Tujuan Awal Ayat Poligami Adalah untuk Mengurangi Istri, Bukan Menambah

Tujuan Awal Ayat Poligami Adalah untuk Mengurangi Istri, Bukan Menambah

Tujuan poligami ternyata untuk mengurangi istri, loh!

Tujuan Awal Ayat Poligami Adalah untuk Mengurangi Istri, Bukan Menambah

Beberapa tahun belakangan, kita bisa menyaksikan banyak sekali glorifikasi poligami yang dianggap sebagai anjuran bahkan sunnah. Entah bagaimana, pelaku poligami dikesankan sebagai yang kuat agamanya, dan tidak jarang pula poligami didakwahkan, hingga ada pelatihan dan daurohnya segala. Perempuan diiming-imingi surga jika bersedia dipoligami, tapi benarkah poligami itu dianjurkan? Apakah substansi dari poligami?

Kebiasaan orang Arab jahiliyyah sebelum datangnya Islam adalah memiliki istri sebanyak-banyaknya, karena nilai perempuan tidak lebih dari properti, diperlakukan sebagai objek layak konsumsi. Tapi tentu saja tidak di seluruh lapisan masyarakat, ada juga yang sudah lebih beradab terhadap perempuan dan tidak menganut animisme, seperti beberapa dari klan dari suku Quraisy termasuk Khadijah binti Khuwaylid, istri pertama Nabi SAW, yang juga wanita pebisnis sukses dan disegani.

Datangnya Islam menjadi angin segar bagi kaum perempuan, salah satu di balik beberapa ajaran dalam Islam yang mengangkat derajat wanita adalah dibatasinya jumlah istri. Pertama kali ayat poligami turun, banyak pelaku poligami menjadi galau. Mereka diharuskan memilih maksimal 4 istri dari istri-istrinya yang jumlahnya bisa belasan bahkan puluhan. Hal ini tentu bukan hal tidak mudah.

Banyak riwayat menunjukkan tegasnya nabi dalam pembatasan jumlah istri terhadap orang-orang yang memluk Islam dalam keadaan beristri banyak. Apalagi ketika keadilan dijadikan parameter utama dalam berpoligami, yang mana jika kita khawatir tidak bisa adil terhadap para istri, maka monogami adalah pilihan termulia.

وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُوا۟ فِی ٱلۡیَتَـٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَاۤءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَـٰثَ وَرُبَـٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُوا۟ فَوَ حِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُكُمۡۚ ذَ لِكَ أَدۡنَىٰۤ أَلَّا تَعُولُوا۟

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka nikahilah seorang saja, atau nikahi hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat dengan tidak berbuat zalim.”
(QS An-Nisa : 3)

Firman Allah Swt tersebut menunjukkan bahwa menikahi satu istri itu lebih baik, karena dapat menghindari perbuatan aniaya. Sebaliknya, menikahi lebih dari satu istri itu lebih dekat dengan kezaliman. Tentu poligami tidak sepenuhnya buruk, dalam kasus yang sangat jarang poligami bisa menjadi solusi dan membawa maslahat. Namun yang paling banyak, kasus poligami malah dimulai dari perselingkuhan,  membohongi, dan menyakiti istri pertama. Poligami yang seperti ini bukan lagi mendekati zalim, melainkan sudah termasuk sebagai perbuatan zalim itu sendiri.

Prof. Quraish Shihab dalam salah satu seri video youtube Hidup Bersama Al-Quran, mengibaratkan poligami itu bagaikan pintu darurat di pesawat. Yang boleh membuka pintu darurat pesawat hanya orang tertentu dalam keadaan tertentu. Dalam situasi bahaya, pintu darurat bisa menjadi penyelamat, tetapi dalam keadaan aman, membuka pintu darurat malah membahayakan.

Bicara tentang sunnah, Nabi Muhammad mempraktikkan pernikahan monogami selama 25 tahun dan berpoligami selama 11 tahun, jika kita ingin meniru Rasulullah Saw, monogaminya Rasul yang harus kita tiru, karena Rasulullah Saw mempraktikkan monogami lebih lama. Selayaknya, kita bisa memahami bahwa substansi dari turunnya ayat poligami adalah untuk membatasi jumlah istri yang berasas pada keadilan dan kehati-hatian dari perbuatan zalim.

Semoga esensi inilah yang dibawa dalam dakwah, bukan iming-iming kosong seolah menjadi jalan tunggal menuju surga dan anti terhadap pemberdayaan perempuan.

Wallahu A’lam.