Akhir-akhir ini kita seringkali menemui fenomena mudahnya orang atau kelompok mengatasnamakan agama (termasuk Allah dan ulama). Apalagi jika dikaitkan politik. Misalkan, mengkaitkan kondisi politik di Indonesia seperti kondisi ketika Nabi Muhammad SAW melawan orang kafir, merasa terdhalimi dan membela diri dengan nama agama, dan sikap-sikap lainnya. Padahal kondisi-kondisi ini seringkali tidak sepenuhnya benar. Misalkan, ketika mereka mengatasnamakan ulama untuk merumuskan rekomendasi capres dan cawapres, sejatinya ulama yang dimaksudkan adalah ulama versi mereka dan bukan ulama secara keseluruhan. Contoh lain, mereka menganggap bahwa Allah berada di pihak mereka untuk membantu mengalahkan pihak-pihak yang mereka lawan.
Saat ini, agama memang menjadi bahan yang mudah untuk membuat orang terpengaruh. Ditambah lagi dengan kondisi saat ini. Misalkan, banyaknya orang awam agama namun semangat ingin mengetahui agama dan di sisi lain tidak ingin repot belajar agama dengan cara yang benar dan tepat (bénér dan pénér). Selain itu, juga banyak generasi post-milenial yang sangat tergantung dengan kecanggihan teknologi. Kondisi yang demikian membuat pihak-pihak yang mudah mengatasnamakan agama mudah “mencari kawan” dengan memanfaatkan teknologi. Jika fenomena ini terus berlangsung tanpa kendali, maka akan rentan penyalahgunaan agama secara berlanjut sehingga potensial memunculkan benturan antar golongan. Pada akhirnya, akan mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara.
Pada dasarnya, semangat keberagamaan yang tinggi dan menginternalisasikan nilai-nilai keagamaan dalam diri kemudian mengaktualisasikannya pada kehidupan sehari-hari adalah sikap yang patut untuk diapresiasi dan didukung. Akan tetapi, semangat keberagamaan ini juga hendaknya diikuti dengan perilaku mempelajari agama dengan benar. Di sisi lain, juga berhati-hati dalam menggunakan agama agar tidak memberikan kesan agama menjadi alat untuk mencapai kepentingan pribadi dan golongan.
Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang atau kelompok mudah mengatasnamakan agama dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam bidang politik.
Pertama, terkait dengan keinginan Islam kembali berjaya setelah sekian lamanya Islam tidak memegang kendali peradaban. Pada zaman dahulu Islam pernah memegang kendali peradaban dunia. Selain itu, masifnya perkembangan pemeluk Islam, Islam mampu menjadi spirit dan semangat dalam membangun kehidupan ke arah yang lebih baik. Kondisi ini ditandai dengan meluasnya wilayah yang di bawah kepemimpinan Islam. Selain itu, dalam bidang ilmu pengetahuan, banyak cendekiawan muslim yang melakukan banyak penemuan dan menulis berbagai buku yang kemudian menjadi rujukan perkembangan keilmuan pada periode selanjutnya.
Akan tetapi, Islam mengalami kemunduran yang kemudian kendali peradaban berpindah ke Eropa (dan Amerika – pada perjalanannya Amerika memiliki pola pikir dan budaya yang hampir sama dengan Eropa) sampai saat ini. Hegemoni Barat ini semakin menancapkan kukunya sehingga menyebabkan kapitalisme, liberalisme, dan paham lainnya yang melahirkan berbagai permasalahan, seperti ketimpangan sosial. Pihak Islam seolah tidak memiliki kekuatan untuk menentukan peradaban.
