Kegairahan keberislaman semakin terlihat belakangan yang ditandai dengan beberapa fenomena sosial. Kita jumpai gejala-gejala yang merujuk pada hal tersebut, antara lain; munculnya istilah berbalut agama dan dikemas menjadi berbagai event yang bernuasa dakwah, maraknya penceramah muallaf –kadang memberikan testimoni yang cukup berani, tumbuh pesatnya industri fashion muslim dan tak luput jua bermunculannya da’i-da’i populer via sosmed. Gabungan dari mereka semua sering mengobarkan semacam “uforia kebangkitan islam” dari mimbarnya masing-masing. Suatu konsep yang mengacu pada terbentuknya solidaritas umat muslim, dan pada akhirnya, memicu sebuah gerakan politik praktis.
Gejala ini sekilas mencipta rasa optimisme dan kebanggaan akan kehidupan dan peradaban islam, namun jika kita telisik lebih dalam, gejala-gejala sosial muslimin ini menunjukkan fakta yang tidak begitu menggembirakan. Fakta tersebut terkait dengan bersambutnya gairah keagamaan ini dengan suatu dorongan yang sama sekali bukanlah dari perintah-perintah agama itu sendiri. Ketika penceramah-penceramah yang menempati mimbar-mimbar umat dan saluran-saluran publik dengan sembrononya “ngompori” umat untuk sebuah tujuan politik tertentu dari pada mengenalkan dan mendekatkan umat pada Allah SWT. Sebuah ruang abu-abu terbuka. Campuran antara agama dan kepentingan politik. Tampaknya ada sekelompok orang yang menyadari melimpahnya sumberdaya politik dalam ruang keberagamaan yang mudah dieksploitasi.
Ketenangan beragama perlahan terusik akibat dengan mana bahasa yang sama selama ini para ulama berusaha mengasuh masyarakat untuk menghantarkannya pada kematangan spiritual yang mungkin mereka capai, kini telah dimuati dengan dorongan makna yang berbeda, kalau tidak berbalik arah. Bahasa-bahasa yang darinya makna-makna kedamaian, ketenangan dan pencerahan dapat diserap, kini telah memuat tenaga yang berbeda jauh. Kalimat yang sebelumnya menenangkan berubah menggelisahkan.
Satu contoh, kalimat “Allahu Akbar” yang semestinya menyesapkan kepahaman suatu kondisi pengedepanan “kepentingan” Allah di atas besarnya keinginan dan kepentingan manusia, kini saat kita mendengarkannya, justru mendapatkan sengatan panas makna sebuah agresifitas yang sangat hewani. Sebuah luapan emosi yang paling tidak beradab. Berisi kekuatan penghancuran ketimbang sebuah kekuatan perlindungan. Artinya, kewarasan dan kegilaan kini telah menggunakan diktum yang serupa. Makna yang bertentangan, muncul dari susunan huruf-huruf yang sama.
Ini berlaku pada ruang wacana publik keagamaan secara lebih luas. Kini banyak ditemui khutbah-khutbah, postingan-postingan yang “memanas-manasi” jamaah untuk “bersatu”, “bergerak”, “bangkit” dan seterusnya, berlawanan dengan konten-konten ceramah yang mengajak pada pemeliharaan akan ketentraman, toleransi dan perdamaian yang merupakan tujuan agama.
Menghadapi ini, setidaknya kita perlu diperlengkapi degan tiga cara pandang atau menemukan indikator kehati-hatian dalam melihat fenomena. Pertama adalah melihat konstruksi syariah-nya secara utuh. Diksi politik bisa jadi adalah bagian dari penjelasan dan perintah agama jika kita tahu konstruksinya secara menyeluruh sejak dari konteksnya. Sebaliknya, ayat suci al-Qur’an bisa saja hanya menjadi alat memobilisasi sentimen dan gerakan politik jika ia muncul dalam konstruksi keagamaan dengan posisi penuh penentangan. Yang terakhir ini khas khawarij.
