Bagaimana melihat kontestasi politik Amerika dan para pendukung Trump pasca tragedi Capitol Hill? Politik itu api, pemainnya bisa menjadi air dan angin. Dalam kontestasi politik, tidak jarang kita mendengar gesekan antara kubu yang saling maju mengaku mewakili rakyat, bahkan “Tuhan”.
Seperti kejadian mutakhir, hasil pesta demokrasi Amerika Serikat melalui pemilihan Presiden belakangan diwarnai kericuhan. Bahkan, tidak sedikit menjadi korban jiwa. Ironisnya, seorang wanita tewas tertembak di Gedung Capitol Hill di tengah kecamukan massa pro-Trump yang menyerbu isi gedung.
Penyerbuan massa pro-Trump terhadap Gedung Capitol Hill sebagai bentuk protes kelompok pendukung fanatik Trump yang tidak terima tokoh pujaannya kalah. Terlebih, Trump selalu tampil melontarkan ujaran kebencian terhadap lawan politiknya, Joe Biden.
Tentu ini bukan cara menuntut keadilan yang baik. Penyebab kericuhan ini bisa diotaki oleh pihak yang didukung itu sendiri, Donald Trump. Dalam suatu pernyataan, Presiden ke-42 AS, Bill Clinton mengomentari tindakan anarkis ini. “Hari ini kita menghadapi sebuah serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Capitol kita, konstitusi kita, dan negara kita.” ungkap Clinton (CNN, Kamis, 7 Januari 2021).
Beragam bentuk upaya Trump untuk meyakinkan dirinya sebagai korban kedzaliman sistem pemilihan. Alih-alih menjadi korban kecurangan, yang ada justru amarah pendukung fanatiknya.
Gelombang demonstrasi tidak dapat dibendung, bahkan pihak keamanan banyak yang terluka. Secara terpaksa tindakan yang tidak dibenarkan oleh peraturan terkait keamanan dan keselamatan warga dilawan.
Sikap ini menciderai citra negara demokrasi. Secara kasar, Amerika Serikat dengan kejadian ini tidak layak lagi disebut sebagai rujukan demokrasi karena elite politiknya sendiri “menusuk duri dalam kulit”.
Sebenarnya, tidak hanya kasus ini yang mengakibatkan Amerika Serikat berpotensi kehilangan marwah sebagai “kiblat demokrasi”. Jauh sebelum kasus amarah “Trumpers” mengepung Gedung Capitol, negara-negara pro-Islam mengecam Amerika Serikat karena telah bersikap terlalu terbuka. Misal, mendukung Israel terhadap pengambil paksaan tanah Palestina.
Dalam perspektif politik, sebaiknya Trump bersikap lebih dewasa. Apalagi, Ia paham betul psikologis pendukung fanatiknya, yang tak segan untuk melakukan aksi vandalisme demi membelanya.
Contoh sederhana sikap dewasa dalam berpolitik adalah dengan mempercayakan proses sistem demokrasi dalam pertarungan politik untuk menentukan siapa pemenangnya. Dalam hal persaingan, tentu terdapat pihak yang menang dan pihak yang kalah.
Sikap Trump seperti ini membawa stigma kepada masyarakat, bahwa politik itu tempat penuh kecurangan. Padahal, bukan politiknya yang curang, tapi permainan pelaku di dalamnya yang sering mengibuli pemain lain.
Menimbang perkara Trump, mungkin masyarakat perlu dibekali ilmu legowo, atau ikhlas sebelum berpolitik. Dengan merefleksikan konflik yang terjadi di Amerika Serikat, politisi dunia, khususnya elite politik Indonesia diharapkan bersikap lebih mawas diri. Jangan sampai tujuan berpolitik semula yang ingin mensejahterakan rakyat, berubah menjadi membunuh rakyat.
Ada dua tindakan heroik menurut saya yang harus ditiru oleh Trump. Dua pejabat tinggi Gedung Putih, Stephanie Grisham dan Niceta mengundurkan diri dari jabatannya setelah insiden anarkis di Gedung Capitol Hill, AS, Rabu, 6 Januari 2021. Mungkin ini sebagai upaya mencari aman dari konflik atau lepas tanggung jawab, saya tidak tahu.
