Beberapa waktu lalu, seorang teman mengunggah sebuah video di grup WhatsApp (WA) yang saya ikuti. Awalnya, saya tidak memedulikan video yang menunjukkan gambar seorang syaikh berjubah dan berimamah tebal di kepalanya itu. Anggapan saya paling hanya video biasa pada umumnya yang berisi doktrin takfiri (saling mengafirkan) seperti yang banyak berserakan di dunia maya.
Namun, ketika menyaksikan video itu betapa takjubnya saya. Ternyata berisi pidato perdamaian yang amat mengesankan dari seorang syaikhul Islam. Video itu cukup ramai dibicarakan netizen. YouTube mendokumentasikannya dalam beberapa versi lengkap berdurasi 22-27 menit dengan bahasa Arab dan Inggris. Judul video itu The speech of the Grand Mufti of Syiria in EU-Parliament.
Syaikh rupawan dan bersuara berat itu bernama Dr Ahmad Badruddin Hassoun, mufti Suriah. Ketika berjalan menuju podium hendak menyampaikan pidatonya, ia tiba-tiba menghentikan langkahnya saat melewati meja seorang pemuka agama Nashrani. Para hadirin tampak heran. Ternyata Syaikh Hassoun dengan kerendahan hatinya mengajak sang pendeta bersalaman sebagai rasa hormat dan membesarkan hatinya karena hanya dia yang dipilih berpidato.
Di depan para pimpinan Eropa itu Syaikh Hassoun menjelaskan bahwa di dunia ini yang suci bukanlah masjid, kakbah, gereja, vatikan, sinagoga, vihara atau tempat peribadatan lainnya. Namun, yang suci adalah manusia. Karena manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan masjid dan gereja dibangun oleh manusia. Jadi, seandainya masjid dan gereja itu roboh maka manusia bisa membangunnya lagi. Akan tetapi jika manusia dibunuh, maka tak akan ada yang bisa mengembalikan nyawanya.
Pidato mengagumkan tersebut diakhiri dengan tepuk tangan panjang para audiensi. Mereka tampak bahagia seakan-akan menemukan hal baru dalam Islam yaitu perdamaian dan toleransi.
Masjid dan aktivitasnya
Ada hal yang menarik dalam pengajian rutin guru kami, Habib Umar bin Ahmad Al-Hamid di Masjid Nurul Huda Kampung Rambutan setiap malam Senin. Kebetulan ketika itu beliau menerangkan kitab al-Nashaih al-Diniyah buah pena Imam Abdullah Al-Haddad halaman 62.
Dalam kitab itu tertulis bahwa barangsiapa yang setiap harinya memohonkan ampun kepada Allah akan dosa-dosa semua umat muslim (beristighfar) sebanyak 27 kali maka ia akan menjadi hamba Allah yang disayangi oleh para makhluk dan bisa menurunkan hujan, mendatangkan rejeki, serta digolongkan menjadi wali atau kekasih Allah SWT.
Habib Umar menuturkan mengapa hanya dengan melakukan itu—oleh penganut Ahlisunnah wal Jama’ah menjadi rutinitas dizikir wajib seusai salat—seseorang bisa dicintai Allah? Tak lain, lanjutnya, karena tersirat bahwa orang itu tidak memendam rasa dengki, iri dan benci kepada sesama. Semua dimohonkan ampun kepada Allah dan orang itu juga memaafkan kesalannya.
Penulis menilai inilah poin-poin toleransi dalam Islam yang tidak banyak diketahui. Islam mengajarkan saling memaafkan, menyayangi, lapang dalam berbeda, melalui ritual ibadah sehari-hari. Islam sangat menganjurkan umat muslim salat berjamaah lima waktu di masjid bukan salat sendirian. Karena dalam berjama’ah akan ada komunikasi dan interaksi antarsesama, saling mengenal hingga akhirnya persaudaraan dan kebersamaan kian erat.
Ketika di dalam masjid, seorang muslim pun dilarang membaca Alquran dengan suara lantang saat ada yang salat karena takut mengganggu. Selain itu, diperbolehkan seorang yang tidak tahu menjadi makmum dari orang yang salat sunnah bukan wajib. Juga mereka yang sudah tua atau kelelahan mengerjakan salat sunnah dengan boleh duduk. Belum lagi bersalam-salaman usai salat sambil merekahkan senyum hangat.
Begitu banyak aktivitas umat muslim di dalam masjid yang sangat indah. Semuanya mengandung nilai-nilai toleransi. Tinggal bagaimana kini aktivitas itu dilanjutkan ketika keluar dari masjid. Sehingga umat muslim bukan hanya baik di dalam masjid, di luar pun mampu menjadi sosok humanis penebar benih-benih cinta damai seperti Syaikh Dr A Hassoun dan bukan bermental radikal seperti kelompok militan ISIS yang dikutuk dunia. Wallahu warasuluhu a’lam