi, muncul kecenderungan apa yang Gus Dur sebut Islam formalistik, yaitu ekspresi Islam yang orientasi pokoknya hanya pada formalisme ritual dan simbol-simbol yang dianggap simbol agama.

Kegelisahan serupa disuarakan Moh. Hatta saat memberi istilah ‘Islam gincu’, yakni Islam yang diekspresikan sebagai hanya aksesori dan kosmetik tanpa sublimasi nilai-nilai yang terinternalisasi di dalam dada.

Situasi tersebut mungkin berhubungan dengan meningkatnya religiusitas di kalangan umat Islam Indonesia di tengah naiknya kelas menengah Muslim sehingga Islam bergerak menjadi komoditas bisnis lalu industri.

Muncul, misalnya, industri halal untuk merespon kebutuhan religiusitas sekaligus penegasan atas identitas keagamaan tetapi jika disasar lebih jauh, fenomena tersebut masih berada di dalam level syariat—atau dalam bahasa Cak Nun, masih pada tataran ‘kulit mangga’: belum kepada daging apalagi bijinya.

Kebetulan dalam ranah tasawuf dikenal tiga proses mikraj keislaman seseorang mulai dari syariat, tariqat, dan hakikat. Syariat masih pada tahap paling superfisial, tetapi untuk mencicipi saripati nilai-nilai Islam seseorang butuh menjadi salik dan menjalani tarikat untuk menemukan kesejatian, menemukan hakikat.

Kedua perjalanan naik kelas itu  sangat berat, seperti menyelam ke kedalaman samudera yang tidak hanya butuh latihan tetapi juga keberanian, dan biasanya selepas sampai pada hakikat, agama tidak lagi dianggap sebagai festival yang butuh komoditas terindustralisasi.

Dan salah satu cara untuk melakukan upaya internalisasi, demi menjalani tarikat agar Islam kita tidak sekadar formalisme dan kosmetik, bagi kalangan awam seperti kita, adalah melalui penggubahan orientasi ritual peribadatan mahdah (ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah).

Kenapa ini penting? Pertama, biasanya iming-iming yang diajarkan kepada kita di sekolah-sekolah agama, ihwal pentingnya melaksanakan ritual keagamaan adalah ancaman siksa neraka dan pahala besar berhadiah surga. Misalnya, ketika berbicara soal tarawih, yang ditekankan selain tata caranya, adalah juga pahala-pahalanya yang luar biasa.

Alhasil, orientasi ibadah kita adalah demi pahala dan/atau (sekaligus) menghindari siksa neraka. Ibadah jadi kemestian dan bukan kebutuhan, lalu bergerak menjadi kebiasaan yang dikerjakan separuh-sadar alias auto-pilot.

Ini bukan berarti bahwa ibadah tidak boleh berorientasi pahala dan/atau karena takut siksa neraka, ya, tetapi itu saja tidak cukup. Kenapa? Karena itu membuat ritual ibadah jadi terisolasi dari misi sosialnya mencetak manusia yang toleran, berintegritas, suportif, dan tidak melampaui batas.

Kita jadi tidak mampu melihat korelasi antara takbiratul ihram shalat dengan keharusan menjadi rendah hati; kita tidak melihat puasa sebagai proses menahan diri agar tidak reaktif merespon sesuatu (termasuk di sosial media); dan bagaimana zakat dan sedekah, misalnya, bertujuan mendorong keterwujudan welfare state.

Sehingga kedua, kita perlu melihat ritual ibadah sebagai proses self-meditation dan/atau self-healing, sehingga ketika kita sudah ‘tuntas’ dengan diri kita, kita mungkin dapat menjadi pribadi yang lebih baik di tengah masyarakat yang lebih luas.

Kita mungkin akan kesulitan menjadi duta damai jika kepada diri sendiri saja kita masih bersitegang, ditawan insekuritas, ditipu logical fallacy, disulut kesumat dan amarahnya oleh perasaan dikalahkan oleh nasib.

Dalam Al-Qur’an Allah berfirman, ala bidzikrillahi tatmainnul qulub, hanya dengan mengingat Allah-lah hatimu akan tenang. Jika zikir beribu-ribu kali, shalat sekian ratus kali seumur hidup, belum mampu membuat hati kita tenang, mungkin ada yang salah dengan orientasi zikir dan shalat kita.

Karenanya, ketiga, kita perlu juga melakukan pemaknaan atas ritual ibadah yang diperintahkan melalui kacamata diri-kolektif kita sebagai umat Islam. Karena setiap ritual pasti ada konteks, alasan, dan tujuannya. Dan ketiga hal tersebut penting untuk diidentifikasi dan dimaknai kembali dari waktu ke waktu.

Misal, jika kita tahu bahwa tarawih berarti secara harfiah dilakukan tidak dengan tergesa, dan menjadi kesempatan bagi kita (yang sibuk bekerja dari pagi hingga malam sehingga tidak sempat kenalan akrab dengan tetangga) untuk bertemu dan bersilaturahmi dengan orang-orang di sekitar kita, mungkin kita bisa lebih menikmati proses meditasi tarawih sehingga di ujung salam yang kita rasakan adalah kelegaan bukan dengkul pegal karena ngebut seperti takut ketinggalan kereta.

Wallahu a’lam.