Kasus George Floyd—seorang warga kulit hitam yang dibunuh oleh polisi kulit putih—memicu demonstrasi besar-besaran di Amerika Serikat. Kasus rasisme sebagai ekses sejarah perbudakan kulit hitam di negara tersebut yang dihapus sejak 1865 oleh Abraham Lincoln ternyata masih terus terjadi. Hal ini menjadi keprihatinan di tengah dunia yang terus berupaya berjuang untuk mencapai esetaraan.
Mau tidak mau, rasisme yang terjadi di Amerika dan belahan dunia lain terkait dengan perbudakan warga Afrika. Masuknya warga kulit hitam (black people) ke benua Amerika pun tak lepas dari sejarah perbudakan. Di sudut sebuah kota di Afrika Timur, saya menemukan kepingan kisah kelam perbudakan umat manusia tersebut.
Pada saat saya melakukan perjalanan di Mombasa—kota terbesar kedua di Kenya—Afrika Timur tahun 2018, saya menemukan sebuah cerita menarik sekaligus memilukan. Waktu itu saya dan rombongan diajak menelusuri Fort Jesus, salah satu peninggalan bersejarah di kota ini. Fort Jesus merupakan benteng yang dibangun di masa koloni Portugal dan menjadi penjara saat Inggris mengambil alih kekuasaan wilayah tersebut.
Di sekitar wilayah benteng terdapat perkampungan Muslim yang berasal dari wilayah Asia. Saya pun bertanya-tanya, mengapa di benteng kolonial terdapat sebuah perkampungan Muslim? Jawaban itu kemudian saya temukan dari penjelasan pemandu wisata yang menceritakan salah satu titik kelam sejarah Kenya—dan juga kebanyakan negara Afrika—yaitu perbudakan.
Alkisah, Mombasa merupakan kota pelabuhan terbesar di Afrika Timur. Segala bentuk perniagaan berjalan sangat baik di wilayah ini. Sejak abad ketujuh belas, wilayah ini ditaklukkan oleh kerajaan Arab Oman. Kerajaan ini menangkapi penduduk setempat untuk memenuhi permintaan kebutuhan perkebunan di Oman dan Zanzibar atau Tanzania.
Sementara itu di masa kolonialisme Portugis merupakan salah satu pemasok budak ke wilayah Amerika atau yang disebut sebagai the Atlantic slave trade. Ketika eksistensi mereka diganggu oleh Inggris dengan gerakan abolisionisme yang berupaya menghapuskan perbudakan, Portugis kemudian membeli budak dari makelar kerajaan Oman tersebut. Karena itulah Portugis beraliansi dengan kerajaan Oman untuk ‘mengamankan’ wilayah Kenya.
Di kota Mombasa terdapat lonceng besar yang dulu dibunyikan ketika para pemburu budak mengejar penduduk. Warga akan segera berlarian untuk menyelamatkan diri agar tidak tertangkap. Jika tertangkap, mereka akan dikirim ke berbagai negara yang memiliki hubungan dagang dengan kerajaan Oman atau pun Tanzania.
Jejak perbudakan yang mengerikan berada di distrik Kwale. Di sebelah desa pelabuhan yang berbatasan dengan Tanzania bernama Shimoni, terdapat sebuah goa koral yang dulunya digunakan untuk menyimpan budak yang akan dikirim ke berbagai negara. Goa budak Shimoni (Shimoni slave cave), begitu sekarang dikenal, adalah gudang manusia yang dipaksa menampung ribuan budak.
Pengap, gelap, dan kurang udara, begitu kata yang bisa menggambarkan kondisi goa tersebut. Dengan ukuran yang lebih kecil dari goa Jatijajar di Kebumen, sulit membayangkan pernah ada ribuan manusia disimpan di goa ini. Belum lagi air akan masuk saat air laut pasang karena goa ini berada tepat di pinggir pantai.
Sebagai seorang Muslim, saya sangat terkejut dengan kisah aliansi kerajaan Islam dan kolonial yang mencuri penduduk Afrika untuk dijual sebagai budak. Kisah seperti ini belum pernah saya temukan di literatur sejarah yang pernah diajarkan di sekolah.
