Saya tidak heran kalau Tuan Guru Bajang dicaci gara-gara mendukung Jokowi. Pemicunya siapa lagi kalau bukan PKS. Partai Machiavellian ini sudah lama mengabaikan akhlak dari agenda perjuangannya. Mereka hanya memikirkan bagimana meraih kekuasan apapun caranya.
Yang membuat saya heran justru para pendukung Jokowi. Sebagian mereka memuji Tuan Guru Bajang dengan menggambarkanya sebagai tokoh yang istimewa. Padahal apa yang dilakukan olehnya adalah hal biasa. Politisi memang seharusnya begitu, instingnya bekerja mengikuti kemungkinan-kemungkinan yang paling masuk akal, termasuk siapa yang akan kalah dan siapa yang akan menang dalam pertarungan.
Sejauh pengamatan saya, Tuan Guru Bajang adalah politisi yang lumayan. Selama 10 tahun kepemimpinannya sebagai gubernur, NTB dipromosikan sedemikian rupa. Salah satunya adalah tujuan wisata halal dunia. Berbagai acara besar, mulai dari konferensi, festival, hingga muktamar digelar di sana.
Akan tetapi, seperti pemimpin-pemimpin daerah lainnya, Tuan Guru Bajang adalah politisi yang cari aman. Alih-alih melakukan reformasi birokrasi yang kongkret seperti dikerjakan Ahok di Jakarta, bahkan ada kecenderungan dia justru hanya mementingkan kelompoknya. Oleh karena itu, persoalan sosial di propinsi ini tidak pernah teratasi, seperti TKI yang tidak terlindungi dan pengungsi Ahmadiyah yang terus terkatung-katung nasibnya.
Sekali lagi, mari kita lihat dukungan Tuan Guru Bajang kepada Jokowi sebagai hal yang biasa saja. Mungkin secara elektoral hal ini bisa menguntungkan Jokowi, tetapi politik bukan cuma soal menang atau kalah dalam pertarungan merebut kekuasan. Biarlah pemahaman politik yang sesat seperti ini hanya menjadi milik PKS dan para “kampret yang durhaka”!
*) Amin Mudzakkir, peneliti LIPI