“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa: Susukan dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke dalam sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan jangan (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya (salah seorang) dari para Rasul.” (QS/28: 7)
Bagian awal ayat ini berbicara dengan sangat halus kepada ibu Musa. Ayat ini menjanjikan anak yang dihanyutkannya akan kembali lagi. Ayat ini juga menyebutkan, Allah akan menjadikan sang anak sebagai rasul.
Meskipun sang anak hidup dalam ancaman pembunuhan oleh Firaun, namun sang anak masih tetap selamat sesuai firman Allah. Keinginan ibu Musa untuk menyusukan anaknya bukanlah bagian langsung dari ayat itu secara keseluruhan. Namun pada kenyataannya, Al-Quran mengungkapkan aspek tersebut dengan meletakkannya di bagian awal.
Makna terpenting dari ayat ini, yang kerap kali terabaikan, adalah bahwa Ibu Musa telah menerima wahyu. Hal ini memperlihatkan bahwa perempuan bisa saja menerima wahyu, sebagaimana kaum pria.
Kasus Ibu Musa yang disebutkan dalam ayat tersebut memperlihatkan bahwa perempuan memang berbeda dalam sejumlah aspek, namun di sisi lain perempuan juga bisa universal terhadap masalah tertentu.
Perempuan lain yang disebutkan dalam Al-Quran adalah Maryam. Beliau merupakan satu-satunya perempuan yang disebutkan dalam Al-Quran lengkap dengan namanya dan dijadikan judul salah satu surat.
Hal ini karena Nabi Isa As dilahirkan dari rahim Maryam melalui suatu mukjizat, bukan melalui proses biologis yang normal.
Nabi Isa kerap kali disebut ‘Putra Maryam’ untuk memperlihatkan pentingnya kelahirannya. Hubungan kekeluargaan dalam Al-Quran biasanya diikuti dengan nama sang ayah atau nama nenek-moyang lelaki. Namun karena tidak ada ayah yang bisa disebutkan untuk Nabi Isa AS bisa dipanggil secara tradisi hubungan kekeluargaan.
Yang lebih penting lagi, berdasarkan perspektif Al-Quran, Nabi lsa bukanlah Anak Tuhan’. Meskipun Maryam disebut berikut namanva dalam Al-Quran, ia juga memiliki panggilan kehormatan yang diberikan di kalangan bangsa Arab dan digunakan dalam Qur’an: ia dipanggil ‘saudara perempuan Harun’.
Di dalam kisahnya, seorang utusan muncul di hadapan Maryam sambil menyampaikan pesan Allah bahwa ia akan lahirkan seorang anak. ‘Maryam berkata: ‘Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezinah? (QS/19:20).
Sesaat setelah ia menerima pernyataan itu, Allah meniupkan ruh kepada Maryam, hingga ia mengandung seorang anak. Ketika kelahiran tiba, Al-Quran menggambarkan penderitaannya dan merekam pernyataannya, “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan (melebihi sakitnya menderita penyakit).” (QS/19:23),
Keadaan Maryam saat itu mirip dengan perempuan lain yang sedang mengandung seorang anak. Al-Quran kemudian memperlihatkan perhatian Allah SWT terhadap penderitaannya, “Janganlah kamu bersedih hati!” (QS, 19:24), “dan ia diminta untuk makan, minum dan bersenang hati.” (QS/19 :26)
Seperti Ibu Musa yang kita kutip sebelumnya, contoh ini biasanya hanya dianggap sebagai kisah kelahiran bayi atau penyelamatan seorang bayi. Namun, Al-Quran memasukkan kisah ini bukan cuma memberikan penekanan terhadap peristiwa penyelamatan sang bayi saja, tetapi juga dipandang sebagai perhatian terhadap ibu-ibu yang terhormat.
Terakhir, ada satu contoh mengenai pentingnya Maryam bagi seluruh orang-orang beriman, melalui satu penilaian gramatis sederhana.
Al-Quran mengklasifikasikan Maryam sebagai salah seorang “qanitin” (QS/66:12). Qanitin adalah kata jamak maskulin yang berarti seseorang beriman dihadapan Allah. Tidak ada alasan untuk tidak menggunakan bentuk jamak feminin-selain untuk menekankan pentingnya Maryam sebagai salah satu contoh bagi seluruh orang beriman-baik pria maupun perempuan. Kebaikan Maryam, tidak dibatasi oleh jenis kelamin.
Perempuan ketiga adalah Balqis, Ratu Sheba. Meskipun fakta menunjukkan bahwa Balqis adalah seorang ratu, namun kebanyakan kaum Muslimin menganggap kepemimpinan sangatlah tidak patut dipikul kaum perempuan. Padahal, kisah Ratu Bilqis dalam Al-Quran justru menyinggung soal praktek politik dan keagamaannya.
Kisah dalam Al-Quran terus berlanjut: Balgis adalah perempuan yang sangat kuasa, dianugerahi segala sesuatu dan memiliki kaumnya menyembah matahari, selain Allah’ (QS/27:24). Nabi Sulaiman mengirim sepucuk surat kepada Ratu Sheba. Dengan Nama Allah, serta meminta Sang Ratu beserta pengikutnya untuk menyembah Allah semata (QS/27:29-31).
Ketika ia membaca surat itu, Balqis berkata kepada para penasehatnya. “Hai para pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku surat yang mulia (karim).” (QS/27:29) Kemudian ia meminta para penasehatnya untuk memberikan pertimbangan dalam urusan tersebut karena “aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kalian [memberikan pertimbangan (terhadap masalah tersebut)]” (QS/27:32).
Meskipun Ratu Sheba melaksanakan tata cara yang lazim dalam mengambil keputusan dan meminta pertimbangan para penasehatnya tentang masalah ini, ia juga telah memberikan indikasi pandangannya dengan menyebut surat itu. Karena itu, penundaan keputusan yang dilakukannya dalam hal ini bukanlah karena ketidakmampuannya mengambil keputusan, tetapi demi protokol dan diplomasi.
Wallahu A’lam.