Jika penemuan mesin cetak melahirkan revolusi pengetahuan, seharusnya kemunculan internet lebih dahsyat dari itu. Sebelum ditemukannya mesin cetak ilmu pengetahuan hanya bisa diakses kelompok tertentu.
Setelah lahir dunia maya atau cyber space, seluruh orang bisa belajar dan mengakses ilmu pengetahun tanpa harus sekolah, membeli buku, atau datang ke perpustakaan. Cukup berada di hadapan layar kecil (komputer, laptop, gadget) orang akan dibawa masuk semesta pengetahuan.
Hal serupa berlaku dalam beragama. Tak sedikit orang bertanya soal-soal agama pada internet. Mereka cukup menulis kata kunci di mesin pencari di beberapa situs internet, dalam sekejap ribuan artikel muncul seolah berlomba memberikan jawaban.
Teknologi internet membawa dan membantu menemukan hal-hal yang sebelumnya tak terjangkau pikiran. Internet juga memberikan banyak kemudahan, kecepatan, kepraktisan, serta efisiensi dalam segala urusan. Hampir semua urusan hidup manusia terhubung internet. Jika ditimbang manfaat dan madharatnya, mungkin, masih banyak manfaatnya.
Namun, kita tak bisa menghukumi internet secara hitam putih. Dalam Islam internet hanyalah wasilah (alat/perantara). Sedangkan hukum menggunakan alat tergantung pada tujuannya. Dalam kaidah fiqh disebut, “lil wasail hukmul maqasid” (hukum perantara tergantung pada tujuannya) Sama seperti menggunakan pisau. Jika ia digunakan sebagai alat dapur maka hukumnya halal. Tapi jika digunakan untuk membunuh orang maka hukumnya haram.
Hanya, apakah beragama cukup dari internet dan tak membutuhkan guru (sanad keilmuan)? Tak seperti ilmu pengetahuan, agama bukan bersumber dari akal. Agama berasal dari wahyu. Dalam Islam kumpulan wahyu itu dibukukan di dalam al-Quran. Semacam “buku panduan” atau pedoman hidup seluruh umat Islam. Ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan keagamaan, al-Quran adalah rujukan utama.
Sejak pertama kali ditulis (disalin) ulang oleh para sahabat, dikumpulkan, dicetak dan lalu disebarluaskan, bentuk dan komposisi al-Quran tak pernah berubah: ayat al-Quran 6236, 114 surat, 74437 kalimat, dan 325345 kata (jumlah tersebut bisa berubah tergantung sudut pandang ulama dalam menghitungnya). Yang berubah sepenjang sejarah adalah pemahaman terhadapnya.
Nyatanya, merujuk kepada al-Quran (al-ruju ila al-Quran) tak semudah membaca terjemahannya. Jargon “kembali ke al-Quran” hanya mudah diucapkan tetapi sulit dipraktikkan. Setidaknya, ada beberapa fase dan tahapan yang harus dilalui dalam “memahami” al-Quran. Perlu dicatat di sini, “memahami” bukan “menjelaskan”.
Memahami jauh lebih penting, bahkan lebih mendasar, dibanding sekadar menjelaskan. Karena tanpa pemahaman tak mungkin ada penjelasan. Kualitas penjelasan bisa diukur dan ditentukan oleh seberapa kuat dan dalam pemahaman. Jika tak didukung pemahaman yang baik, bisa jadi penjelasannya ngawur dan tak berdasar.
Pintu masuk pertama adalah perangkat kebahasaan (nahwu, sharaf, balaghah, ma’ani, dan bayan). Pengetahuan dan penguasaan terhadap bahasa Arab mutlak diperlukan, sebab bahasa al-Quran adalah bahasa Arab. Bagaimana dengan terjemahan?
Terjemahan bukanlah al-Quran, karena ia adalah hasil pemahaman. Atau, dalam bahasa lain, terjemahan adalah penafsiran (eksegesis) orang. Jika memahami al-Quran menggunakan terjemahan, berarti memahami pemahaman orang terhadap al-Quran.
Termasuk pemahaman kebahasaan dalam konteks pengambilan hukum (istinbatul ahkam) adalah pendekatan Ushul Fiqh. Ushul Fiqh bisa menempatkan kapan dan bagaimana bahasa dipahami sebagai hukum. Misalnya, kapan sebuah perintah (amar) dipahami sebagai hukum wajib dan kapan sebuah larangan (nahy) dimaknai sebagai hukum haram. Sebab tak semua “perintah” dan “larangan” di dalam al-Quran mengandung konsekuensi hukum.
Kedua, selain kemampuan bahasa, memahami al-Quran butuh pendekatan lain di luar kebahasaan tetapi erat kaitannya dengan bahasa, misalnya sejarah. Sejarah diperlukan untuk mengetahui situasi dan kondisi tertentu yang melatarbelakangi kelahiran teks. Sebab, teks al-Quran tidaklah berdiri sendiri. Ia lahir dan dibentuk untuk menyapa audiensnya sekaligus merespon situasi sosial-politik-budaya waktu itu.
Oleh karena itu, sangat mustahil al-Quran muncul dari ruang hampa. Buktinya, al-Quran diturunkan bertahap selama 23 tahun, ada asbab an-nuzul , Makiyyah-Madaniyyah, dst. Ini menunjukkan bahwa al-Quran mengandung dan terkait sejarah. Tanpa pemahaman sejarah, al-Quran akan kehilangan konteksnya, baik konteks al-Quran ketika diturunkan maupun konteks al-Quran ketika dipahami.
Ketiga, pendekatan lain sebagai penunjang untuk memperkaya wawasan pemahaman al-Quran, seperti hadis, tafsir, tasawuf, dsb. Ilmu-Ilmu penunjang [komplementer] ini diperlukan mengingat al-Quran hakikatnya tidak berdiri sendiri, otonom, melainkan terkait dengan keilmuan lain.
Ketiga hal tersebut, mau tak mau, harus dilalui seorang mufassir (orang yang memahami al-Quran secara langsung). Jika tak memiliki kualifikasi tersebut, lebih baik memahaminya lewat pihak kedua (rujukan sekunder). Pemahaman mufassir sifatnya ijtihadi. Ada kemungkinan salah dan benar. Namun, meskipun tak sepenuhnya benar, minimal mendekati kebenaran. Karena hanya Allah SWT pemilik kebenaran. Bukankan al-Quran sendiri adalah Kalamullah? Di sinilah salah satu pentingnya sanad keilmuan. Sanad keilmuan untuk menjamin dan mempertanggung jawabkan sumber dan otentisitas keilmuan seseorang
Teknologi internet memulai sebuah revolusi baru: revolusi pengetahuan. Otoritas pengetahun seolah-olah runtuh dan tak memiliki pijakan. Semua orang bisa mengolah dan mengakses tanpa harus menggugat dan mempertanyakan kebenarannya. Hal ini berlaku juga dalam beragama. Bermodal terjemahan dan searching artikel di internet orang sudah bisa ceramah dan membuat fatwa. Kecenderungan seperti ini sedang menjangkiti umat. Yang paling berbahaya ketika sudah mengaku paling hebat dan menganggap orang lain berada di bawahnya. Padahal ia mendapatkan ilmunya melalui cara-cara instan dan tanpa melalui sebuah proses panjang.
Begitu pula dengan jargon kembali ke al-Quran jika tak dibekali ilmu yang cukup hanya akan menambahkan barisan orang-orang dungu dan bodoh dalam beragama. Sekian. Wallahu A’lam (Jamalauddin Muhammad)