Tuan Guru Bajang dalam Pusaran Politik Islam

Tuan Guru Bajang dalam Pusaran Politik Islam

Tuan Guru Bajang mendukung Jokowi, bukti cairnya politik islam

Tuan Guru Bajang dalam Pusaran Politik Islam
Tuan Guru Bajang yang kerap diasosikan representasi islam kuat yang akan turut meramaikan menjadi pesaing Jokowi ternyata justru mendukungnya dua periode

Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi atau yang akrab disapa TUan Guru Bajang (TGB) dikabarkan akan mendukung Jokowi melanjutkan kepempinannya menjadi presiden selama dua periode. Tentu saja hal ini mengejutkan banyak pihak mengingat Gubernur Nusa Tenggara Barat tersebut dianggap representasi oposisi, plus wajah tokoh islam yang bisa menggoyang Jokowi sebagai Presiden untuk kali kedua pada Pilpres 2019 besok.

Dalam sebuah kunjungan di Transmedia, TGB ditanya perihal keputusan ini mengingat kiprahnya selama ini dianggap berada di jalur oposisi. Doktor dari Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Studi Quran Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir, ini pun menjawab, keputusan untuk mendukung pemerintah saat ini adalah keputusan yang dilatarbelakangi beberapa faktor kemaslahatan. Satu hal pasti, dalam konteks NTB, ia tidak ingin segalanya mandek. Contohnya adalah proyek percepatan pembangunan di kawasan ekonomi Khusus (KEK) Mandalika.

Tuang Guru Bajang juga menambakan bahwa keputusan apa pun itu, termasuk perkara kepempinanan, harus mempertimbangkan kemaslahatan bangsa, umat, dan akal sehat. Ketiga hal ini yang ia anggap sesuai dan dengan segala kerendahan hati, ia akhirnya merasa bahwa jokowi layak untuk meneruskan pekerjaannya sebagai Presiden selama dua periode.

“Keseluruhan dari 3 hal ini menurut saya, pantas dan fair kalau kita beri kesempatan kepada Bapak Presiden Jokowi untuk menyelesaikan tugas-tugas yang selama 4 tahun ini beliau mulai,” tuturnya, sebagaimana dikutip dari Detik.

TGB tampaknya memahami persoalan ini dan dianggap bahwa pemimpin perlu untuk menyelesaikan apa yang telah ia mulai, seperti dirinya yang juga memerintah NTB selama dua periode. Ia menyebut hal ini masuk akal dan cukup fair bagi seorang pemimpin. Sesuatu yang juga ia lakukan dalam memerintah NTB.

Apa yang dilakukan Ketua alumni Al Azhar Indonesia iniĀ  ikian menyiratkan sebuah fakta penting dan ibroh bagi umat islam di Indonesia yang mulai terfragmentasi karena politik akibat sisa-sisa Pilpres 2014 lalu, peristiwa Ahok dan politik identitas di dalamnya, serta persiapan menuju tahun politik 2019 mendatang–dan sudah diberi pemanasan pada Pilkada yang barusan berlalu.

Dalam politik kita tentu saja tidak asing dengan istilah ”Tidak ada lawan dan kawan yang abadi’ atau jika mau ditambah ‘kawan abadi dalam politik adalah kepentingan’. Hal ini menyiratkan fakta penting: TGB adalah bukti cairnya politik islam.

Tampaknya, banyak orang lupa bahwa TGB adalah seorang Demokrat. Pria kelahiran Selong, Lombok Timur, 46 tahun lalu, ini maju sebagai gubernur NTB juga diusung partai Demokrat yang didirikan oleh Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dan partai ini, seperti yang kita tahu, berhaluan, nasionalis, bukan islam seperti PKS, PPP, PAN, PKB maupun partai yang menganggap haluan islam lainnya.

