Tiga Fase Perkembangan Sastra Tasawuf

Tiga Fase Perkembangan Sastra Tasawuf

Tiga Fase Perkembangan Sastra Tasawuf

Dalam sastra Arab, muncul sebuah aliran yang melakukan semacam “pemberontakan” terhadap bentuk sastra mainstream saat itu. Aliran itu disebut adab shufi, sastra tasawuf. Meskipun tidak secara terang-terangan memproklamirkan “peperangan” pada bentuk sastra lain (misal: ghazal, ritsa’), tapi adab shufi, dengan kekuatan cinta kepada Yang Maha Lain, secara otomatis memberikan rasa minder kepada bentuk lain yang kebanyakan berupa pujian kepada raja, cinta yang tidak tersampaikan, atau candu tak henti pada khamr.

Ahmad Amin dalam Zhuhr al-Islam menyebutkan bahwa sastra tasawuf memiliki ciri khas berupa perasaan jiwa yang dalam atas ketundukan kepada kehendak Tuhan, penggunaan ishthilahat (terminologi) dan rumuz (simbol-simbol) )yang sulit dipahami orang awam, serta kerinduan pada transedentalitas dan keluhuran rohani yang mewujud pada kesederhanaan hidup (zuhd).

Sastra tasawuf, menurut Ahmad Amin, memiliki tiga fase. Fase pertama dimulai sejak kemunculan Islam sendiri. Sastra di fase ini kebanyakan berisikan nasehat-nasehat keagamaan, hidup sederhana, dan celaan atas sifat-sifat jelek. Kebanyakan berupa prosa dan beberapa di antaranya terdapat syair milik Hassan ibn Tsabit ataupun Miskin al-Darami. Fase ini berakhir di abad kedua hijrah.

Fase selanjutnya dimulai pada pertengahan abad kedua. Pada tahap ini sastra tasawuf mulai mendapat ciri khasnya. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan ilmu kalam dan persentuhan budaya dengan bangsa lain. Sehingga berkembanglah unsur falsafi dalam tasawuf. Unsur ini sedikit banyak memengaruhi perkembangan sastra tasawuf. Bentuk nyata pengaruh ini adalah istilah tasawuf dan ‘igauan’ (syathahat). Dua hal ini menghiasai kalam al-Bisthami, al-Hallaj, dan lain-lain. Bentuk dominan di masa ini masih prosa, meskipun cukup banyak syair menghiasi.

Fenomena penting yang patut dicatat pada masa ini adalah sastra tasawuf sangat digandrungi oleh banyak kalangan. Para jamaah tarikat tertentu melantunkan syair dengan wazan yang teratur dan tempo musik yang match dalam rangka mencapai ekstase (wajd). Tidak jarang beberapa orang-orang pandir menjadikannya sebagai gaya hidup dalam rangka mencari sesuap nasi.

Fase kedua ini, masih menurut Ahmad Amin, terus berlangsung hingga abad keempat hijrah. Kemudian dari abad keempat sampai delapan hijrah adalah fase ketiga sekaligus juga bentuk final dari sastra tasawuf. Setelah fase ketiga ini tidak terlalu banyak sastrawan tasawuf yang mendapatkan penghargaan di kalangan umat muslim. Jika harus menyebut satu nama terpenting pada periode ini tentu hampir semua ahli bersepakat bahwa ia adalah Ibn Arabi, seorang penghapal Alquran sejak belia dan pengembara ilmu hadis.

Dalam fikih ia menganut Mazhab Zhahiriyyah yang terkenal sedikit rigid. Namun dalam tasawuf ia memiliki konsep yang unik tentang acosmic pantheism (wahdatul wujud al-nafiyah lil alam), manusia sempurna, dan ketunggalan seluruh agama. Barangkali yang paling sering ia dengungkan dan paling berkembang di antara para pelaku tasawuf adalah paham wahdatul wujud-nya. Secara terang-terangan ia memproklamirkan paham ini.

Karyanya yang paling masyhur adalah Fushush al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyyah. Bentuk nyata sastra tasawuf paham ini adalah syair beliau berikut:

فلست غيرا له ولا هو # لوحدتي في  الوجود ثاني

“Aku bukanlah sesuatu yang berbeda baginya. Begitu juga ia (bukanlah sesuatu yang berbeda bagiku) karena ketunggalan dalam wujud yang kedua.”

Demikianlah, tasawuf di masa ini mencapai bentuknya yang lebih kontroversial ketimbang periode kedua. Karena memang tasawuf di masa ini mengalami perkembangan dari periode kedua serta mengambil bentuknya yang paling ekstrem. Maka cukup wajar jika ia mendapat berbagai macam reaksi. Well, sastra berguna bagi kaum sufi bukan hanya karena ia adalah media, tapi juga karena ia tak pernah ditanya harganya berapa.

 

*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren, tinggal di Pasuruan