Alkisah, berjubel manusia sedang antre di depan pintu surga. Latar belakangnya sangat beragam. Dari sekian banyak itu, ternyata yang paling awal mendapat izin dari malalikat untuk masuk adalah kelompok yang belakangan ambisius mengkapling surga.
Menyusul di klasemen selanjutnya, para hamba Allah yang biasa-biasa saja dan tidak ngototan, kemudian para pemuka agama, ilmuan, salafus shalih, hingga 25 para Nabi yang wajib kita ketahui. Sembari menunggu gilirannya tiba, para antrean itu mengisi waktu dengan insta story berbagi pengalaman selama hidup di dunia.
Pendek kata, kesemuanya pun masuk surga. Sejurus kemudian, tibalah waktu ketika Tuhan mengumpulkan dari semua hamba-Nya untuk jamuan makan malam. Terang saja, mereka pun serentak berbaur dalam sebuah ruangan yang tidak dapat terdefinisikan oleh kata.
Ditengarai, saat Tuhan sedang menyampaikan amanat jamuan gala dinner, ada seorang yang mengajukan kartu kuning “gugatan” kepada-Nya.
“Wahai Tuhan, kenapa engkau memulai jamuan ini, sementara di sini saya tidak mendapati orang-orang yang tadi masuk surga paling awal? Bukankah mereka itu para pembela-Mu sehingga Engkau prioritaskan untuk duduk di kursi kehormatan?” kata si penggugat.
Menanggapi keberatan itu, jawaban Tuhan masih sama ketika Dia merespon para malaikat yang pernah keberatan dengan penciptaan seorang khalifah di muka bumi. Ya, sesungguhnya Aku (Tuhan) mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.
Jadi begini, lanjut Tuhan, Aku tidak mau menyakiti para hamba-Ku yang terlanjur percaya diri menganggap sebagai para pembela-Ku. Sebab, mereka pasti akan sangat kecewa ketika melihat kalian di sini ternyata bergumul rukun dalam romansa surgawi yang penuh kedamaian dan cinta kasih.
“Itulah salah satu bentuk empiris dari sifat-Ku yang Maha Pengasih lagi Penyayang”, tukas Tuhan yang disambut antusias para penghuni surga.
Well, imajinasi di atas tidak lebih dari sekadar humor yang ternyata, saya kira sangat relevan untuk merefleksi situasi intoleransi yang kian marak belakangan ini. Humor itu saya adaptasi dari kang Jalaluddin Rahmat beberapa waktu lalu dalam sebuah diskusi di Jakarta, yang katanya dia juga menukil dari mendiang KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Lucu atau tidak, silakan putuskan sendiri.
Intoleransi, sebagaimana disebut oleh Goenawan Mohammad (2018) dalam buku Pada Masa Intoleransi, harus berada di layar radar kita hari ini. Ya, intoleransi adalah isu genting yang dapat mendorong kita untuk memerhatikan dan mengingat kebiadaban sehari-hari yang dipaparkan kepada kita oleh media.
Lihat saja akhir-akhir ini. Daftar horor ekspresi keberagamaan yang penuh teror hampir menjelma seperti katalog film-film tua yang dimainkan kembali dengan urutan yang sangat cepat. Mulai dari penganiayaan seorang Kiai di Cicalengka, berpulangnya Komando Brigade PP Persis, pembubaran bakti sosial karena dianggap melunturkan iman, kemudian seorang biksu yang dipaksa angkat kaki, perusakan tempat ibadah, kesemuanya berlangsung dengan saksama dan dalam tempo yang tidak berselang lama.
Sialnya, dari sekian aktor intoleransi itu tidak sedikit yang melabeli aksinya dengan imaji surgawi dan seabrek ereksi dogma mayoritarianisme lainnya. Akhirnya Islam sebagai ajaran keadaban, hari ini menjadi tereduksi pemaknaannya dengan penuh ironi.
Dakwah keislaman kini oleh sebagian dari kita, tidak lagi ditandas-hujamkan pada nilai-nilai li utamima makarimal akhlaq sebagaimana visi Kanjeng Nabi Muhammad diutus.
Hal itu kini semakin diperumit dengan merebaknya fenomena ustaz yang hobi melakukan simplifikasi fatwa. Umat lebih sering dimanja dengan terus disuapi dalil tanpa diimbangi dengan edukasi mengunyah atau minimal tentang cara mengkonsumsi yang baik.
Telak, persoalan boleh-tidak, halal-haram, sesat-menyesatkan, menjadi hal biasa. Pengajian-pengajian, broadcast-an grup Whatsapp, atau mimbar-mimbar keagamaan lebih sering berkutat pada produksi dalil yang mestinya itu ditempuh dalam forum keilmuan kritis dan jenjang waktu yang tidak sebentar. Ya, minimal mengikuti ‘Pesantren Ramadhan’ kalau memang Madrasah Diniyah kini mulai terkikis. Atau belajar ke pesantren bila perlu.
Di sinilah terkadang saya membayangkan, betapa ciamiknya para Ulama dan Kiai masa lalu yang pola dakwahnya begitu santun dan mencerdaskan. Sunan Kalijaga—yang terkenal akomodatif terhadap tradisi lokal misalnya, disebut oleh mendiang KH Abdurrahman Wahid (2009) dalam pengantar buku Ilusi negara Islam sebagai pendidik para penguasa pribumi tentang arti Islam yang damai, toleran, dan penuh kasih sayang serta nilai-nilai luhur spiritual.
Terbukti, lanjut Gus Dur, melalui para murid Sunan Kalijaga, antara lain Sultan Hadiwijoyo, Juru Martani, dan Senopati ing Alogo mampu menyelamatkan dan melestarikan nilai-nilai luhur bangsa kita yang manfaatnya tetap bisa dinikmati hingga dewasa ini.
Selain itu, ada juga Sunan Kudus yang mengakulturasikan tradisi Hindu Nusantara dengan Islam dalam sebuah konstruksi Masjid. Hal serupa juga dapat kita telisik di bilangan Yogyakarta dengan Masjid Mataramnya. Yakni, sebuah masjid yang melekat padanya identitas ganda: bangunan utama yang bercirikan Islam dan Jawa; sementara pada bangunan luar, yakni gapura dan pagar tembok yang mengelilinginya bercirikan Hindu, lengkap dengan patung tolak bala ala Hindu di atas gapura. Rukun sekali. Toleran sekali.
Demikianlah secuil fakta sejarah persinggungan Islam di Nusantara dengan ragam peradaban agung Hindu-Budha tanpa terjebak persoalan halal-haram, surga-neraka, sesat-menyesatkan, tapi lebih cocern kepada cita-cita kemanusiaan dan membangun peradaban yang sentausa. Wallahhu a’lam.
Anwar Kurniawan, pegiat narasi perdamaian di Islami Institute, dapat disapa lewat akun twitter @anwarku_r