Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saya menulis ini dalam perjalanan dari Bandung menuju Cirebon untuk memenuhi undangan Mbah Din menghadiri Haul Buntet Pesantren, Sabtu 4 April 2015. Pun saya menulis ini setelah sehari sebelumnya bercakap-cakap via pesan pendek dengan Prof K.H. Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand. Ia paparkan kesedihannya tentang keadaan umat Islam hari-hari ini. Semakin banyak yang menggugat: Islam tapi tidak Islami. Islam seakan-akan kehilangan ruh rahmatan lil 'alamin.
Siapa bilang Islam kehilangan ruh? Ruh tidak melenyap, tidak pula menguap. Ruh beda dengan tubuh yang memang bisa letih, terluka, sakit, menua, dan mati. Raga mengalami dikunyah-kunyah oleh bumi hingga remuk dagingnya dan tinggal tulang-belulang belaka di tanah kubur. Tidak demikian halnya dengan ruh. Ia memang bukan baru, bukan pula terbarukan. Ruh itu siratan keabadian Cahaya Maha Cahaya yang tak lekang.
Yang menghilang itu tubuh. Dan, jika dalam hal ini adalah Islam, maka yang menghilang adalah tubuh Islam. Tapi, menghilang pun sesungguhnya bukan pilihan diksi yang tepat. Jika yang dimaksud adalah hilang kontak, nah, iya. Tidak usah terlalu muluk, dalam hal saling berpapasan saja kini semakin jarang ditemukan sesama Muslim yang saling sapa — apalagi saling menebar ucapan "Assalamu'alaikum." Lewat ya lewat saja. Bahkan tidak pakai permisi. Kita punya masalah besar dalam berkomunikasi sesama Muslim.
Orang Islam zaman sekarang sibuk mengurusi amalan. Banyak pula yang mengurusi ramalan. Sampai-sampai lupa merawat tradisi kebaikan yang paling sederhana: uluk-salam. Padahal, segala sesuatu itu diatur sedemikian rupa agar harmonis dan dinamis. Ya, memang amal yang kelak pertama ditanyakan, dan amal yang pertama ditanyakan itu adalah shalat. Tapi, saya meyakini bahwa ibarat membaca buku, amal bukan bab pertama buku hidup.
Sebelum amal, yang lebih awal adalah ilmu. Sebelum ilmu, yang lebih awal lagi adalah adab atau tatakrama. Sebelum adab atau tatakrama, yang lebih awal lagi — bahkan yang paling awal dan menjadi dasar bagi adab, ilmu, dan amal — ialah akhlak. Dan, tugas utama dari kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah menyempurnakan akhlak mulia. Perilaku adab, perbuatan ilmu, dan tindakan amal didasari lelaku akhlak.
Jika teknologi ibarat persenyawaan antara ilmu dan amal, layak diakui bahwa teknologi memang maju, tapi peradaban ternyata mundur. Jika kesederhanaan adalah pencapaian tertinggi manusia, kini yang terjadi adalah penyederhanaan. Padahal, penyederhanaan berbeda jauh dengan kesederhanaan. Kesederhanaan itu alamiah, penyederhanaan itu ilmiah.
Semakin ke sini sekarang harus semakin ilmiah. Tanpa dalil seolah-olah manusia tidak bisa hidup dan bergerak. Padahal, akhlak tidak membutuhkan dalil. Akhlak membutuhkan keterlibatan jiwa raga sepenuhnya, seutuhnya, dan seluruhnya, dalam berserah. Rendah diri di hadapan Allah dan rendah hati di hadapan sesama makhluk Allah. Dan, kesederhanaan diri serta hati itulah prestasi terbesar Muhammad SAW.
Ia diangkat ke derajat yang setinggi-tingginya tinggi, bahkan yang lebih tinggi dari yang paling tinggi, justru karena berhasil merendahkan dirinya serendah-rendahnya rendah kepada Allah SWT dan merendahkan hatinya pun sedemikian rupa kepada makhluk Allah. Jelas-jelas ditunjukkan dalam Q.S. Al Isra': 1 bahwa Allah SWT memperjalankan Muhammad SAW dalam Isra' Mi'raj bukan dalam kedudukannya sebagai Nabi, Rasul, atau Pemimpin Umat, melainkan dalam kedudukannya sebagai Hamba Allah.
Kenyataan ini sesungguhnya sangat terang memerlihatkan betapa Allah Maha Baik dan setiap diri kita memiliki kesempatan yang sama diperjalankan oleh Allah Yang Maha Suci. Hanya saja, persoalannya adalah mana mau kita menghamba? Mana mau kita menjadi hamba? Kita lebih suka menjadi tuhan. Bermain sebagai tuhan. Mengadili dan menghukum sesama makhluk dengan mengatasnamakan Tuhan. Memilih siapa masuk surga, memilah siapa masuk neraka — padahal ini di dunia.
Klasik, memang, mengatakan bahwa perbedaan pendapat adalah rahmat yang sepatutnya kita syukuri. Faktanya, perselisihan terjadi di mana-mana, sampai-sampai menemukan ayat-ayat yang beraroma kekerasan menjadi jauh lebih mudah dibanding mencari ayat-ayat tentang kelembutan. Seolah-olah lembut itu lemah. Perang, dalam arti sesungguhnya yakni adu fisik sampai mengakibatkan korban jiwa, seperti api yang menyala lagi, menyala lagi. Tak lama padam, bara tersambar angin dan menyala lagi. Membakar amarah kita.
Dakwah itu mengajak, perang itu memaksa. Dakwah itu menjadi kawan, perang itu menjadi lawan. Sehebat-hebat kita, wilayah gerak kita adalah pada proses. Allah yang menentukan hasilnya. Kita yang berdakwah, Allah yang memberi hidayah. Jadi, hidayah bukanlah prestasi kita. Allah memberi petunjuk kepada siapa pun yang Dia Kehendaki dan tak ada yang mampu menyesatkannya setelah datang petunjuk itu, selain Allah. Allah memberi kesesatan kepada siapa pun yang Dia Kehendaki dan tak ada yang mampu memberi petunjuk setelah datang kesesatan itu, selain Allah.
Tubuh Islam sedang sakit. Luka dalam dan luka luar. Anggota tubuh saling mengingkari satu sama lain seolah berasal tidak dari asal-muasal yang sama. Kita perlu istirahat sejenak. Take a bed-rest. Mengingat Allah dalam posisi berbaring dulu saja. Dalam posisi berdiri, ternyata kita suka menuding-nuding saudara sendiri. Dalam posisi duduk, ternyata kita suka menggebrak meja. Perang pun mengenal gencatan senjata, diplomasi, dan perdamaian. Mari hentikan perang dan mulai damai.
Mulai lagi tradisi kebaikan Islam yang bijak bestari: uluk-salam.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bandung-Cirebon, 4 April 2015