Akhir November 2017 lalu, saya kebetulan hadir dalam perhelatan MUNAS NU di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Lepas MUNAS, dalam perjalanan pulang menuju Yogyakarta, saya menempuh jalur darat.
Ada dua alasan untuk itu. Pertama, bencana alam. Lepas dari anggapan sebagian orang yang mengatakan Gunung Agung yang waktu itu erupsi karena ada banyak “berhala” di sana, dan sejumlah anggapan purba lainnya, nyatanya segenap bandara di Lombok maupun Bali tutup sampai waktu yang tidak ditentukan.
Kedua, karena saya penasaran dengan Bali yang konon punya nilai estetik cukup tinggi. Ya, dengan populasi umat beragama Hindu sebagai mayoritas di sana, maka saya kira hal itu lumayan wajar.
Di Bali, saya memang menjumpai ada banyak ragam patung lengkap dengan aneka bentuk, jenis dan ukuran di setiap sudutnya dan hampir bisa dipastikan jika patung-patung itu merupakan buah karya pemahat lokal. Sang pemahat pun begitu sayang, sangat melindungi, dan sangat memelihara patung-patung buatan mereka itu. Ia tidak hanya berhenti pada tahap membuat patung tapi senantiasa bertanggungjawab penuh atas keadaan si patung.
Penjelasan itu saya peroleh dari seorang paman pemahat patung yang kebetulan saya temui di salah satu bilangan Ubud, Bali dan cukup mengobati rasa penasaran tentang fenomena kenapa patung-patung di setiap perempatan, pertigaan, atau persimpangan jalan pasti ada payung di atasnya.
Sontak, dari situ alam bawah sadar saya tergugah, bahwa anda atau siapa pun kita, jangan coba-coba untuk menista, merusak, mengotori apalagi sampai mengaitkan patung-patung itu dengan bencana alam sebagai azab Tuhan. Bahkan, sekali pun kita dapati ada sedikit cacat baik dari sudut estetika atau lainnya, maka jangan sekonyong-konyong mencibir atau melecehkannya, karena sang pemahat pasti akan sakit hati.
Kalau sang pemahat sudah kadung sakit hati, bukan tidak mungkin jika ia akan marah kepada kita. Meski ekspresi marahnya pun bisa bermacam-macam. Bisa dengan tangan, mulut, atau dengan hati alias dicuekin, dan yang terakhir itulah selemah-lemahnya marah.
Pendek kata, dari pemahat patung saya belajar, bahwa Tuhan sebagai pihak yang saya, anda atau kita yakini adalah Pencipta segala sesuatu, sudah tentu akan bertanggungjawab penuh dengan apa yang Dia ciptakan.
Demikian halnya, saya kira, kalau kita pernah menghina, merendahkan atau bahkan melecehkan orang lain, betapa itu tidak tergolong menista Tuhan. Karena itulah mengapa KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengatakan, bahwa memuliakan manusia berati memuliakan Pencipta-Nya, yang otomatis mahfum mukhalafah-nya adalah merendahkan manusia sama dengan merendahkan pencipta-Nya.
Dalam kehidupan sehari-hari, secara tidak sadar ternyata begitu banyak kita jumpai peristiwa hidup yang dengan nyata telah merendahkan ciptaan Tuhan.
Hanya karena mayoritas, dengan mudahnya sebagian dari kita menegasikan hak-hak minoritas. Hanya karena keliru menerka ayat jihad, segelintir orang kita meledakan dirinya atas nama Tuhan. Korban berhamburan, nyawa pun hilang sia-sia. Hanya karena amplifier, seorang yang belum jelas statusnya itu dengan ajaib dibakar masa seperti yang terjadi di Bekasi Agustus 2017 lalu. Ini mengerikan.
Pada titik ini, kalimat pembuka dalam Sajak Atas Nama Gus Mus menemukan relevansinya. Ya, ada yang atas nama Tuhan melecehkan Tuhan. Merasa lebih baik, dan lebih dekat dengan Tuhan itulah merupakan titik rawan perasaan yang bisa melahirkan benih-benih kesombongan spiritual kita.
Benih-benih itu pada saatnya nanti, atau malah sudah terjadi, menurut spekulasi Gus Dur (2009) justru akan mereduksi, mengamputasi dan mengebiri pesan-pesan luhur Islam dari agama yang penuh kasih sayang dan toleran menjadi seperangkat batasan ideologis yang sempit dan kaku.
Hal itu, lanjut Gus Dur, dimungkinkan terjadi karena pemahaman apa pun yang berbeda, apalagi bertentangan dengan mereka dengan mudah akan dituduh bertentangan dengan Islam itu sendiri, karena watak dasar tafsir ideologi yang memang bersifat menguasai dan menyeragamkan. Beda agama dikafirkan. Sama agamanya, tapi tidak seideologi disesatkan. Menganut demokrasi sebagai sistem pemerintahan dianggap antek kafir. Hingga mencapai puncaknya, propaganda itu mengerucut pada hal yang paling absurd, janji manis surga.
Padahal, surga itu merupakan hak prerogatif Tuhan untuk menentukan siapa saja penghuninya. Termasuk seorang pelacur yang mengobati dahaga seeokor anjing sekali pun. Dan hampir bisa dipastikan surga akan terasa angker, bahkan terlalu sempit jika hanya diisi para jihadis yang meledakkan dirinya atas nama Tuhan.
Akhirnya, kalau kita berani jujur pada diri sendiri, ternyata ada banyak cara menyakiti Tuhan. Maka, kalau hingga detik ini kita masih termasuk orang yang percaya pada Tuhan, tidak ada salahnya bila kita berhenti bikin Tuhan “sakit hati” dengan kembali memperbaiki mutu hubungan dengan-Nya. Karena setiap dari kita pada hakikatnya akan kembali kepada-Nya. Wallahhu a’lam.
Anwar Kurniawan, Pegiat di Islami Institute Jogja, dapat disapa di twitter @anwarku_r