Meskipun begitu, TGB memang begitu dekat dengan islam. Itu bukan hanya dari studinya yang di Universitas islam paling tua di dunia, malainkan garis keturunan TGB yang memang berpengaruh di NTB. Ditambah, ia seorang penghafal Quran (Hafiz) dan memang seorang yang paham terkait siyasah (politik) islam.

Di Indonesia, memiliki kemampuan politik dan agama yang mumpuni, tentunya tidak sembarangan tokoh politik yang memiliki, apalagi punya dukungan ormas yang kuat. Bahkan, bisa dikatakan di Indonesia tidak begitu banyak. Bila menyebut beberapa nama seperti Muhaimin Iskandar yang orang pesantren, Romahurmuzy yang juga sama dan beberapa nama lain yang mungkin selevel dan seumuran. Harusnya, mereka meniru Gus Dur dalam politik.

Gus Dur juga menguasai turats (kitab) klasik dan seorang santri, serta memiliki pengaruh luas di umat islam dan bisa jadi Presiden. Meskipun, membandingkan keduanya rasa-rasanya tidak pas dan dibutuhkan bukti nyata dan kerja di publik yang lama dan integritas, sesuatu yang dimiliki oleh Gus Dur dan diakui oleh banyak pihak. Tapi, TGB, rasanya belum bisa melakukan hal seperti itu. Dan tentu, bagi kita, sangat disayangkan jika dengan segala kekuatannya, TGB tidak mampu berbuat lebih untuk masyarakat tingkat bawah.

TGB adalah cucu ulama kharismatik di Nusa Tenggara Terbarat. Nama sang Kakek ialah Syekh Tuan Guru Haji M. Zianuddin Abdul Madjid, yang juga mendirikan Nahdlatul Wathon (NW) ormas terbesar dan berpengaruh di NTB. Tuan Guru Zainul Majdi juga berpengaruh di level global dan dihormati oleh ulama-ulama di Makkah dan Madinah. Darah ulama yang berada dalam dirinya, serta campuran birokrat melalui ayahnya HM Djalaluddin SH dan HJ Rauhun Zainuddin Madjid menjadikan TGB agaknya memahami ruang imajinasi dan realitas dalam berpolitik.

Meskipun, jika kita melihat perkembangan politik islam mutakhir, nama TGB terus-terus dihembuskan sebagai representasi islam, entah dalam posisi aksi Bela islam 212 dan ia ikut di dalamnya. Atau, dalam kontroversi paling tidak menarik tahun ini: terpilihnya TGB jadi tokoh perbukuan islam 2018.

Padahal, faktanya, TGB tidak menulis banyak buku dan pengaruhnya dalam dunia literasi islam juga minim. Pengaruhnya tentu saja kalah jauh dibandingkan Profesor Quraish Shihab misalnya atau Profesor Said Aqil Siradj yang mampu membuat dinamika diskursus Islam nusantara menjadi perbincangan publik atau Profesor Haedar Nasher dengan konsep Islam Berkemajuan yang mampu melahirkan wacana pemikiran dan buku-buku terkait ini.

Alasan panitia Islamic Book Fair pun bikin geleng-geleng kepala: TGB dianggap cinta terhadap buku-buku islami dan ia, seperti dikutip dari Republika, mampu membangun NTB dari dari daerah tertinggal jadi maju dan tumbuhnya perekonomian, serta menekan pengangguran. Parameter-parameter itu tentu saja aneh dan tidak literasi sekali–meskipun untuk hal ini kita bisa berdebat.

TGB, terlepas dari pelbagai kontroversi dan kerap digeret-geret untuk politik identitas antara muslim dan non-muslim dalam politik, kiprahnya tetap untuk kita tunggu. Keputusan untuk mendukung Jokowi dua periode tentunya dilatarbelakangi oleh pilihan pragmatis, bukan sekadar ideologis. Bagi kita umat islam, menjadi jelas kiranya bahwa politik islam itu cair dan untuk kepentingan sejenak saja (duniawi).

Jadi, tidak perlu untuk saling membuat dinding tebal atau permusuhan hanya karena perbedaan politik.