Tuhan yang Dikritisi Ki Ageng Suryomentaram

Tuhan yang Dikritisi Ki Ageng Suryomentaram

Tuhan yang Dikritisi Ki Ageng Suryomentaram

Banyak orang beranggapan bahwa Ki Ageng Suryomentaram, filsuf Jawa abad ke-20, tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Atau tidak mempercayai keberadaan kehidupan setelah mati paling tidak. Yang demikian itu dapat dimaklumi, karena hingga hari ini pun di kalangan pengkaji kawruh begja atau kawruh jiwa, wejangan warisan Ki Ageng, anggapan seperti itu masih tetap ada.

Tidak hanya pengkaji awam, bahkan JB. Adimasana yang di tahun 80 an menulis buku berjudul Ki Ageng Suryomentaram tentang Citra Manusia yang diterbitkan oleh Kanisius, juga menyimpulkan demikian. Tentu saja hal itu sah-sah saja.

Tuhan sebagai keyakinan dan Tuhan Mutlak

Ki Ageng Suryomentaram, sepanjang penelitian yang saya lakukan, memang tidak pernah membahas tentang Tuhan secara khusus. Apalagi sebagaimana Ibn ‘Araby dalam Fushushul Hikam-nya yang menegaskan bahwa “Tuhan itu ada dua macam, yaitu Tuhan sebagai keyakinan dan Tuhan Mutlak,” (Al-Ilaahu ilahaani Al-Ilaahu al-mu’taqadu wal Ilaahu Al-Muthlaq), samasekali tidak pernah dilakukan oleh Ki Ageng.

Namun setelah saya melakukan pendalaman, saya berkesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh Ibnu Araby tersebut juga dilakukan oleh Ki Ageng. Hanya saja, sebagaimana yang telah saya singgung di atas, Ki Ageng tidak pernah mewejangkan pembahasan tentang Tuhan dalam bab khusus dan hanya menyampaikan dasar-dasarnya saja.

Misalnya, dengan tegas Ki Ageng mewejangkan dalam Kawruh Bab Kawruh yang secara sederhana dapat disebut sebagai epistemologi kawruh begja, bahwa:

Patokaning kawruh punika Kawruh Barang Asal. Pathokan punika tegesipun dhedhasar utawi wiwitan, kawruh punika dhedhasaripun weruh lan ingkang dipun weruhi. Mila Kawruh Barang Asal punika pathokaning kawruh, jalaran Barang Asal punika maligi weruh lan ingkang dipun weruhi, mboten wonten adon-adonan sanesipun.

Jelas sekali bahwa landasan pengetahuan menurut Ki Ageng adalah Barang Asal. Dalam kesempatan lain, Ki Ageng mengganti istilah Barang Asal ini dengan sebutan Bakal Barang, yang intinya adalah asal muasal dari segala sesuatu. Jadi meskipun menggunakan kata barang, namun yang dimaksudkan oleh Ki Ageng tidak hanya sebatas benda.

Secara sederhana penjelasan dari wejangan Ki Ageng tentang pathokaning kawruh di atas adalah sebagai berikut.

  1. Landasan pengetahuan adalah Barang Asal atau Bakal Barang. Yaitu asal dari segala sesuatu, dimana Sang Asal sendiri tidak ada asalnya. Ia bisa disebut The Ultimate Reality, Sang Mutlak atau Sang Absolut, atau apa saja termasuk Tuhan. Namun jika Barang Asal ini kita istilahkan sebagai Tuhan, maka Ia haruslah Tuhan sebagaimana ada-Nya alias Tuhan Mutlak. Yaitu bukan Tuhan yang kita imajinasikan dalam pikiran kemudian imajinasi itu kita yakini keberadaannya.
  2. Yang dimaksud dengan istilah pathokan oleh Ki Ageng adalah dasar atau permulaan. Jadi, bagaimana pemahaman kita terhadap Barang Asal, selanjutnya akan mewarnai atau akan menurun/diteruskan oleh pemahaman senada di dalam mempersepsikan segala sesuatu dan peristiwa.
  3. Dasar atau permulaan pengetahuan adalah tahu (weruh) dan yang diketahui (ingkang dipun weruhi). Tahu (weruh) dengan mengira tahu (ngira weruh) adalah sesuatu yang berbeda secara diametral. Orang yang tahu, di dalam mempersepsikan pengetahuannya tidak akan melenceng dari apa-apa yang telah diketahuinya, alias memandang secara apa adanya. Namun orang yang mengira tahu akan memandang segala sesuatu dan peristiwa sebagaimana yang diimajinasikannya.
  4. Pengetahuan tentang Barang Asal atau Bakal Barang merupakan landasan dasar pengetahuan, karena yang terkait dengan Barang Asal atau Bakal Barang hanyalah si tahu (si weruh) dan si yang diketahui (si ingkang dipun weruhi) secara apa adanya, tanpa campuran atau polesan imajinasi si pengira tahu (si ngira weruh).

