Ada banyak kabar dari banyak sahabat di berbagai kota ihwal orang-orang Islam yang melakukan hijrah (tentulah ini jalan rohani yang asalinya baik), tetapi mereka lalu meninggalkan profesi-profesi dan bisnis-bisnisnya yang telah mapan hingga berujung pada kesulitan, kesengsaraan, dan kebangkrutan hidup yang berdampak serius pula kepada keluarga dan masadepan anak-anaknya.
Mengapa bisa terjadi anomali begitu rupa, seolah julangnya iman, takwa, dan Islam di hati mesti ditebus dengan hidup yang penuh kesengsaraan-kesengsaraan begitu? Benarkah surgaNya mesti dibayar dengan kesengsaraan-kesengsaraan hidup?
Mari ingat selalu terlabih dahulu bahwa hakikat hijrah adalah pertaubatan untuk taqarrub ilaLlah. Ini genggam dulu dan selalu.
Ia bisa berupa gerakan kembalinya diri kepadaNya setelah bercebur dengan maksiat-maksiat di masa lalu maupun jalan kesalehan untuk lebih mendekatkan diri kepadaNya. Keduanya sama-sama jalan pertaubatan, pintu pertama bagi usaha penjernihan rohani. Begitu tutur Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam Sirr al-Asrar Fima Yahtaj Ilaihi al-Abrar.
Secara sederhana, ada tiga pilar yang bisa kita jadikan pedoman untuk ‘menakar kualitas rohani diri’ ini.
Pertama, iman. Ia semata meyakini dengan haq bahwa Allah Swt adalah Tuhan Sang Maha Kuasa, tiada sekutu apa pun bagiNya, yang menetapkan segala aturan hidup kepada kita dalam bentuk syariat yang telah diteladankan oleh RasulNya Saw.
Kedua, takwa. Ia adalah ekspresi dari iman dalam bentuk amal kepatuhan menjalankan syariat Allah Swt dan tuntunan RasulNya. Menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya, sesederhana itulah takwa.
Ketiga, akhlak karimah. Ia adalah buah sosial dari iman dan takwa itu yang terpancar dalam relasi antarkita, bukan hanya antarumat Islam, tapi juga antarmanusia.
Ingatlah tuturan Rasul Saw: “Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlak, sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.”
Ingat pula maqalah Ali bin Abi Thalib ini: “Kita bersaudara dalam iman; jikapun tidak bersaudara dalam iman, kita bersaudara dalam kemanusiaan.”
Berdasar ketiga parameter tersebut, insya Allah kita bisa terus-menerus bermuhasabah dalam tujuan untuk terus meningkatkan kualitasnya di dalam hati dan sekaligus perilaku sosialnya.
Dalam mengarungi ketiga pilar prinsipil kemukminan dan kemusliman tersebut, boleh jadi kita berguru kepada seorang guru atau bergabung dengan sebuah kelompok liqa’, kajian, atau pengajian. Semuanya sahih belaka sebagai majlis ilmu dan amal saleh dalam konteks meningkatkan iman dan takwa serta akhlak karimah itu.
Akan tetapi, penting benar bagi kita (mohon maaf, utamanya mereka yang kurang punya latar ilmu agama yang kuat) untuk selalu bermawas diri dengan kehati-hatian saksama di era akses informasi yang serba terbuka ini bahwa kenyataannya kini tidak semua guru agama atau kelompok kajian mengajarkan Islam dengan spirit cinta dan kebijaksanaan dalam taushiyah-taushiyahnya. Mau sefasih apa pun kutipan ayat atau hadisnya, ajaran-ajaran cinta dan kebijaksanaan mestilah selalu menjadi karakter dan sekaligus tolak ukur bagi kedalaman ilmu dan pula rohani sang guru.
Ini sungguh penting dipahami di era trend hijrah ini. Mengapa pilar ini sangat penting?
Saya kutipkan riwayat Rasul Saw ini: Suatu hari datang seseorang kepada Rasul Saw dan berkata: “Celakalah saya, Rasul, celakalah saya, sungguh celaka….”
Rasul Saw bertanya, “Apa yang telah kau lakukan hingga kau mengatakan dirimu celaka, celaka, dan celaka?”
Ia bercerita, “Saya telah berhubungan badan dengan istri di bulan Ramadhan.”
Rasul Saw menjawab tenang, “Kalau begitu, berpuasalah dua bulan berturut-turut sebagai penggantinya.”
Ia menjawab, “Duh, Rasul, jangankan dua bulan, dalam Ramadhan saja saya kebobolan begitu….”
Rasul Saw berkata lagi, “Kalau begitu, berikanlah makanan kepada 60 fakir miskin.”
Ia menjawab, “Ya Rasul, di kampung saya, ya saya inilah orang yang paling fakir.”
Rasul Saw tersenyum. Lalu aduan tersebut dinyatakan telah selesai. Ya, selesai.
Lihatlah, betapa bijaksananya cara Rasul Saw dalam mengajarkan Islam kepada umatnya. Kebijaksanaan, dalam konteks kita, tentulah lahir dari kedalaman dan keluasan ilmu serta kejernihan rohani yang telah mbalungi, mendarah-daging. Kebijaksanaan dan cinta musykil lahir dari pemahaman ilmu yang sempit, kaku, keras, berat, pelik, sulit, dan rohani yang cemerlang. Dan inilah yang oleh al-Qur’an disebut ulul albab (dari kata al-labab, artinya intinya inti, saripati).
Apakah guru hijrah Anda mengajarkan Islam dengan penuh kebijaksanaan? Ataukah, dengan kaku, keras, kasar, dan harga mati-matian dan menyatakannya sebagai hukum Allah Swt yang mutlak?