Maka dari itu, muncul rasa frustasi dengan segala kegagalan sistem dan paham produk hegemoni Barat dalam membangun kehidupan. Rasa frustasi ini kemudian diikuti dengan keinginan merasakan kejayaan Islam yang pernah terjadi. Pada akhirnya, muncul semangat (mudah) membawa Islam ke berbagai ranah (terutama politik). Pada dasarnya, menggunakan agama Islam untuk dasar berpijak dan bertindak tidak menjadi suatu masalah. Akan tetapi, yang patut diwaspadai adalah mengenai cara menggunakan Islam tersebut dan untuk tujuan apa sikap tersebut harus ditempuh.
Kedua, perasaan terdhalimi yang diinternalisasikan ke dalam diri dan kemudian mengkaitkan identitas diri dengan agama. Perasaan frustasi yang muncul akibat persaingan hidup yang semakin ketat dan tingkat kesulitan hidup semakin tinggi akibat dampak dari tekanan dan hegemoni Barat (baik secara langsung maupun tidak langsung), akan berpotensi memunculkan perasaan teraniaya (terdhalimi). Di sisi lain, terpuruknya perkembangan peradaban Islam di berbagai negara akibat campur tangan Barat juga turut membentuk perasaan teraniaya akibat persamaan identitas, yaitu Islam.
Kondisi ini rentan mengakibatkan cara pandang dan cara pikir yang overgeneralisasi (kecenderungan menyamaratakan kondisi keterpurukan Islam di Timur Tengah dengan di Indonesia – Jika memang Islam di Timur Tengah dan di Indonesia dianggap terpuruk dan stagnan maka jenis stagnansinya ini yang berbeda karena di Timur Tengah terjadi dalam kondisi konflik sedangkan Indonesia bukan merupakan negara konflik atau perang). Maka, hal yang terjadi kemudian adalah menggunakan agama Islam untuk melakukan perlawanan, terlepas bagaimana kondisi daerah mereka mengadakan perlawanan.
Ketiga, motif mencari pendukung dan melegalkan keinginannya. Untuk dapat mempengaruhi orang lain untuk berada di pihaknya, maka mengatasnamakan agama (Islam) menjadi salah satu teknik yang dianggap mampu. Terlebih lagi, agama merupakan suatu hal yang sakral dan bersifat dogmatis dan jika digunakan akan mampu mempengaruhi banyak orang dengan berbagai latar belakang sosial. Jika ada banyak pihak yang berada dalam satu barisan dengannya, maka akan mudah untuk melakukan gerakan perlawanan, (sekali lagi) terlepas dari bagaimana kondisi tempat mengadakan perlawanan itu berada.
Jika dalam kondisi yang benar-benar terjadi konflik, maka pengatasnamaan Islam barangkali tidak menjadi masalah. Akan tetapi, pengatasnamaan Islam tersebut tetap dalam koridor bukan membenturkan golongan satu dengan golongan lain. Misalkan, untuk membangkitkan semangat melawan penjajahan maka bisa ditanamkan nilai-nilai Islam yang mengajarkan tentang pembelaan terhadap eksistensi harga diri dan kemerdekaan diri, sehingga siapapun yang menjajah (tidak peduli agamanya) maka semangat perlawanan tersebut tetap ada. Motif mencari pendukung ini kemudian mudah tercapai karena banyak masyarakat awam agama namun memiliki semangat beragama yang tinggi.
Dengan mengetahui berbagai faktor tersebut, maka kita diharapkan dapat meminimalisirnya sehingga fenomena tersebut dapat ditekan. Jika memang ingin Islam memegang kendali peradaban kembali, maka kuncinya adalah perkembangan pengetahuan atas dasar nilai-nilai Islam.
Jika memang suatu sistem dinilai kurang dapat menyelesaikan problematika masa kini, maka bisa jadi pelaksananya perlu diperbaiki sehingga membangun karakter penting untuk dikedepankan. Jika suatu pemerintahan dianggap kurang memiliki kinerja yang baik, maka dapat mengambil peran untuk memperbaiki kondisi tersebut tanpa harus membenturkan pemerintahan (terlebih sistem dan bentuk negara) dengan agama. Semoga.