Idul Fitri 2023 kemungkinan besar akan terjadi perbedaan. Muhammadiyah sudah jauh-jauh hari mengumumkan Idul Fitri 2023 akan jatuh pada Hari Jumat, 21 April 2023. NU, meskipun sudah mempunyai hasil hisab, tapi kepastiannya akan ditentukan melalui ru’yah (proses melihat hilal) yang akan dilakukan pada 20 April 2023. Pemerintah, melalui Kementerian Agama juga baru akan melakukan sidang isbat yang diikuti sejumlah organisasi keagamaan pada 20 April 2023.
Sidang isbat sebenarnya dimaksudkan untuk mencari kesepakatan bersama diantara semua organisasi keagamaan. Pemerintah tinggal menetapkan (isbat) dari kesepakan tersebut. Semua organisasi keagamaan diundang. NU, Muhammadiyah, MUI dan organisasi-organisasi lain diminta untuk menjelaskan pendepat dan posisinya. Masing-masing bisanya menjelaskan metode penetapan awal bulan yang secara sederhana biasanya dipilah menjadi dua, ada penetapan awal bulan melalui hisab dan ru’yah, meskipun bukan berarti yang berpegang pada hisab terus mengabaikan ru’yah, atau sebaliknya, yang berpegang pada ru’yah mengabaikan hisab. Mengapa? Karena kitab isa mengetahui ketinggian hilal juga melalui hisab.
Di dalam proses itu ada istilah-istilah teknis yang kemudian memicu perbedaan. Ada wujudul hilal, ada imkanurru’yah, dan ada ru’yatul hilal. Saya tidak mungkin menjelaskan secara detil istilah-istilah ini, disamping memang sudah agak lupa. Saya dulu mempelajari waktu mengambil mata kuliah Ilmu Falak pada awal 1990-an di IAIN (UIN) Walisongo Semarang. Seingatku dulu Ilmu Falak 1 dan 2 yang diasuh Kiai Slamet Hanbali nilainya A semua. Itu tahun 1990-an. Sekarang sudah lupa semua yang saya pelajari waktu itu.
Secara sederhana, wujudul hilal adalah hitungan yang menunjukkan hilal sudah di atas ufuk, berapapun ketinggian hilal itu. Di sinilah letak masalahnya. Muhammadiyah berpegang pada pendapat, selama sudah wujudul hilal berdasar hasil hisab, maka esok harinya sudah awal bulan (merayakan Idul Fitri). Tapi pendapat NU yang selama ini dipegang, meskipun sudah wujudul hilal tapi masih di bawah 2 derajat, maka dia belum imkanurru’yah, belum mungkin untuk dilihat dengan mata, sehingga tidak mungkin ru’yatul hilal.
Jadi, kalau Muhammadiyah menetapkan tanggal 21 April 2023 sudah Idul Fitri karena memang tanggal itu sudah wujudul hilal melalui hisab hakiki, meskipun masih di bawah 2 derajat. Jika masih di bawah 2 derajat, maka bagi NU, itu belum imkanuuru’yah sehingga kecil kemungkinan ru’yatul hilal. Untuk memastikan ru’yatul hilal atau tidak, maka dilakukan proses ru’yah. Kalau dalam ru’yah nanti hilal sudah bisa dilihat meski masih di bawah 2 derajat maka Idul Fitri bisa bareng tanggal 21 April 2023. Kalau tidak bisa dilihat –dan ini kemungkinan besar yang akan terjadi—berarti akan terjadi perbedaan Idul Fitri.
Mengapa NU menekankan pada ru’yatul hilal? Untuk urusan ini NU sering diledek, ngapain harus repot-repot melihat hilal dengan teropong, sekarang kan teknologi sudah canggih dan sebagainya. Bagi NU, aktifitas ru’yatul hilal itu bagian dari proses syar’i, bagian dari ibadah. Mengapa? Karena hal itu perintah Rasulullah. Shumu li ru’yatihi waftiru li ru’yatihi. Berpuasalah kamu sekalian (awal Ramadhan) karena ru’yah, dan berbukalah (merayakan Idul Fitri) karena ru’yah. Kalau tidak bisa melihat hilal, maka perintah Rasululullah, menyempurnakan puasa Ramadhan menjadi 30 hari. Karena itu, bagi NU ru’yatul hilal dengan mengerahkan sejumlah orang di berbagai titik strategis merupakan bagian dari perintah agama yang tidak mungkin ditinggalkan. Apakah dengan begitu, Muhammadiyah meninggalkan perintah agama terkait dengan ru’yah? Ya tidak juga, karena hisab hakiki yang dilakukan dimaknai sebagai upaya untuk ru’yatul hilal.
