Tiga Tingkatan Al-Nafs

Tiga Tingkatan Al-Nafs

Tiga Tingkatan Al-Nafs

Kata Al-Nafs sebagaimana jamak diketahui sedikitnya terdapat dua pengertian. Pengertian pertama adalah nafsu. Dalam bahasa Indonesia kata nafsu diartikan sebagai dorongan hati yang kuat. Sedang pengertian kedua adalah jiwa atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan roh manusia atau nyawa.

Kata Al-Nafs menurut Ibnu Ishaq, sebagaimana dikutip Baharuddin, setidaknya mengandung dua pengertian. Pertama, kata Al-Nafs berarti nafas atau nyawa. Seperti dalam kalimat telah keluar nafs seseorang artinya nyawanya. Kedua, berarti diri atau hakikat dirinya, seperti dalam kalimat seseorang telah membunuh nafs-nya, berarti dia telah membunuh seluruh diri seseorang, atau hakikat dirinya.

Di tangan para ahli filsafat, kata Al-Nafs diartikan sebagai jiwa. Sebagaimana menurut Ibn Sina (370-429 H/980-1037 M), jiwa setidaknya terbagi menjadi tiga, yakni jiwa tumbuhan (Al-Nafs An-Nabatiyah), jiwa binatang (Al-Nafs Al-Hayawaniyah), dan jiwa manusia (Al-Nafs Al-Insaniyah). Dari ketiganya, hanya jiwa manusia yang mempunyai daya berpikir yang disebut ‘aql. Jiwa tumbuhan hanya memiliki daya makan, tumbuh, dan berkembang. Sedangkan jiwa binatang hanya memiliki daya gerak dan daya mencerap (Al-Mudrikah).

Berbeda dengan ahli filsafat yang ingin menggambarkan jiwa manusia secara hierarki, sebagaimana dikatakan Baharuddin, para ahli tasawuf lebih cenderung menggambarkan jiwa secara kedudukan atau posisi. Bagi para ahli tasawuf, Al-Nafs merupakan dimensi manusia yang berada di antara ruh dan jism. Ruh membawa cahaya, sedangkan jism membawa kegelapan. Maka, meski tidak sepenuhnya tepat, di antara ruh dan jism itulah Al-Nafs berada dalam diri manusia.

Kata Al-Nafs sendiri sebagaimana dikatakan Baharuddin setidaknya dapat dijumpai sebanyak 297 dalam Alquran. Sebanyak 140 dalam bentuk mufrad. Sedangkan dalam bentuk jamaknya terdapat dua versi, yaitu nufus sebanyak dua kali, dan anfus sebanyak 153 kali, serta dalam bentuk fi’il sebanyak dua kali.  Dari sekian jumlah ayat tersebut dapat dikatakan bahwa salah satu yang menjadi pokok pembicaraan Alquran terkait dengan kata Al-Nafs adalah manusia.

Secara umum, Al-Nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia, setidaknya terdapat empat pengertian. Pertama, Al-Nafs berhubungan dengan nafsu; kedua, Al-Nafs berhubungan napas kehidupan; ketiga, Al-Nafs berhubungan dengan jiwa; dan keempat Al-Nafs berhubungan dengan diri manusia. Secara fungsional Al-Nafs juga dipersiapkan untuk dapat menampung dan mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik dan buruk. Selain itu, isyarat tentang nafs  juga dapat dilihat dari segi tingkatan-tingkatannya. Tingkatan-tingkatan tersebut antara lain adalah Al-Nafs Al-Ammarah, Al-Nafs Al-Lawwamah, dan Al-Nafs Al-Mutmainnah.

Al-Nafs Al-Ammarah

Al-Nafs Al-Ammarah secara sederhana adalah Nafs yang mendorong manusia untuk melakukan pemuasan kebutuhan biologisnya. Nafs dalam tingkatan ini juga biasanya diidentikan dengan Al-Nafs Al-Hayawaniyah karena kecenderungannya yang mengarah sebagimana perbuatan hewan.