Syariat Allah Swt dibuatNya dan diajarkan RasulNya kepada kita semua bukan untuk menyulitkan hidup kita. Sama sekali bukan begitu. Tiada untungnya sama sekali bagi Allah Swt dan RasulNya untuk menyulitkan kehidupan umatnya. Bukankah Anda pernah mendengar bahwa seluruh ibadah kita kepadaNya bukanlah untukNya, tapi untuk diri kita? Bukankah Anda pun telah mendengar hadis sahih yang menyatakan bahwa kelak kita akan masuk surag Allah Swt bukan karena gunungan ibadah kita, melainkan semata karena ridha dan rahmatNya kepada kita?
Ingatlah bagaimana Rasul Saw sampai menyatakan khawatir umat akan menganggap shalat tarawih wajib bila dilaksanakan tiap malam dan berjamaah. Ingatlah pula bagaimana Rasul Saw meringankan para sahabatnya saat perjalanan ke Bani Quraidhah dalam melaksanakan shalat ‘Ashar. Dan ingatlah pula bagaimana Rasul Saw tidak menyalahkan sahabatnya yang bertayamum saja lalu salat tanpa menggantinya dengan salat lagi ketika mendapatkan air untuk wudhu.
Inilah segelintir bukti bahwa Allah Swt sama sekali tak menghendaki keberatan hidup bagi kita dalam mematuhi syariatNya, agamaNya, dan ittiba’ RasulNya.
Di dalam al-Qur’an, banyak ayat yang menunjukkan hal ini:
Surat al-Baqarah ayat 185: “YuriduLlahu bikumul yusra wala yuridu bikumul ‘usra, Allah Swt selalu menghendaki kepada kalian kemudahan dan tidak menghendaki kepada kalian kesulitan.”
Surat al-Baqarah ayat 286: “La yukallifuLlahu nafsan illa wus’aha, Allah Swt tidak akan membebankan kewajiban pada manusia kecuali dalam kadar kemampuannya.”
Surat at-Taghabun ayat 16: “Bertakwalah kepada Allah Swt menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahilah dirimu dengan nafkah yang baik.”
Rasul Saw dari riwayat Abu Hurairah bersabda: “Sesungguhnya agama itu mudah, dan sekali-kali tidaklah seseorang akan memperberat agama melainkan akan dikalahkan dan (dalam beramal) hendaklah bersikap pertengahan (yakni tidak melebihi atau mengurangi), dan bergembiralah kalian serta mohonlah pertolongan kepada Allah Swt dengan amal-amal kalian pada waktu kalian bersemangat dan giat.”
Lalu Rasul Saw bersabda: “Mudahkanlah, janganlah mempersulit dan membikin manusia lari (dari kebenaran) dan saling membantulah dan jangan berselisih.” (HR Bukhari Muslim).
Dan Rasul Saw juga bersabda: “Yassir wala tu’ashshir wa basysyiru wala tunaffiru, mudahkanlah, jangan mempersulit, berilah kabar yang menggembirakan dan jangan membuat manusia lari (dari kebenaran).”
Begitulah sebagian landasan naqli ihwal betapa Maha Rahman dan RahimNya Allah Swt kepada kita semua begitu luas seluas-luasnya tiada batas.
Maka, umpama Anda sedang melakoni dengan sungguh-sungguh jalan pertaubatan untuk taqarrub ilaLlah, atau sebutlah berhijrah, lalu Anda diajarkan oleh guru agama Anda hal-hal yang berat, rumit, pelik, sulit, dan menyusahkan, apalagi memicu kemadharatan baru dalam hidup Anda, tinggalkanlah….
Betul, tinggalkanlah ia segera, carilah guru lain yang penuh cinta dan bijaksana dalam mengajarkan ilmu agama dan membimbing laku taubat cum hijrah Anda.
Inatlah surat Ali Imran ayat 159 ini: “Maka disebabkan Rahmat dari Allah Swt kamu bisa bersikap lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap kasar lagi berkeras hati, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
Allah Swt melalui ajaran Islam yang tak menghendaki kesengsaraan hidup bagi Anda sejatinya mengandung makna hendak menjaga Anda dari risiko kemadharatan dalam segala bentuknya, duniawi maupun ukhrawi. Ini berarti bahwa syariat Islam yang ditetapkan oleh Allah Swt dan dituntunkan RasulNya Saw sama sekali tidak bisa diterima akal sehat bila malah menjerembabkan kita kepada kesulitan dan kesengsaraan hidup.
Justru segala hal yang berbuah kemadharatan hidup begitu menandakan dengan nyata adanya kezaliman di dalamnya. Dan segala bentuk kezaliman adalah hal yang dibenci oleh Allah Swt dan bertentangan dengan tujuan syariatNya (maqashidus syariat).
Mari pikirkan dengan mendalam: Bagaimana mungkin kita menegakkan syariat Allah Swt dengan cara memantik kezaliman-kezaliman di dalamnya, pada diri, keluarga, dan anak-anak kita yang tak tahu apa-apa itu? Bagaimana mungkin kita menyatakan “Inilah jalan Ilahi” jika di waktu yang sama kita sebagai orang tua justru sedang merampas hak hidup senang dan bahagia khas anak-anak dan sekaligus masadepannya? Bagaimana mungkin ada semburat Cahaya Rahman RahimNya Swt di antara kezaliman-kezaliman yang tak masuk akal begitu rupa?
Sekali lagi, carilah guru Islam yang lain; Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Negeri ini memiliki begitu banyak ulama dan guru agama yang ilmunya seluas samudra dan cintanya setinggi langit dalam membimbing murid-muridnya, dengan penuh cinta dan bijaksana.