Begitu penjelasan umum mengapa terjadi perbedaan Idul Fitri. Kalau ada yang bertanya, beberapa tahun kemarin Idul Fitri bisa bareng? Itu ya karena posisi hilal pada 29 Ramadhan pasti sudah di atas 2 derajat, bukan karena masing-masing organisasi bergeser posisi metodologisnya.
Upaya mencari titik temu sebenarnya sudah beberapa kali dilakukan, tapi tampaknya posisi masing-masing tidak pernah bergeser. Menteri-Menteri Agama di sejumlah negara: Indonesia, Brunei, Malaysia dan Singapore juga berupaya mencari titik temu, bahkan mereka juga menyepakati imkanurru’yah hanya bisa terjadi jika hilal di atas 3 derajat.
Kalau sudah begitu terus bagaimana? Mencari titik temu metodologis tampaknya sulit. Memaksa NU untuk merayakan Idul Fitri ketika hilal masih di bawah 2 derajat tanpa konfirmasi melalui ru’yatul hilal itu hal tidak mungkin dilakukan. Demikian juga memaksa Muhammadiyah menunda perayaan Idul Fitri pada posisi wujudul hilal meski masih di bawah 2 derajat juga perbuatan yang tidak bijak. Hal itu hanya bisa dilakukan dengan tangan besi dan pemerintahan yang otoriter. Pemerintah Indonesia tidak dalam karakter seperti itu.
Bukankah hukmul hakim yarfa’ul khilaf, ketetapan pemegang otoritas bisa menghilangkan perbedaan? Secara teoritik benar. Ketetapan pemerintah seharusnya bisa menghilangkan perbedaan. Itulah tujuan dilakukan sidang isbat. Namun, orang masih bisa berdebat, sejauhmana daya ikat (iltizam) ketetapan pemerintah terkait dengan Idul Fitri? Apakah otoritas keagamaan masing-masing orgasisasi keagamaan bisa direduksi ketatapan pemerintah? Pertanyaan ini bisa memicu diskusi lebih Panjang tentang status negara dari kaca mata syariah. Tapi ya sudahlah, saya tidak akan memasuki diskusi itu.
Hal yang lebih penting adalah bagaimana kita menyikapi perbedaan itu? Hal yang paling baik ya taslim, toleransi. Masyarakat harus bisa saling mentoleransi perbedaan. Pemerintah juga tidak perlu melarang kelompok yang merayakan Idul Fitri berbeda dengan yang ditetapkan pemerintah. Sikap Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, yang minta agar pemerintah daerah menfasilitas perayaan Idul Fitri saudara-saudara penganut Muhammadiyah, sudah sangat tepat. Sikap gercep Menteri Agama ini sangat penting, karena kalau situasi tidak menyenangkan yang sepat terjadi di Sukabumi dan Pekalongan dimana warga Muhammadiyah tidak diijinkan menggunakan lapangan untuk merayakan Idul Fitri, di biarkan makan akan menjadi preseden buruk.
Perbedaan Idul Fitri bukan hal baru, sudah sering terjadi. Dulu NU juga beberapa kali berbeda dengan Idul Fitri yang ditetapkan pemerintah. Belakangan Muhammadiyah juga juga beberapa kali berbeda dengan penetapan Idul Fitri pemerintah.
Toleransi perbedaan Idul Fitri ini harus ditunjukkan sebagai kebesaran hati umat Islam. Kalau dari sisi fiqih, toleransi Idul Fitri ini hal serius. Mengapa? Bagi kawan-kawan Muhammadiyah yang merayakan Idul Fitri tanggal 21 April: Kalau ada yang puasa di hari itu berarti haram, karena puasa di hari Idul Fitri itu diharamkan. Demikian juga yang berketatapan Idul Fitri tanggal 22 April: tanggal 21 April masih wajib puasa, yang makan dan minum di tanggal 21 April juga haram. Serius kan?
Meski begitu, kita masih bisa mentoleransi satu dengan yang lain. Itulah kebesaran hati kita semua, umat Islam Indonesia. []
Purwodadi, 19 April 2023
Rumadi Ahmad