Tuhan yang Telah Memuliakan Manusia: Tafsir QS. Al-Isra’ Ayat 70

Tuhan yang Telah Memuliakan Manusia: Tafsir QS. Al-Isra’ Ayat 70

Di dalam al-Qur’an, Allah Swt sangat terang benderang menjelaskan kalau memuliakan manusia sebagai ciptaannya. Lalu, bagaimana dengan kita?

Tuhan yang Telah Memuliakan Manusia: Tafsir QS. Al-Isra’ Ayat 70

Musthofa bin Muhammad Hilmi dalam pendahuluan kitab Al-Akhlak Baina Al-Falasifah wa ‘Ulama’ Al-Islam menyebutkan bahwa kajian akhlak dalam peradaban secara umum dan perdaban Islam secara khusus bukanlah termasuk kajian dan konsentrasi yang baru. Namun, ketika dunia tercerahkan dalam diskusi kemanusiaan, bidang etika dan akhlak mendapat sorotan dan tempat penting dalam pandangan para penulis dan pengkaji, baik mereka yang menggunakan perspektif barat maupun timur (Musthofa Hilmi, 2004, 3).

Ketika Abdul Wahab Al-Sya’rani (l. 1493 M) dalam karyanya Tanbih al-Mughtarrin menyebutkan etika-etika para Ulama diantaranya adalah menghormati dan memuliakan umat islam. Diantaranya adalah yang dikatakan oleh Sahabat ‘Abdullah bin Abbas. Beliau mengatakan bahwa kebaikan yang paling utama adalah memuliakan teman duduknya, kemudian beliau melihat Ka’bah dan berujar, Allah telah memuliakanmu (Ka’bah), namun, orang mu’min lebih mulia di sisi Allah dari padamu  (Al-Sya’arni, 76, tt).

Dalam redaksi al-Qur’an, Allah berbicara lebih luas, karena Allah memuliakan bani adam (manusia) tanpa tendensi status. Dalam redaksi tersebut, Allah menyebutkan bani adam dalam bentuk universal. Lebih jelasnya Allah menyebutkan dalam al-Qur’an QS. Al-Isra’ [17]: 70.

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.

Wahbah Al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Washit-nya (2001, Vol. 2, h. 1371) menyebutkan bahwa ayat ini memuat bentuk-bentuk kepedulian Allah kepada umat manusia, diantaranya Allah menjaga dan menjamin kemuliaan manusia, hak-hak manusia, menjadikan manusia sebagai khalifah (pengelola) di bumi, dll.

Menurut Imam Ibn Jarir Al-Thabari dalam Kitabnya Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ay Al-Qur’an (2001, Vol. 15, h. 5), bahwa bentuk memuliakannya Allah kepada bani adam (manusia) adalah dengan wujud mahluk-mahluk Allah ditundukkan agar patuh kepada manusia (taskhirina saira al-khalqi lahum). Bahkan dalam keterangan beliau juga, para malaikat memohon kepada Allah untuk diberikan diakhirat nanti apa-apa yang sudah Allah berikan kepada manusia di dunia.

Namun sebenarnya para ulama berbeda pandangan terkait bagaimana bentuk dan dengan apa Allah memuliakan manusia. Imam Ahmad bin Ibrahim Al-Tsa’labi (w. 427) dalam kitab Tafsir Al-Tsa’labi (2004, Vol. 4, h. 62) menyebutkan perbedaan pandangan tersebut, diantaranya adalah: manusia makan dengan menggunakan kedua tangannya sedangkan mahluk lainnya makan langsung menggunakan mulutnya, begitu juga manusia diberi akal sedangkan yang lain tidak (Ibnu ‘Abbas), karena manusia bisa berbicara dan membedakan sesuatu, tamyiz (Al-Dhahhak), dengan menjadikan Nabi Muhammad sebagai golongan manusia (Muhammad bin Ka’ab).

Imam Fakhruddin Al-Razi (544-704 H) dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib (Vol. 21, h. 13) menjelaskan perihal ayat ini dengan penjelasan yang sangat menarik. Menurutnya, manusia adalah komponen paling halus (jauhar) yang tersusun dari jiwa (nafs) dan jasmani (badan). Lanjutnya, jiwa manusia adalah jiwa yang paling mulia yang ada di dunia (‘alam al-sufla) begitu juga dengan jasmani manusia. Disamping lima ciri manusia (Makan (ightidza’), berkembang (al-numwu), berkembang biak (al-taulid), perasaan (al-hasasah), dan bergerak), manusia memiliki ciri khas lain, yaitu, kekuatan intelektual untuk mampu mengetahui hakikat sesuatu (al-quwwah al-’aqilah al-mudrikah lihaqaiqi al-asyya’ kama hiya). Kekuatan inilah yang menjadi tempat bersinarnya cahaya ma’rifat kepada Allah.

Kesadaran akan kemuliaan manusia inilah dapat kita temukan dalam sikap dan perilaku nabi dalam berda’wah dan menyampaikan amanat sebagai Rasullah. Habib ‘Ali Zainal ‘Abidin Al-Jufri (2015, 201) dalam kitabnya, Al-Insaniyyah Qabla Al-Tadayyun (kemanusiaan sebelum beragama), mengutip satu cara ketika Nabi Muhammad menyampaikan da’wahnya. Ketika awal-awal Nabi diangkat menjadi rasul, ada seseorang yang menanyai Nabi, apa yang Allah perintahkan untuk engkau sampaikan? Nabi menjawab, menyambung tali persaudaraan, membendung pertumpahan darah sesama manusia, mengamankan kondisi jalan (tidak terjadi pembajakan dan perampokan), baru setelah itu disebutkanlah untuk meng-Esa-kan Allah.

Kesimpulan dari beberapa uraian di atas adalah, kemuliaan manusia adalah anugerah yang diberikan oleh Allah. Bahkan, dengan melihat beberapa alasan kenapa manusia menjadi makhluk Tuhan yang begitu dimuliakan, penyebutan bani adam dengan tidak ada tendensi apa-apa, mengantarkan kita untuk mengakui tidak hanya yang seagama, satu ras, satu bahasa, melainkan seluruh manusia dengan tanpa tendensius apapun. Memuliakan manusia hanya sebatas melanjutkan apa yang telah Allah tegaskan dalam firman-Nya. Tidak terlupakan juga, memuliakan manusia juga menyambung tali perjuangan Nabi Muhammad. Wallahu a’lam bi al-shawab.

A. Ade Pradiansyah, penikmat kajian tafsir al-Qur’an.