Seorang anak membutuhkan kondisi yang baik dan supportif dalam keluarganya untuk mendukung pertumbuhan baik secara jasmani dan rohaninya, karena keluarga murupakan lembaga primer bagi seorang anak untuk dapat belajar dan mengembangkan diri. Dengan orang tua yang memiliki peran sentral terhadap anaknya, ini menjadi tantangan tersendiri untuk orang tua menjadi role model yang baik dan dapat memotivasi. Hanya saja, tak setiap anak memiliki orang tua yang dapat memotivasi dan mendorong tumbuh kembang anak. Alih-alih keluarga menjadi tempat ternyaman bagi anak, keluarga nyatanya menjadi tempat menyeramkan karena orang tua yang tak supportif, cenderung menekan, dan kasar.
Orang tua dengan kondisi seperti yang telah disebutkan dikenal dengan istilah toxic parents. Toxic parents memiliki beberapa bentuk seperti orang tua yang destruktif, kasar, membanding-bandingkan anak, mudah memarahi anak, egois tak mau mendengar pendapat, bahkan orang tua yang menaruh harapan berlebihan terhadap anak dapat dikatakan sebagai toxic parents.
Pada waktu yang lalu saya melakukan riset kecil-kecilan dengan fitur pertanyaan yang tersedia di Instagram. Di situ, saya bertanya apakah teman-teman dunia maya saya yang berada di Instagram ada yang terjebak ke dalam toxic parents dan bagaimana upaya mereka untuk mengatasinya. Beberapa teman merespons pertanyaan tersebut. Dari respons yang diberikan yang membuat saya tergugah ialah toxic parents yang mereka rasakan bersumber dari kekerasan yang dilakukan oleh Ayahnya terhadap mereka ataupun terhadap Ibunya yang berdampak pada mereka (anaknya).
Dari responden yang ada mereka menceritakan bahwa kekerasan yang dialami berupa perkataan-perkataan kasar yang ditumpahkan sampai pada kekerasan fisik. Ada beberapa teman bercerita bahwa dia diperlakukan kasar oleh Ayahnya karena membela sang Ibu yang mengalami kekerasan, dia disumpah-serapahi sampai mengalami kekerasan fisik. Ada pula teman yang mana dia adalah perempuan, mendapati kekerasan dari Ayahnya karena tak mau mengikuti apa yang dikehendaki untuk dilakukannya. Dia dibatasi untuk melakukan ini dan itu.
Setelah mendengar beberapa cerita dari teman-teman dunia maya, timbul pertanyaan, adakah hubungan antara toxic parents yang dialami beberapa teman saya yang sebagian besar dilakukan oleh Ayahnya dengan patriarki?
Menurut pandangan saya yang berkemungkinan dapat keliru, toxic parents dengan patriarki cukup berkaitan. Patriarki yang melegitimasi superioritas salah satu jenis kelamin yang biasanya adalah laki-laki dan menempatkan jenis kelamin lainnya berada dibawahnya yaitu perempuan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi adanya toxic parents di dalam sebuah keluarga.
Dengan pola pikir patriarki yang melegitimasi segala tindakan yang dilakukan laki-laki – di sini saya tidak ingin menyudutkan laki-laki, hanya saja memang toxic parents yang ada sebagian besar dilakukan oleh seorang Ayah- terhadap perempuan yaitu istri dan anaknya baik anak laki-laki maupun perempuan, pun mendatangkan rasa superioritas kepada laki-laki, memungkinkan adanya perilaku atau tindakan kekerasan yang dilakukan seorang Ayah.
Responden pun bercerita bahwa telah banyak hal yang dilakukan untuk keluar dari situasi yang tak membahagiakan itu dan berdampak terhadap psikologi mereka, hanya saja ini cukup sulit. Orang tua merasa bahwa pandangan mereka yang paling benar dan dapat mengarahkan anak-anaknya ke masa depan yang cerah, padahal yang mereka lakukan hanyalah menekan anak, membuat anak terpuruk dan tak percaya diri. Padahal, anak sebagai manusia yang memiliki eksistensinya sendiri berhak menentukan hidup yang bagaimana yang ingin mereka jalani. Saya pun jadi teringat dengan puisi dari Kahlil Gibran;
“Anak adalah kehidupan, mereka sekedar lahir
melaluimu tetapi bukan berasal darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,
curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu
karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri.
Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak jiwanya, karena
jiwanya milik masa mendatang, yang tak bisa kau datangi
bahkan dalam mimpi sekalipun.
Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah
menuntut mereka jadi seperti sepertimu.
Sebab kehidupan itu menuju ke depan, dan
tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang melucur.
Sang Pemanah mahatahu sasaran bidikan keabadian.
Dia menentangmu dengan kekuasaanNya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap”.
Sebaik-baiknya orang tua adalah mereka yang dapat menjadi teman bagi anaknya, sahabat bagi anaknya, tanpa harus memaksakan kehendaknya, dan memaksa segala pandangan yang dianggap benar bahkan merupakan kebenaran kepada anaknya untuk diyakini dan dijalani. Patriarki yang melegitimasi superioritas dan menyebabkan adanya kekerasan dalam keluarga mesti ditimbun sedalam-dalamnya dan dimusnahkan.