Gus Mus yang mendapat bingkisan umpatan dari seorang anak muda lewat cuitan twitter adalah momentum untuk mempertanyakan: apa yang hilang dari ruh dakwah kita?. Apa yang menyebabkan hilangnya adab pada orang tua, guru dan dalam skala lebih luas: sesama manusia, seperti yang makin sering kita saksikan akhir-akhir ini?
Bus damri melaju dari Pelabuhan Bakauheni ke Stasiun Gambir. Dari dalam bus, saya mengamati laju truk-truk raksasa, bus, dan mobil yang saling terburu jarak. Di ruas kanan dan kiri jalan tol sebelum memasuki kota Jakarta yang padat, pada area persawahan yang menghampar, nampak para petani sedang menggarap tanah, anak-anak kecil yang bermain layang, juga beberapa kaum lelaki memancing. Di antara ruas tol yang angkuh bersama kendaraan raksasa yang beradu cepat dan area persawahan yang tenang itu, ada bahu jalan yang diduduki oleh dua orang laki-laki pedagang asongan yang menjual kacang-kacangan, asinan buah, dan permen. Kubah masjid yang tinggi menggaungkan adzan ashar, menyelinap di riuh jalan.
Saya melanjutkan perjalanan ke Rawamangun. Di atas bajaj yang menembus macet Jakarta pukul lima sore, si sopir bajaj bercerita tentang jumlah setoran bajaj sehari sejumlah seratus sepuluh ribu rupiah. Ia memutuskan berhenti jadi sopir taksi sebab tak sanggup dengan jumlah pengeluaran harian yang tinggi, yakni tigaratus limapuluh ribu rupiah untuk setoran dan dua ratus lima puluh ribu rupiah untuk modal bensin. Ia pun bercerita tentang nasib kaum petani di kampung yang makin sulit juga tekanan hidup buruh di Jakarta yang makin berat.
Kehidupan ternyata masih berjalan dengan rincinya. Peristiwa, tokoh dan permasalahan yang melingkupinya begitu tak terhingga. Pada tiap titik dan belokan yang menyertai “sunnatullah” itu, bukankah di sana harusnya kita melihat agama?
Di masa kanak-kanak, ingatan tentang penceramah agama adalah tentang syair-syair sederhana penuh makna. Salah satunya adalah bait seperti ini: Repote dadi wong tani/ Sholate kadang lali/ Opo meneh yen wayahe tandur/ Sholate diundur-undur (Repotnya jadi petani/ Sholat kadang terlupa/ Apa lagi jika musim panen tiba/ Sholat ditunda-tunda). Atau, terdapat juga lagu dengan lirik begini: Eman-eman banget wong sugih ora sembahyang/ Nabi Sulaiman sugih wis nglakoni sembahyang/ Eman-eman banget wong mlarat ora sembahyang/ Nabi Ayub mlarat yo nglakoni sembahyang (Sungguh sayang jika orang kaya tidak sembahyang/ Nabi Sulaiman kaya pun sembahyang/ Sungguh sayang jika orang miskin tidak sembahyang/ Nabi Ayub miskin pun sembahyang).
Sekira masa dua dekade lalu, pesan agama menyentuh realitas harian masyarakat yang dalam konteks lagu tersebut ditujukan bagi masyarakat petani, merupakan bahasan inti mimbar-mimbar pengajian. Sebuah maklumat sederhana namun penting, dan yang paling utama: mudah dipahami. Namun, akses informasi yang makin mudah membuat para penceramah agama kini lebih sering terbawa arus untuk terlibat dalam desas-desus politik dan membawanya masuk ke dalam khotbah di masjid. Tak ada lagi syair tentang petani, pedagang pasar, sopir, tukang bangunan. Tak ada lagi nasehat tentang posisi si kaya dan si miskin yang sesungguhnya setara, sebab hanya “sembahyang” sebagai penanda ketakwaan masing-masing hambalah tolok ukurnya.