Singkatnya, apakah kita termasuk orang yang weruh terhadap Barang Asal atau Bakal Barang? Ataukah hanya sebatas ngira weruh atas Barang Asal atau Bakal Barang?

Mari, wejangan Ki Ageng Suryomentaram yang merupakan kritik terhadap Tuhan dalam pandangan orang yang hanya sebatas ngira weruh di bawah ini, kita jadikan sebagai bahan renungan.

Tiyang asring ribed prakawis kawruh nyata tetep. Reribed wau makaten, 2×2=4 punika rak pangertos tiyang. Yen tiyang sajagad punika pejah, kalih kaping kalih sekawan lajeng boten wonten. Lan malih, 2×2=4 punika rak naming kawontenan pikiran. Lha mangka kawontenan punika santun-santun.”

Orang seringkali bingung menerima kenyataan bahwa pengetahuan yang dasarnya weruh itu (kawruh nyata) tidak akan pernah berubah. Ia beranggapan bahwa 2×2=4 hanyalah sebatas pembenaran. Dalam imajinasinya, jika orang di seluruh dunia yang membenarkan sekarang ini mati, maka pemahaman 2×2=4 pun sirna. Karena menurutnya, 2×2=4 hanyalah produk pikiran. Padahal yang namanya pikiran itu akan senantiasa berubah.

“Terangipun makaten. Pangertos 2×2=4, kaliyan tiyang ngertos kalih kaping kalih sekawan, punika pilah. Pangertos 2×2=4 punika tetep, wonten tiyang ngertos utawi boten ngertos, kalih kaping kalih taksih sekawan tetep. Lha punapa namung wonten tiyang pejah kemawon, 2×2 lajeng boten patos sekawan, radi gangsal? Lajeng dipun tuturaken bojonipun kemawon: Gilo, bojomu saiki 2×2=10, sesok irungmu rak dielih nang ngisor cangkem.

Penjelasannya seperti ini. Pemahaman bahwa 2×2=4, dengan orang yang memahami bahwa 2×2=4 itu terpilah. Pemahaman 2×2=4 tidak pernah berubah, baik ketika ada orang yang membenarkannya atau tidak, 2×2=4 tidak akan berubah. Nah, apakah hanya karena orang-orang yang membenarkannya telah mati lantas 2×2 diragukan =4-nya? Sehingga dianggap telah mendekati 5? Jika demikian, maka sampaikan saja kepada istrinya, “Nih, suami kamu sekarang memahami 2×2=10, jangan heran kalau besok pagi hidungmu tiba-tiba dipindahkannya ke bawah mulut ya…”

Risaking pikiran ngantos kados makaten punika, jalaran pitados yen ingkang murbamisesa punika kuwasa saged damel barang ora ana, dados ana; barang ana, dadi ora ana. Mila tumrap ingkang murbamisesa punika gampil sanget damel 2×2=10.

Rusaknya pikiran hingga sebagaimana di atas, terjadi karena percaya bahwa Tuhan berkuasa untuk menjadikan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, dan sebaliknya menjadikan sesuatu yang ada menjadi tidak ada. Karena itulah, sangat mudah bagi Tuhan untuk menjadikan 2×2=10.

Wallaahu a’lamu bishshawaab