Salah satu contoh, ini terjadi pada saat pengumuman KPU tentang pemenang Pilpres 2019 yang dipercepat sehari dari tenggat waktu 22 Mei dan pada dini hari pula. Kita tahu beberapa hari setelah itu viral ayat 108 dari surat an-Nisa’ yang kurang lebih berarti; “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” Arah dari pemviralan ayat ini tidak lain dan tidak bukan adalah upaya mendeligitimasi keputusan KPU. Di sisi lain hendak mengeskalasi militansi pendukung untuk melakukan perlawanan.
Tentu saja yang namanya keputusan Bahtsul Matsail tidak muncul begitu saja berdasar keinginan dan arah strategi politik yang berlaku. Namun melalui proses dan metodologi istinbath hukum yang valid berdasar tradisi fikih. Dilakukan oleh ahlinya dan jauh dari dorongan politik praktis. Keputusan yang melegitimasi keputusan KPU ini menyatakan bahwa keputusan KPU mengikat secara syar’i. Sebuah konstruksi tentang bagaimana Islam mesti merespon keadaan secara bertanggung jawab terhadap kebenaran islam itu sendiri, pertama dan yang kedua, bertanggung jawab pada keberlangsungan kemaslahatan. Diksi politiknya hanya wajah dari tubuh utuh suatu hukum syariat.
Yang kedua (indikatornya) adalah arah yang hendak dicapai oleh konten tersebut. Di sinilah kepekaan alam berpikir hakikat syariah (tujuan pensyari’atan) diperlukan. Kehalusan hati yang merupakan bagian terpenting dari seorang muslim akan mampu membedakan yang mana merupakan agitasi dan propaganda saja dan yang mana benar-benar sebuah ajakan untuk lebih relijius. Sehingga tidak mudah tertipu oleh kecanggihan teknik agitasi dan propaganda yang menggunakan bahasa agama namun hanya menghantar pada tujuan-tujuan duniawi dan sebaliknya semakin meninggalkan hakikat dari agama itu sendiri yang tak lain adalah mengenalkan dan mendekatkan pada Allah SWT.
Pada keputusan Bahtsul Matsail, meskipun, itu tidak menimbulkan sensasi yang menggelorakan dalam emosi kita, kita melihat sebuah konstruksi syariah yang utuh dan ma’ruf, artinya menenangkan karena diketahui kebenarannya. Sementara pada kemunculan an-Nisa’ ayat 108 kita melihat sesuatu yang parsial, entah dari mana datangnya, tidak ada bangunan istinbath hukum yang utuh yang menjadi “rumah” keberadaannya, kecuali semata untuk menggunakan ayat itu sebagai alat agitasi. Terasa sekali bahwa itu hanya sebuah kemunkaran, al-munkar, sesuatu yang tidak membuat jiwa tenang kerana tidak dikenali kebenaranya. Sensasional dan menggelorakan kebencian jika dipertemukan dengan fakta bahwa KPU mengumunkan pemenang Pilpres 2019 pada malam hari seperti yang tercantum dalam ayat tersebut.
Indikator ketiga, adalah spiritnya. Banyak konten, ceramah (dan sosok penceramahnya sendiri, terkadang) yang apabila didengarkan secara seksama hanya menjadikan islam sebagai pakaiannya saja, islam tidak muncul sebagai agama, ruh/spirit dalam pergerakan lahir maupun bathin. Apapun bagian dari agama yang sedang dibentangkan mestinya hanya membuat pemirsanya semakin mengenali Tuhan-nya, membuatnya mampu mengenang ke-Agungan-Nya, menyaksikan ke Kekuasaan dan Kebesaran-Nya, merasakan Kasih Sayang-Nya, bukan malah terhijabi oleh letupan emosi, terhalangi oleh kepentingan sang penyeru tersebut, atau malah yang terlihat hanyalah kehebatan/popularitas si penceramah. Sesuatu yang ruhnya sudah busuk tak akan mampu membangunkan ruh orang lain. Bukankah mereka orang-orang soleh (auliya Allah) adalah mereka yang jika kita melihatnya akan mengingatkan kita pada Allah!?
Wallahu A’lam..