Ulama, yang secara sederhana diartikan sebagai orang yang berilmu, harusnya memiliki cakupan yang luas. Kita mengenal Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Al Razi, serta nama-nama filsuf muslim lainnya sebagai sosok yang beragam kiprah dan pemikiran. Artinya, dunia ini akan tetap memproduksi dokter, guru, pengusaha, juga teknisi. Ia juga akan memproduksi pedagang kecil, petani, buruh, bahkan pengemis.
Agama datang sebagai nilai yang menawarkan instrumen bagi keseimbangan, misalnya bagaimana menjadi dokter yang pemurah, bagaimana menjadi guru yang amanah, serta bagaimana menjadi pengusaha yang tidak serakah. Di sisi lain, agama membantu petani agar bersyukur, serta membantu buruh untuk mengerti haknya yang sering terdzalimi oleh ritme kerja industri dan pembangunan.
Di mimbar-mimbar yang mereproduksi agama secara instan, ia seolah-olah menjadi alat untuk membangun sebuah kerajaan utopis yang mustahil bagi kehidupan manusia. Ruh wujud ketauhidan disalahpahami sebagai “satu” yang kembali pada kejumudan empty shell. Semesta itu berbentuk dunia Islam dalam sempitnya pemikiran ideologi-ideologi tertentu yang menolak realitas kemanusiaan. Maka, muncul generasi baru yang suka marah, mengumpat dan menyerang umat lainnya sebab gagal mewujudkan cita-cita hidup yang seragam itu.
Generasi anti-realitas itu jumlahnya terus berlipat ganda dan semakin nyata. Banyak dari mereka bahkan sudah tidak lebih percaya dan tidak menaruh adab pada orang tuanya sendiri. Mereka memasrahkan akal sehatnya pada guru yang jauh dari kapasitas murabbi ruuh, namun di laboratorium kampus dan di hadapan kapital perusahaan, mereka tak mampu menghindar dari diskursus rasionalisme dan materialisme yang menjadi realitas mereka dalam mencari rejeki.
Demi ideologisasi keseragaman yang mustahil, mereka rela meninggalkan orang tua, dan pelan-pelan juga membuat batas pada saudara, sanak keluarga, serta teman-teman dekatnya sendiri. Padahal, takdzim pada orang-orang terdekat itulah mengalir doa bagi ilmu yang bermanfaat dan hidup yang berkah. Mereka menggunakan hadist seruan jihad (perlawanan) untuk mendukung keputusannya, sedangkan tugas utama manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah fil ardh, atau penjaga yang baik bagi bumi seisinya. Gelombang pendakwah kalah yang tidak siap pada berbagai kondisi iman dan ragam manusia tidak akan mencipta harmoni, melainkan chaos satu ke chaos lainnya.
Gus Mus, seperti pula Almarhum Gus Dur, memang sosok guru yang cenderung unik. Keunikan itu dapat kita saksikan lewat hal-hal yang paling dekat dengan beliau sendiri. Sebagai pribadi yang “nyeni” dan pandai bergaul dengan semua golongan, mereka justru kerap dianggap aneh dan diragukan keulamaannya. Gus Mus bertopi ala penyair Pablo Neruda, membuat sajak dan melukis. Anak serta menantu beliau pun merdeka untuk berpenampilan modern, tidak seperti anak-anak kiai pada umumnya, dengan bidang keilmuan dan profesi yang bermacam-macam pula.
Gus Mus mempersonakan sisi manusiawi yang sesungguhnya merupakan sesuatu yang ia teladankan tanpa mesti berteori, meskipun orang-orang yang kerap menyalahpahami beliau kerap melupakan bahwa beliau pun mengajar kitab setiap hari di pesantren sejak subuh hingga sore hari, juga menjadi pemimpin dan pendengar keluh dan peluh masyarakat yang datang tiap hari. Hampir tak ada waktu untuk dirinya sendiri.