Sebagaimana kita saksikan di gelaran pilpres 2014, media-media “kemarin sore” diprediksi akan kembali menjamur di 2019. Media “kemarin sore” ini seperti tahu bulat: digoreng dadakan, lima ratusan. Artinya, media itu baru dibikin, dadakan, untuk kepentingan tertentu, dan kualitasnya “receh”. Kita tahu, membuat media adalah hal ringan di masa kini. Internet memudahkan segalanya. Efeknya, siapapun bisa mendirikan media, bahkan dengan jumlah personil yang hanya satu dua.
Media-media “kemarin sore” itu kerap kali bersifat partisan. Ia lebih tepat disebut sebagai corong propaganda kelompok A atau B. Tanpa malu-malu menunjukkan diri berpihak kemana. Netralitas atau independensi hanya angin lalu. Tugas mereka, biasanya, untuk menyerang kelompok seberang. Tulisan-tulisan di media itu sering kali dijadikan amunisi untuk membombardir grup-grup WA dan kanal-kanal media sosial.
Tulisan ini tidak bermaksud memberi suara untuk pembatasan kebebasan berpendapat dengan “menyerang” kemunculan media-media itu. Konsekuensi demokrasi, saya kira, adalah kegaduhan, termasuk yang diciptakan oleh media-media “kemarin sore”. Tapi kita tentu menginginkan kegaduhan yang lebih “berbobot”. Tidak hanya asal serang dan mengumbar caci maki. Tidak menjadi media pengipas gosip-gosip sumir.
Jika kita cermati portal-islam.id, kita akan menemukan bahwa media itu hanya memproduksi kegaduhan. Sejak awal ia memang menampakkan wajah juru bicara oposisi pemerintah. Harus diakui, media semacam itu kita perlukan, sebagai anjing penjaga (watchdog). Pemerintah butuh kritik, agar tetap berjalan dalam rel yang benar. Tidak menarik juga jika semua media menjadi seperti Metro TV/Media Indonesia yang hanya menebar puja puji untuk pemerintah.
Sayangya, portal-islam.id ini tidak berupaya untuk menjadi anjing penjaga yang baik. Portal itu misalnya, menurunkan tulisan berjudul: ANEH!!! Dari 7 Presiden RI, Hanya JOKOWI yang Tidak Ada Data Orang Tuanya di Wikipedia. Lho, untuk apa membuat tulisan semacam itu? Sekali lagi, sah-sah saja kita “menyerang” pemerintah, menggugat kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat, menolak klaim-klaim kosong dst. Tapi, kita tidak perlu menyerang sisi personal seseorang. Politik memang seni mendapatkan sesuatu (dengan berbagai cara), hanya saja ada etika yang saya kira perlu terus dipegang. Bukankah kita ini gemar meneriakkan Indonesia negara beradab?
Tulisan tentang Jokowi di portal-islam.id itu hanya berbekal googling dan Wikipedia. Mencari nama orang tua tiap-tiap presiden, lalu menjajarnya. Di akhir, mereka mengajukan pertanyaan: kenapa nama orang tua Jokowi tidak ada? Tentu kita tahu apa yang mereka inginkan dengan tulisan macam itu.
Jika kita mengerti apa itu Wikipedia, mestinya kita tidak terlalu kaget. Masalahnya, kenapa cara-cara murahan seperti itu masih saja digunakan? Kenapa banyak serangan untuk pemerintah di laman itu memakai pola yang sama?
Saya tidak ingin terlalu naif. Saya sadar, hukum rimba media siber memang kejam. Tidak bombastis, tidak dapat klik. Rangking rendah, tidak dapat kue iklan. Buktinya, beberapa media idealis ngos-ngosan mempertahankan diri untuk tetap hidup. Tak jarang pula mereka harus menggalang dana dari para pembaca. Kalaupun harus tumbang dan tinggal nama, setidaknya mereka akan dikenang dengan kebanggaan.
Hal itu yang sepertinya tidak dipikirkan media macam portal-islam.id. Seolah mereka punya prinsip: yang penting tabrak dulu, soal lain bisa diurus belakangan.
Saya jadi teringat obrolan netizen di Twitter belakangan ini, soal cucu Jokowi, anak pertama Kahiyang-Bobby. Ada salah satu akun yang menghitung jarak antara Kahiyang menikah dan melahirkan. Arahnya tentu sudah bisa ditebak.
Saat itu juga, akun yang sejak dulu gemar membuat kontroversi itu dihujani hujatan. Netizen berteriak soal etika politik. Rumusnya sederhana, hantam kebijakannya, jangan orangnya. Tetapi, orang-orang kita, boleh jadi, terlalu gemar bergunjing, sehingga kasak-kusuk macam begitu yang lebih laku.
Pagi ini, saya membuka kembali buku Jurnalisme Dasar karya Luwi Ishwara terbitan Kompas. Saya menduga, hal-hal mendasar tentang prinsip-prinsip jurnalisme mulai absen dari portal-portal online hari ini, terutama pada media “kemarin sore”. Di halaman 127 buku itu, Luwi menulis, salah satu modal penting menulis berita adalah pikiran jernih. Saya ingin kutipkan satu kalimat penting dari halaman 127: orang yang sedang keruh pikirannya tidak mungkin bisa menulis baik.
Ya, pikiran jernih adalah kunci. Orang-orang yang pikirannya dipenuhi kebencian dan hasrat ingin terus menyerang tak akan memiliki pikiran jernih. Alih-alih menghasilkan tulisan yang mencerahkan, mereka hanya akan memproduksi propaganda yang memecah belah. Kita mesti selalu waspada dengan media-media “kemarin sore” yang akan kembali menjamur di 2019.