Selain itu, Al-Nafs Al-Ammarah sebagaimana dikatakan Baharuddin juga cenderung agresif mendorong untuk memuaskan keinginan-keinginan rendah, dan menggerakkan pemiliknya untuk melakukan hal-hal yang negatif. Kecenderungan yang demikian memang tidak bisa dipungkiri terkadang ada pada diri manusia.

Al-Nafs Al-Lawwamah

Secara eksplisit term Al-Nafs Al-Lawwamah setidaknya dapat dijumpai dalam Q.S. Al-Qiyamah ayat 2. Menurut Al-Ragib Al-Asfahani (w. 503 H) Al-Nafs Al-Lawwamah adalah Nafs yang telah menganjurkan untuk berbuat baik dan dia akan mencela dirinya apabila melakukan hal-hal yang tercela. Dengan kata lain, Nafs dalam tingkatan ini adalah Nafs yang telah menyadari dan mengetahui arah dari sebuah perbuatan. Oleh sebab itulah, Al-Nafs Al-Lawwamah ini seringkali dikatakan sebagai Nafs yang telah mampu melibatakan rasionalitas dan lebih condong ke arah laku yang baik.

Karena kemampuannya yang telah mampu untuk membedakan, pada tingkatan Al-Nafs Al-Lawwamah ini  manusia mulai mampu untuk introspeksi diri, mengakui kesalahan, dan cenderung kepada kebaikan, meski tidak maksimal. Al-Nafs Al-Lawwamah ini juga seringkali disejajarkan dengan aspek potensial manusia. Artinya bahwa potensi manusia adalah menggunakan rasionya untuk hal-hal yang dirasa baik.

Al-Nafs Al-Mutma’innah

Istilah mutma’inah berasal dari kata tamana yang berarti tenteram. Al-Ragib Al-Asfahani berpendapat bahwa ketika kata tamana dengan segala derivasinya dihubungkan dengan kata qalb atau nafs maka maknanya adalah jiwa yang senantiasa terhindar dari keraguan dan perbuatan jahat.

Alquran secara eksplisit menyebut Al-Nafs Al-Mutma’innah paling tidak dalam Q.S. Al-Fajr ayat 27. Menurut Al-Maraghi Al-Nafs Al-Mutma’innah adalah sebagai Nafs yang secara substansi telah mencapai keyakinan akan kebenaran yang tidak lagi tergoyahkan oleh syahwat dan kesenangan.

Al-Nafs Al-Mutma’innah merupakan tingkatan tertinggi dari rentetan strata jiwa manusia. Nafs pada tingkatatan ini telah terlepas dari Al-Nafs Al-Ammmarah atau Al-Nafs Al-Hayawaniyah dan melebihi Al-Nafs Al-Lawwamah. Tidak lagi dalam aspek  potensialnya dan bahkan melebihi potensialnya, Al-Nafs Al-Mutma’innah telah memiliki kualitas insaniyah yang sempurna. Sebuah kualitas yang mencerminkan gambaran dari perciptanya.

Tiga tingkatan Nafs itu setidaknya dapat memperlihatkan tentang bagaimana kencenderungam jiwa manusia. Ia adakalanya sama seperti binatang. Ia juga adakalanya mulai menjelma dengan sifat-sifat potensinya. Selain itu, ia juga mungkin saja akan mampu menjadi jiwa yang sempurna, yakni jiwa yang telah mampu melebur dengan tidak saja pada sifat-sifat potensialnya, melainkan juga sifat-sifat ketuhanannya.

Agar dapat mencapai pada tingkatan jiwa yang sempurna tersebut, salah satu wasilahnya adalah Tazkiyah. Tazkiyah Al-Nafs sendiri sebagaimana menurut Al-Ghazali dapat ditempuh dengan cara Zikr yakni dengan menyatakan keesaan Allah, mengagungkan nama-Nya, memohon ampunan-Nya, dan memuja zat-Nya.

Pada prinsipnya proses Tazkiyah tersebut merupakan suatu usaha untuk menjadi manusia yang lebih baik. Oleh karena itu, pada saat yang sama perlu untuk diperhatikan juga tentang apa yang disebut dengan baik, karena baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain, meski tujuan akhirnya adalah sama.