Toleransi yang Kaffah

Toleransi yang Kaffah

Hikmah di balik saudara-saudara Salafiy Jakarta yang menghentikan pengajian dan membubarkan diri setelah majlisnya didatangi kawan-kawan Lesbumi. Bagaimana bersikap?

Toleransi yang Kaffah

Hari Minggu, 14 Pebruari 2016, Panitia Kajian Ahlussunnah Salafy Jakarta menggelar pengajian umum untuk kaum laki-laki yang diselenggarakan di masjid Al-Mujahidin, Jl. Anggrek Neli Murni VII Blok A, Slipi, Jakarta Barat.  Tema pengajiannya provokatif, yaitu Pemurtadan Terselubung di Balik Gerakan Jaringan Islam Nusantara.

Info acara itu disebarkan secara terbuka dan membuat penulis tergerak untuk ingin tahu. Bersama dengan seorang kawan, kami pun menuju lokasi. Jamaah itu sendiri telah berkumpul sekitar jam 10 pagi hari itu telah memenuhi masjid dengan mengenakan pakaian khas salafy, sementara kami berdua hanya memakai celana panjang dan baju hem berlengan pendek tanpa peci.

Beberapa kawan dari Lesbumi PBNU rencana hari itu juga akan datang, maka kami berdua pun menunggu di pos jaga kompleks yang berjarak sekitar 200 m dari masjid. Sekitar jam 11 siang, merela sampai dan dan kami memandunya menuju lokasi. Namun begitu kami datang—kawan-kawan Lesbumi yang mengenakan seragam ala padepokan, berblangkon, mengenakan kemeja dan sarung serba hitam—memasuki masjid, serta merta penceramah menyudahi acaranya. Pendek kata, pengajian hari itu dihentikan karena kedatangan kawan-kawan dari Lesbumi yang mengenakan seragam ala padepokan.

Awalnya kami agak gusar karena nyaris tak mendapatkan informasi apa pun yang terkait dengan materi pengajian di hari itu. Namun kegusaran kami tidak lama karena sejak pagi ternyata ada dua orang kawan kami dari Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) yang sudah merekam seluruh materi yang disampaikan sejak acara dimulai. Selain itu, kawan dari UNU juga sempat membeli majalah Asy Syariah yang dijual untuk kalangan terbatas sepertinya.

Dalam pengantar redaksi edisi 112 yang terbit pada tahun 2016 itu, majalah Asy Syariah yang diterbitkan oleh Penerbit Oase Media yang beralamat di Jl. Godean Km 5, Gg Kenanga No. 26 B Patran, Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta, mengetengahkan headline ‘Topeng Tebal Islam Nusantara’.

“Sebuah topeng baru berwajah rahmatan lil‘alamin, muncul di negeri ini. Wajah keriput yang tebal dengan ‘kosmetika’ moderat, toleran, cinta damai, dan menghargai keberagaman. Konon, Islam mereka adalah yang merangkul bukan memukul, Islam yang membina bukan menghina, Islam yang memakai hati bukan memaki-maki, Islam yang mengajak tobat bukan menghujat, dan seterusnya.”

Itu adalah paragraf pembukanya. Selanjutnya, disebutkan bahwa Islam Nusantara menurut majalah Asy Syariah memang terbukti merangkul, namun yang dirangkul adalah Syiah, Ahmadiyah, Nasrani, Hindu, Budha, dan kalangan non-Islam. Adapun terhadap saudara-saudara seislam yang mengamalkan ajaran Islam berbeda dengan versi mereka, Islam Nusantara menjadikannya musuh sejadi-jadinya.

Lebih-lebih kepada muslimin yang mengamalkan ajaran Islam sebagaimana yang dibawa oleh Rasulullah, Islam Nusantara megajak tobat melalui hujatan bahkan fitnah. Demikian pengantar redaksi majalah Asy Syariah menegaskan dan berniat membuat kamus JIN alias Jaringan Islam Nusantara, untuk mengakomodasi pelbagai istilah yang dianggapnya tidak jelas.

Terlepas dari apa motif Salafy Jakarta menggelar pengajian terbuka, namun kemudian menghentikannya di tengah jalan saat rombongan Lesbumi datang, ada beberapa hal yang menggelitik pada lanjutan pengantar redaksi majalah Asy Syariah.

“Sikap membina tapi tidak menghina yang ditunjukkan oleh salah satu tokoh JIN, yang katanya memakai hati tapi tidak memaki-maki, namun ia menampakkan sikap sewot terhadap jenggot. Memelihara jenggot yang merupakan ajaran Rasulullah—bahkan banyak ulama yang mewajibkan—dikerdilkan sebagai adat Arab. Orang-orang berjenggot dibodoh-bodohkan. Lupakah dia, pendiri ormas yang dia pimpin sekarang berikut para kiainya juga berjenggot?”

Lanjutnya, “Kalau mengaku toleran, mengapa terhadap jenggot begitu antipati?! Kalau mengaku toleran, mengapa ketika ada orang memakai busana yang menutup aurat meradang? Kalau mengaku toleran, mengapa antipati dengan orang yang tidak tahlilan? Dengan logika bodoh saja, orang Nasrani, Budha, Hindu, Kong Hu Cu juga tidak tahlilan. Bukankah tidak tahlilan juga bagian dari keberagaman yang selama ini digembar-gemborkan? Lantas mengapa harus membawa-bawa nama Pancasila untuk urusan tahlilan? Siapa yang bodoh dan siapa yang diragukan Pancasilanya?”

Diam-diam, saat membaca kutipan terakhir paragraf di atas penulis berpikir, jangan-jangan sewaktu mereka menghentikan ceramah tatkala kawan-kawan dari Lesbumi memasuki masjid, mereka tengah mengamalkan nasihat Umar Bin Khathab, begini:

“Janganlah engkau berbicara dalam urusan yang tidak engkau perlukan. Kenali musuhmu. Waspadalah dari temanmu, kecuali yang terpercaya. Tidak ada orang terpercaya kecuali yang takut kepada Allah. Janganlah engkau berjalan bersama orang yang rusak, sehingga dia akan mengajarimu sebagian keburukannya. Jangan pula engkau beritahukan rahasiamu kepadanya. Janganlah engkau bermusyawarah tentang urusanmu kecuali dengan orang-orang yang takut kepada Allah.”

Ya, kutipan dari kitab Shifatu ash-Shafwah halaman 109 itu, dalam majalah Asy Syariah diletakkan persis di halaman pertama setelah cover majalah. Di sudut kanan atas tertulis: Permata Salaf.

Walaupun nasihat sayyidina Umar di atas memang multi interpretatif, terutama yang terkait dengan kalimat, “kecuali orang yang takut kepada Allah (illa man yakhsyaa ‘llaahu)”. Namun ada baiknya gerundelan yang disampaikan oleh saudara-saudara kita yang menyebut diri sebagai Salafy Jakarta itu patut kita renungkan bersama dan sikapi secara positif. Sehingga kita benar-benar bisa melaksanakan toleransi secara kaffah dan obyektif tentu saja terhadap segala sesuatu. Wallahu a’lam bisshowab []

Muhaji Fikriono  adalah penulis buku sufi Puncak Makrifat Jawa (2012). Aktif di  Lesbumi PBNU.