Aku ingat suatu sore bakda ashar, langkahku terasa berat tetapi bersemangat ketika berjalan dari kamar menuju ndalem kiai. Di tangan kananku, kitab Shahih al-Bukhari terasa dingin oleh keringat yang menempel di sampulnya. Suara gesekan langkah kaki bercampur dengan bisikan santri lain yang juga berjalan dengan kitab di tangan mereka, menciptakan harmoni yang tenang. Perjalanan ini, meski hanya beberapa ratus meter, selalu terasa seperti sebuah ritual spiritual. Setiap langkahnya, aku membayangkan keberkahan yang terkandung dalam kitab yang ku bawa, dan betapa mulianya kesempatan untuk mengikuti tradisi yang telah dilestarikan bertahun-tahun di pesantren ini.
Mambaus Sholihin, pesantren yang terletak di Gresik, Jawa Timur, telah menjadi bagian penting dalam perjalanan hidupku selama 7,5 tahun. Di sini, aku tidak hanya belajar ilmu agama, tetapi juga merasakan langsung bagaimana tradisi-tradisi pesantren yang khas dilaksanakan. Salah satu tradisi yang selalu aku kenang adalah rauhah Shahih al-Bukhari, sebuah kegiatan yang menonjol karena keunikannya dalam menghidupkan kitab hadis paling otoritatif di kalangan umat Islam.
Tradisi rauhah ini berbeda dengan metode pengajaran kitab Shahih al-Bukhari di pesantren lain yang umumnya menggunakan metode bandongan, di mana kiai membaca dan menjelaskan isi kitab, sementara santri mendengarkan dan mencatat.Saat rauhah bulan Rajab di Mambaus Sholihin, Shahih al-Bukhari dibaca seperti Al-Qur’an, secara bergantian oleh para santri hingga khatam selama bulan Rajab. Tidak ada penjelasan mendalam, hanya pembacaan teks yang khidmat dan mengalir.
Menurut penelitian Ismail Hasan dari UIN Sunan Kalijaga dalam tesisnya yang berjudul “Tradisi Rouhah Shahih al-Bukhari di Pon. Pes. Mambaus Sholihin Gresik (Studi Historis Fenomenologis)”, tradisi rauhah ini memiliki akar sejarah yang panjang. Ia berakar dari tradisi halaqah ulama Yaman Timur Tengah yang dibawa ke Gresik oleh keluarga Assegaf, sebuah keluarga habaib yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW. Keluarga yang para pendahulunya berasal dari Hadramaut, Yaman, memiliki hubungan dekat dengan kiai Masbuhin Faqih, pendiri pesantren. Relasi ini menjadi dasar mengapa tradisi rauhah diadakan di Mambaus Sholihin. Bagi kiai Masbuhin, rauhah adalah bentuk mahabbah (cinta) kepada habaib, sekaligus harapan agar dapat berkumpul dengan mereka di akhirat.
Dalam perspektif antropologi, Ismail Hasan mengelompokkan tradisi rauhah ini ke dalam dua kategori: tradisi besar dan tradisi kecil. Tradisi besar adalah kitab Shahih al-Bukhari itu sendiri, yang dianggap sebagai sumber otoritatif dengan nilai-nilai universal. Sementara itu, tradisi kecil adalah pelaksanaannya yang telah diatur sedemikian rupa, mulai dari pembukaan dan penutupan hingga waktu pelaksanaan yang konsisten setiap bulan Rajab. Tradisi ini memadukan nilai-nilai tekstual kitab dengan budaya lokal, menghasilkan pengalaman religius yang unik.
Sebagai salah satu peserta rauhah selama di pesantren, aku merasakan bagaimana kegiatan ini bukan hanya rutinitas, tetapi juga sarana mempererat hubungan antara santri, kiai, dan lingkungan pesantren. Pembacaan Shahih al-Bukhari menghadirkan suasana khidmat, seolah-olah setiap hadis yang dilafalkan mengalirkan keberkahan ke seluruh sudut pesantren. Sebagian besar santri, termasuk aku, lebih fokus pada pembacaan teks tanpa banyak memahami makna mendalam dari hadis yang dibaca. Meskipun demikian, sebagian besar peserta rauhah adalah santri senior dan asatidz yang terbiasa membaca teks bahasa Arab. Meski hanya sekilas, saya yakin mereka juga turut memahami kata demi kata yang dibaca.
Konteks modern Gresik, sebagai kawasan industri yang cenderung rasional dan modern, menambah daya tarik tradisi ini. Di tengah perubahan nilai-nilai masyarakat, rauhah Shahih al-Bukhari menjadi semacam oase spiritual yang menghubungkan masa kini dengan tradisi salaf.
Tradisi rauhah Shahih al-Bukhari juga berfungsi sebagai penyeimbang di tengah kecenderungan sebagian kelompok yang memahami hadis secara tekstual dan sering kali menyalahkan praktik keagamaan yang berbeda. Dengan melibatkan kiai yang memiliki otoritas keilmuan, pesantren dapat menjadikan rauhah sebagai wadah untuk memperkenalkan pendekatan yang lebih inklusif dan kontekstual dalam memahami hadis.
Pada akhirnya, pengalaman mengikuti rauhah Shahih al-Bukhari di Mambaus Sholihin memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga tradisi sambil terus beradaptasi dengan tuntutan zaman. Tradisi ini tidak hanya menunjukkan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW dan para habaib, tetapi juga membuka peluang untuk menjadikan pesantren sebagai pusat pembelajaran yang relevan dan progresif. Aku berharap, tradisi ini terus dilestarikan dengan inovasi yang memperkaya makna dan manfaatnya bagi generasi mendatang.
(AN)