Saya pernah berada di organisasi Islam yang menjadikan perempuan hanya sebagai “tambal butuh”. Secerdas apa kamu, sededikatif apa kamu, sevokal apa kamu, jika kamu perempuan, maka letakmu tetap di belakang laki-laki. Laki-laki lah yang berhak jadi ketua. Perempuan lebih baik nyiapin konsumsi, pesen snack, ngarsip daftar presensi. Kalau boleh ngomong, ngomongnya bisik-bisik, ingat ukhti, suaramu adalah aurat, jadi yang mentransfer pesannya ya laki-laki saja.
Dalam organisasi seperti itu, peristiwa seperti Mbak Yenny Wahid yang langsung membawa Barikade untuk mengumumkan sikap politik nggak mungkin terjadi. Perempuan kok di depan, malah di belakangnya laki-laki banyak banget, wah apa kata patriarki?
Saya sudah mbatin hal ini lama, kepengin nulis nggak jadi-jadi. Entah ada hubungannya atau tidak, tapi tiga ulama dengan anak-anak perempuan nyentrik kok kebetulan idola saya semua: Gus Dur, Gus Mus dan Prof Quraish Shihab. Saya agak sedikit yakin, beliau-beliau ini punya pandangan kokoh pada kemandirian perempuan, salah satunya sebab dikaruniai keturunan kok kebetulan banyak perempuannya.
Semua keturunan Gus Dur adalah perempuan. Semua anak-anak perempuan itu selalu berhasil mencuri perhatian dengan gagasan-gagasan mereka. Di kalangan pesantren yang pangapunten “laki-laki banget”, kalau ada Mbak Alissa dan Mbak Yenny datang, nggak tahu kenapa pemandangannya tiba-tiba jadi setara. Faktor Syaikhuna KH Hasyim Asyari dan Gus Dur mungkin, tapi, ah enggak juga. Rasa-rasanya hal tersebut terjadi sebab mereka perempuan yang punya dignity dengan gagasan brilian juga ketenangan dan kepemimpinan yang mengagumkan.
Siapa yang meragukan penghormatan Gus Mus pada perempuan? Syair gubahan Gus Mus paling kusukai berjudul Wanita Cantik Sekali di Multazam. Itu syair sufistik. Gus Mus menggambarkan perasaan campuran ketika melihat satu sosok, antara perasaan kagum yang luar biasa, lalu raja ke khauf, khauf ke raja, raja ke khauf… ke perasaan runduk hamba. Kalimat-kalimat itu mengingatkanku pada penjelasan Annemarie Schimel dalam My Soul is A Woman soal kesufian perempuan. Dalam Wanita cantik sekali di Multazam, bagiku Gus Mus tak hanya bicara seorang perempuan sebagai fisik, tapi jiwa, jiwa yang setara Tuhan!
Oh, aku pun selalu menangis tiap Gus Mus membaca puisi berjudul Sidik Jari yang ia tulis untuk Bunyai. Kata Gus Mus, Bu Nyai tak mungkin pergi kemana-mana meskipun tinggal sidik di jendela, di meja, di pintu, melainkan bersamanya!
Itu kenapa ada Mbak Ienas Tsuroiya yang sigap banget nyuting Mas Ulil kemana-mana. Mbak Ienas sering dibilang ada di belakang kesuksesan ngaji Ihya Mas Ulil, itu salah. Yang betul, Mas Ulil nggak bisa sukses ngaji Ihya kalau Mbak Ienas nggak nenteng-nenteng tripod dan selfie ceria!
Ketiga, Prof Quraish Shihab. Wah, kalau ini nggak perlu penjelasan ya. Prof Quraish menulis buku soal Jilbab dengan sangat terang dan menulis buku berjudul perempuan. Saya membaca biografi berjudul Cahaya, Cinta dan Canda M Quraish Shihab, dijelaskan bahwa Prof Quraish suka anak-anak perempuannya sekolah, bahkan Prof Quraish lah yang sempat menentang Bu Elaa dan Mbak Nana nikah sebelum lulus S1. Tradisi yang lumayan nyentrik untuk keluarga Sayyid kan?
Siapa yang meragukan tatapan nyalang Najwa Shihab menghadapi koruptor level coba-coba sampai jenderal penantang sidikan KPK? Ibu Najelaa Shihab adalah Alissa Wahid dalam bentuk kerja lain. Jika Alissa Wahid mendampingi masyarakat akar rumput, Ibu Najelaa lebih bergerak di masyarakat urban, mulai dari dunia pendidikan, ibu-ibu Aimi ASI, yayasan keluarga kita, pesta pendidikan se-Indonesia dll. Saya berhutang rasa kepada Mbak Nana dan Bu Elaa untuk channel Semua Murid Semua Guru dan Shihab & Shihab. Juara laaaaah!
Tiga ulamaku bisa punya anak perempuan juara karena menganggap akal perempuan penuh, kedirian perempuan penuh, jalan bertauhid perempuan penuh.
Hidup tiga ulamaku!