Namun, Trump bisa meniru aksi “heroik” mereka karena telah menarik dirinya dari konflik yang tengah berkecamuk. Tapi, bukan berarti apabila Trump telah menghilang dari permukaan, lantas Ia mencoba kabur dari masalah.
Semua pemantik wajib memadamkannya kembali. Begitu kira-kira sikap yang harus diambil. Tampil ke depan massa pendukung dan mengatakan “aku rapopo”, itu lebih gentle ketimbang menyalakan kompor, tapi ditinggal makan. Bisa meledak nanti.
Mengaca dari Sejarah Politik Islam
Berangkat dari insiden yang terjadi di AS, sangat mungkin bagi umat muslim untuk merefleksikan kembali sejarah kepemimpinan Islam. Sikap para pemimpin muslim terdahulu memilih jalan damai dan demokrasi secara implisit.
Mari kita lihat, pada masa menjelang wafatnya Umar bin Khattab r.a, para sahabat membentuk badan komite guna mempersiapkan penggantinya, Usman bin Affan. Komite yang terdiri dari Usman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin ‘Auf, Zubar bin Awwam, dan Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhum. Dengan Abdurrahman bin Auf sebagai ketua (Ibn Katsir, Jilid VIII 147:1407H).
Hal ini sejalan dengan proses pesta demokrasi yang berlangsung, ambil contoh Banwaslu yang bertugas mengawasi jalannya Pemilu di Indonesia. Dan Electoral College yang bertugas memilih pemimpin AS.
Dalam pandangan politik, sebenarnya sistem demokrasi dan kepemimpinan yang bijak sudah ada dalam tradisi kenabian Muhammad dan Khulafaurrasyidin.
Meski demikian, dalam politik terkadang agama tidak dijadikan dasar moral. Misal, terbunuhnya Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib karena orientasi kekuasaan. Salah satu faktor yang memicu pembunuhan Utsman adalah adanya upaya nepotisme dalam jabatan strategis pemerintahan, misal, Abdullah bin Amir sebagai pengganti Abu Musa al-Asy’ari dalam memimpin Basyrah.
Hausnya kekuasaan ‘an sich’ bisa mengakibatkan demoralisasi beragama, walau bergerak dalam ruang politik keagamaan. Dalam pengertian ini, sikap demoralisasi menciderai prinsip anti-nepotisme yang meletakkan unsur kekerabatan dalam struktur pemerintahan, dan ini bertentangan dengan “al-‘Adalah”, atau keadilan proporsional dalam distribusi kekuasaan.
Sesungguhnya pasca aksi “Trumpers”, atau pendukung Trump mengepung gedung Capitol Hill, Joe Biden menyoroti tindakan anarkis “Trumpers” sebagai aksi pemberontakan bukan protes. “Ini bukan protes, ini pemberontakan,” kata Biden, dan meminta Donald Trump untuk “bergerak”, berbicara di televisi dan “meminta mengakhiri pengepungan ini,” (BBC, Kamis, 7 Januari 2021).
Sudah saatnya Trump untuk belajar sedikit bagaimana sikap “legowo” para pemain pesta demokrasi di Indonesia. Sejelek apa pun julukan bagi masing-masing pendukung calon, pada akhirnya mereka bersatu membangun bahtera negara bersama.
Dengan tindakan vandalis “Trumpers” terhadap keamanan dan kenyamanan publik, ini menandakan bahwa demokrasi yang mereka bawa berubah menjadi demoralisasi politik.
Dilihat dari perspektif etika politik Islam universal, jelas tindakan ini bertentangan dengan etika demokrasi yang santun. Sehingga membuat rapuh sistem demokrasi yang dicita-citakan sebagai alat persatuan dan kesejahteraan rakyat.
Karena bagaimana pun proses politik harus meletakkan prinsip kepentingan kemanusiaan ketimbang mempersoalkan kekuasaan, apalagi kekuasaan yang kemudian merusak pranata keadilan dan kebaikan bersama.