Saya kemudian mulai membaca teks-teks tentang perbudakan. Ternyata perbudakan memiliki sejarah yang sangat panjang. Zaman Mesopotamia (5000 sebelum masehi) dianggap sebagai awal adanya perbudakan. Pendapat itu di antaranya dikemukakan Daniel C. Snell dalam artikelnya berjudul Slavery In The Ancient Near East (dalam The Cambridge World History of Slavery, ed. Bradley & Cartledge, 2011), tepatnya periode Ubaid (5500-4000 SM).
Perbudakan mengiringi berbagai peradaban besar setelahnya, termasuk Yunani dan Romawi. Di wilayah Mesir, perbudakan bangsa Yahudi oleh Firaun Ramses II (sekitar 1203 Sebelum Masehi) dicatat dalam kitab suci agama Abrahamik. Pada saat itu muncul sosok Nabi Musa (Moses) yang membebaskan perbudakan Bangsa Yahudi, lalu menuntun mereka menyeberangi Laut Merah. Kisah ini diadaptasi dalam film Hollywood berjudul Exodus: Gods and Kings (2014).
Tradisi perbudakan juga dilakukan oleh bangsa Arab, sebuah bangsa yang hidup di gurun secara nomaden. Kehidupan bangsa Arab yang terdiri dari beberapa klan membuat masyarakat sering berperang untuk memperebutkan sumber mata air. Klan yang kalah akan diperbudak. Sementara perempuan serta hartanya menjadi bagian dari rampasan perang yang bisa dibagi-bagi.
Perbudakan dalam Islam
Ketika Islam muncul dan berkembang di wilayah gersang jazirah Arab, perbudakan masih diakui sebagai sebuah realitas sosial. Situasi ini terbentuk karena tradisi yang mengakar sejak lama. Budak merupakan salah satu lambang kejayaan bangsa Arab pra-Islam. Semakin banyak budak yang bisa dibeli, semakin seseorang memiliki nilai kedudukan yang tinggi.
Sewaktu saya belajar tentang perbudakan (Bab Al-Mukatab) di kitab-kitab fikih klasik, guru saya selalu menyebut bahwa mempelajari bab budak bukan berarti mengakui perbudakan masih ada. Bab tersebut dipelajari untuk memahami bagaimana realitas sejarah seperti perbudakan pernah menjadi fenomena dunia.
Lebih lanjut, dengan mempelajari sejarah perbudakan bisa melihat bagaimana Islam membawa semangat untuk memerdekan manusia dari berbagai jenis perbudakan. Beberapa orang terdekat Nabi—yang disebut sahabat—merupakan bekas budak seperti Zaid bin Haritsah, salah seorang yang pertama memeluk agama Islam, dan pengumandang Adzan pertama Bilal bin Rabbah.
Ada banyak hukum dalam Islam yang menjadikan pembebasan budak sebagai syaratnya. Misalnya ketika ada seseorang bersetubuh di siang bulan Ramadan, maka hukuman pertama yang diberikan padanya adalah membebaskan budak. Islam juga memiliki mekanisme sosial bernama ummul walad, yaitu perempuan yang menjadi ibu dari tuannya. Apabila tuannya meninggal dunia dia akan menjadi perempuan merdeka.
Namun perbudakan belum mampu dihapuskan oleh peradaban Islam sepenuhnya. Syariat Islam memang memiliki semangat tersebut, akan tetapi tidak pernah diwujudkan dalam bentuk dokumen tertulis atau pun deklarasi. Karenanya banyak kerajaan Islam di berbagai belahan dunia masih mengakui sistem perbudakan. Kerajaan Oman dan Zanzibar yang menjadikan budak sebagai komoditas ekonomi mereka menjadi contohnya.
Bagaimana dengan hari ini? Meski secara de jure perbudakan sudah dihapuskan, namun kisah-kisah kejam yang identik dengan perbudakan masih terjadi. Di negara-negara berpenduduk mayoritas Islam kita bisa menyimak banyaknya kisah TKW yang diperkosa dan dipekerjakan tanpa diupah. Hal ini menandakan perjuangan untuk membebaskan budak masih sangat relevan.
Kasus Floyd membuka lebar mata kita bahwa selain baru belajar cuci tangan, di tahun 2020 kita masih perlu belajar cara menghormati sesama manusia. [rf]