Toleransi Keagamaan dalam Ibadah Haji

Toleransi Keagamaan dalam Ibadah Haji

Di Masjid Nabawi terdapat jama’ah perempuan yang tetap terlihat lehernya, tangan dan kakinya. Sebagaimana layaknya jama’ah laki-laki.

Toleransi Keagamaan dalam Ibadah Haji
Penulis saat bersama jamaah haji dari luar negeri (Doc. Lilik Umi Kaltsum)

Haji merupakan ibadah yang memerlukan kekuatan fisik dan psikis. Terlebih pada tahun 2019 ini, cuaca di tanah suci Mekkah atau Madinah mencapai 45-50 derajat celsius. Bila fisik tidak dijaga, ibadah pun akan terganggu.

Tingginya suhu udara tak melemahkan semangat calon jama’ah haji Indonesia. Terhitung sampai tanggal 18 Juli 2019 Kementerian Agama RI telah memberangkatkan kurang lebih 78.952 orang jama’ah haji Indonesia. Demikian dilaporkan oleh sebagian Petugas Haji yang saya temui saat menemui para jama’ah haji di Hotel Retaj Al-Rayyan Makkah. Jumlah ini akan terus bertambah sampai mencapai kuota tahun ini yaitu 231.000.

Ratusan ribu jama’ah Indonesia ini akan bertemu dengan ribuan, bahkan jutaan jama’ah haji lain dari berbagai negara di belahan dunia. Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah merupakan pusat utama para jama’ah haji beribadah. Mulai dari jama’ah shalat fardhu, shalat-shalat sunnah, membaca al-Qur’an, membaca shalawat, berdzikir, thawaf, ziarah ke makam Rasulullah SAW sampai menebar sedekah baik berupa harta benda ataupun jasa.

Jutaan manusia ini tidak mungkin homogen dalam pemahaman dan praktik keagamaannya. Jutaan hamba Allah ini tidak mungkin pula homogen atau satu level dalam strata sosialnya. Heterogen dan kemajemukan adalah sebuah keniscayaan dalam pelaksanaan ibadah haji.

Salah satu contoh pelaksanaan shalat di Masjid Nabawi terdapat jama’ah perempuan yang tetap terlihat lehernya, tangan dan kakinya. Sebagaimana layaknya jama’ah laki-laki.

Ditemukan juga ibu-ibu shalat dengan tangan kanannya mengayun-ayun dorongan bayi agar si bayi tidak menangis selama ditinggal shalat. Demikian pula, model penutup aurat juga sangat beragam.

Fenomena yang variatif ini juga ditemukan pada jama’ah laki-laki. Inilah keragaman dalam beragama. Keragaman ini akan menumbuhkan nilai-nilai positif bila dihadapi dengan jiwa toleransi yang mapan, saling memahami, menghormati, dan menyayangi di antara jama’ah menjadi sikap utama toleransi. Meski syahadat sama, kiblat sama, kitab suci sama, tetapi aplikasi secara teknis berbeda-beda.

Perbedaan-perbedaan ini melebur dengan kesatuan tujuan, yaitu kekhusyu’an bermunajat. Semua bermuara pada keagungan dan keesaan Allah dan kecintaan yang luar biasa pada baginda Rasulullah SAW sang penebar kasih sayang “rahmatan lil-‘ālamīn”.

Indahnya keragaman dalam keberagaman ini semoga terus terbawa sampai pulang ke tanah air. Toleransi saling sayang, saling memahami antar manusia meski beda agama ataupun satu agama, beda aliran tetap terus terjaga, karena inti keberagaman adalah memuliakan manusia.

Wallahu a’lam.

 

Oleh: Lilik Ummi Kaltsum (Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta) dan Najib Tsauri (Staf Wadek)