Tiga Pesan Simbah Kakung untuk Calon Pemimpin

Tiga Pesan Simbah Kakung untuk Calon Pemimpin

Tiga Pesan Simbah Kakung untuk Calon Pemimpin

Nama KH Ahmad Mustofa Bisri cukup dikenal luas oleh masyarakat. Selain karena ia pernah menjabat sebagai Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Gus Mus, begitu sapaannya, juga aktif menulis dan melukis. Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang ini memiliki pengajian rutinan di kediamannya, selain mengisi pengajian di berbagai daerah.

Penulis cukup beruntung karena diberi kesempatan untuk bertamu ke kediamannya di desa Leteh, kota Rembang. Kediamannya berada di tengah-tengah bangunan bertingkat yang merupakan bangunan pondok pesantren asuhannya. Sementara rumah Gus Mus jauh dari kesan serba mahal sebagaimana rumah-rumah milik tokoh nasional kebanyakan. Ruang tamunya saja sangat sederhana. Tidak ada perkakas seperti sofa dan lemari antik. Para tamu duduk di atas karpet dan disuguhi pemandangan lukisan di dinding rumahnya, serta sebuah lemari kaca berisi kitab-kitab kuning.

Ketika Gus Mus menemui penulis beserta tamu lainnya, sahabat KH Abdurrahman Wahid itu bersikap sangat akrab. Ia bercerita tentang kondisi kesehatannya yang sedikit bermasalah. Ia merasakan punggung sebelah kanannya terasa sakit. “Ada yang bilang kolesterol, ada yang bilang asam urat, tapi kayaknya karena terlalu banyak bersalaman,” canda Gus Mus.

Saat sowan kemarin, kebetulan hanya ada dua rombongan tamu. Yang pertama adalah tamu dari Pati, yang kedua adalah penulis dan teman-teman. Kami tak harus menunggu lama untuk bisa mendapat wejangan dari kiai sepuh yang sangat dihormati ini. Apalagi Gus Mus akan segera bertolak ke Semarang untuk menghadiri sebuah acara.

“Ada tiga hal penting,” ujar Gus Mus dengan suara sedikit serak nan meneduhkan. Ia menjelaskan, ketiga hal ini sebaiknya melekat pada semua orang, terutama calon pemimpin di masa depan. “Yang pertama, ini sering saya sampaikan, jangan pernah berhenti belajar,” kata Gus Mus. Pesan ini memang kerap diucapkan olehnya di berbagai kesempatan. Penulis beberapa kali mendengar nasihat ini, salah satunya di sebuah acara di stasiun televisi. Saat itu Gus Mus berkata orang boleh berpikir segila apapun asal jangan berhenti belajar.

Gus Mus menyitir ayat pertama dalam Al-Quran yaitu iqra! Atau bacalah! Membaca apa? Ya apa saja. Al-Quran tidak memberi penekanan terhadap objek khusus untuk dibaca. Karenanya, ayat ini menjadi dorongan bagi manusia untuk membaca apapun, mulai buku, situasi, kondisi dan lain sebagainya.

Yang kedua, Gus Mus berpesan agar calon pemimpin bisa memosisikan dirinya di tengah-tengah atau ummatan wasathotan. Jangan sampai seorang pemimpin memiliki kecenderungan ke kanan atau ke kiri karena bisa terlalu mendekatkan pemimpin itu ke satu pihak dan menjauhkan dari pihak yang lain. Hal ini bisa menjadikan seorang pemimpin berlaku tidak objektif dan tidak adil. Dengan berada di tengah-tengah, seorang pemimpin bisa melihat berbagai permasalahan dengan jernih.

Ketiga, Gus Mus mengingatkan agar orang bersikap secukupnya dan tidak berlebihan. Aswaja, asal wajar saja. Korupsi, perampasan hak, dan segala bentuk penindasan atas hak milik orang lain adalah buah dari sikap yang berlebih-lebihan. Pun sikap berlebih-lebihan ini perlu dihindari dalam membenci sesuatu. Sebab kebencian bisa membuat seseorang berlaku tidak adil.

Allah SWT berfirman: “…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa…” [Al Maa-idah 8]

Ketiga pesan dari kiai sepuh yang juga kerap disapa Mbah Kakung itu sangat relevan dijadikan bahan instrospeksi bagi penulis dan pembaca sekalian. Apalagi menyikapi situasi saat ini di mana banyak orang merasa paling benar, ingin menang sendiri, tidak malu korupsi dan menghujat orang atau kelompok lain yang dibenci. Semoga kita selalu mendapat perlindungan dari Allah ‘azza wa jalla. Amin ya rabal ‘alamin..

 

Sarjoko, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja. Bisa disapa lewat akun twitter @sarjokooo