“Meskipun pandangan kita berbeda, kita masih bisa bertetangga secara jujur. Karena pada pendirian kami, agama itu tidak bisa dipaksakan. Agama adalah soal petunjuk dan hidayah Ilahi”
Kalimat tersebut keluar dari lisan Hamka, ulama sekaligus pengarang yang luas wawasannya dan dalam ilmunya. Sepintas kita akan segera tahu maksud dari tulisan itu, yakni mengandung semangat toleransi dalam bermasyarakat, khususnya di Indonesia.
“Kami” yang dimaksud dalam tulisan tersebut tentu merujuk kepada umat Islam. Inilah yang mesti dipahami segenap muslim, sebagai pedoman hidup dalam bermasyarakat. Di satu sisi, muslim memang diperintahkan untuk berdakwah, demi menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di muka bumi.
Akan tetapi, di sisi lain, mesti dipahami juga bahwa dalam berdakwah, hendaknya dengan cara yang baik-baik. Tidak dibenarkan dakwah dengan kekerasan, karena hal demikian akan membuat masyarakat takut dan menjauh.
Karena agama adalah soal petunjuk Ilahi, jadi seorang muslim tidak perlu kecewa ketika dakwahnya tidak disambut baik oleh masyarakat. Muslim hanya berkewajiban untuk berusaha sebaik-baiknya, soal hasil biarlah Tuhan yang mengatur. Pun tak perlu memaksakan kehendak kita –sebagai muslim- supaya orang yang dalam pandangan kita keliru, mengikuti kebenaran versi kita.
Perlu disadari pula bahwa perbedaan di antara manusia adalah sebuah keniscayaan. Satu ajaran yang diturunkan Tuhan kepada manusia, akan dimaknai berbeda-beda, sesuai dengan jumlah orang yang menerimanya. Dari sini kita mafhum, bahwa perbedaan telah menjadi sunnatullah yang tak bisa dirubah.
Perbedaan ada bukan untuk diseragamkan, melainkan dikelola. Maka wajar jika Hamka sebagai muslim, mengatakan bahwa perbedaan tidak menghalanginya untuk bertetangga. Terlebih dalam Islam ditegaskan, menjamin keamanan dan kenyamanan tetangga termasuk perintah agama. Bahkan, belum disebut mukmin taat, jika tetangga yang tinggal di kanan-kirinya merasa tidak nyaman. Ini adalah bukti betapa luhurnya ajaran Islam.
Toleransi Ala Hamka
Hamka meyakini bahwa toleransi dengan melupakan bimbingan al-Qur’an akan membawa pada kehancuran. Dalam bertoleransi, ia mengacu kepada al-Qur’an surat al-Mumtahanah ayat 7, 8, dan 9, yang berbunyi:
“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang di antara mereka. Allah Mahakuasa. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Siapa saja yang menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Hamka memaknai ayat 7 surat tersebut sebagai pandangan muslim dan juga harapan Tuhan, yakni agar timbul kasih sayang di antara orang-orang yang selama ini merasa bermusuh-musuhan, karena orang yang dianggap musuh pun menganggap kaum muslim musuhnya. Sehingga tidak bertepuk sebelah tangan (Rusydi: 2016).
Nampaknya, yang dimaksud “permusuhan” di sini adalah keberadaan misi dakwah yang dipahami masing-masing pemeluk agama. Baik itu Islam, Kristen, maupun Yahudi (agama samawi), memiliki misi ‘dakwah’ masing-masing, yang oleh pemeluknya dimaknai berbeda-beda pula.
Ayat ke-8 lalu dimaknai oleh Hamka bahwa orang Islam tidak dilarang oleh Tuhan bergaul, berhubungan dengan baik dan berlaku adil kepada Ahlul Kitab. Dengan catatan, selama mereka tidak memerangi dan mengusir umat Islam dari kampung halamannya.
Artinya, sebagai muslim, kita sama sekali tidak dilarang bergaul dengan umat beragama yang lainnya. Konteksnya di Indonesia, kita tak dilarang sama sekali untuk bergaul dengan pemeluk agama Khatolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, dan juga aliran kepercayaan lainnya. Bahkan sebaliknya, kita mesti saling menguatkan, untuk membangun negeri. Bukankah negeri ini dibangun di atas pondasi perbedaan?
Lanjut ayat ke-9, Hamka memaknainya sebagai batasan muslim dalam bergaul. Jika memang mereka memerangi dan mengusir umat Islam, maka pergaulan itu tidak boleh terbangun. Demikian juga pertemanan dengan orang yang mendukung aksi mereka, tidaklah diperbolehkan. Bahkan ditegaskan di ujung ayat tersebut, bahwa siapa pun yang berteman dengan mereka, dianggap sebagai orang zalim.
Dari sini, kita bisa mentadaburi ayat al-Qur’an yang telah dijelaskan Hamka, bahwa Islam agama yang santun. Muslim tidak akan memerangi umat lain, selama tidak diusik. Jika telah diusik, sehingga muslim tidak bisa menegakkan perintah agamanya, maka barulah Islam itu bangkit melawan. Kaitannya dengan Muslim Indonesia sebagai mayoritas, memiliki tanggung jawab dalam melindungi kelompok-kelompok minoritas.
Hamka lalu memungkasi penjabaran mengenai toleransi dengan surat al-Baqarah ayat 120 yang berbunyi, “Dan sekali-kali tidaklah akan rela orang-orang Yahudi dan tidak pula orang Nasrani, sebelum kamu jadi pengikut agama mereka.”
Dalam sebuah artikel, Gus Dur mengatakan –kaitannya dengan ayat tersebut- bahwa selama Yahudi percaya bahwa mereka umat pilihan Tuhan dan Nasrani yakin Yesus anak Tuhan, selama itu pula muslim tidak akan menerima keyakinan mereka. Keyakinan tersebut sah-sah saja, dan bukan merupakan halangan untuk tiga pemeluk agama samawi saling bekerja sama dalam urusan muammalat.