Tiga Ajaran Pokok Tarekat Naqsyabandhiyah

Tiga Ajaran Pokok Tarekat Naqsyabandhiyah

Tiga Ajaran Pokok Tarekat Naqsyabandhiyah
ilustrasi

Dalam tulisan ini, saya akan berbagi tentang beberapa pokok ajaran tarekat Naqsyabandhiyah yang falsafahnya dapat diterapkan oleh siapa saja. Secara keseluruhan, ada 11 pokok ajaran. Namun, sebagian besar menyangkut hikmah-hikmah yang perlu dijalankan dengan pemahaman yang spesifik untuk para murid. Dengan demikian, saya mencoba merangkum poin-poin kunci tentang tiga ajaran saja, yaitu: hush dar dam, nazar bar kadam, dan safar dar watan.

Hush dar dam, atau kesadaran spiritual dalam bernafas, adalah ajaran pokok pertama tarekat Naqsyabandhiyah. Prinsip ini meminta murid-murid tarekat untuk selalu menjaga syukur dan sadar akan keberadaan Allah yang menyertai setiap hela nafas manusia.

Selain disampaikan dalam suhbah-suhbah (semacam ceramah namun dengan suasana yang lebih hangat dan akrab di antara guru dan murid) sebagai nasihat keruhanian, beberapa metode meditasi dzikir juga diajarkan dan diaplikasikan guna membantu menghidupkan kesadaran ini.

Untuk murid-murid Naqsyabandhiyah, setiap siklus pernafasan wajib diisi dzikir kepada Allah. Beberapa cabang dari tarekatt ini mengajarkan tentang adab dzikir harian seperti menyebut Allah 1500-5000 kali. Ini merupakan sarana pembiasaan untuk menyadari nafas kita dan mengisinya dengan mengingat Allah. Hasil akhirnya, diharapkan kesadaran tentang Allah terus hidup di jiwa dan hati para pengikut tarekat ini. Analoginya adalah seperti lagu yang terus terngiang di kepala kita.

Nazar bar qadam, atau sadari langkahmu, adalah ajaran pokok berikutnya dari tarekat Naqsyabandhi. Setelah menyadari nafas sebagai sebuah sarana bersyukur dan menghayati keberadaan Allah, seorang murid diajari untuk memperhatikan kemana langkahnya atau perjalanannya menuju, dan dengan cara apa langkah itu di”hentakkan”.

Dalam bentuk yang paling disiplin, ajaran ini meminta murid untuk menundukkan pandangan dan lebih memperhatikan kakinya sendiri, bila tak benar-benar perlu melihat sekeliling. Karena, setiap apa yang dilihat mata akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah.

Hikmah dari ajaran ini adalah mengajak manusia untuk lebih fokus pada kesalahan sendiri daripada kesalahan orang lain. Syaikh Bahauddin an-Naqsyabandi, pendiri tarekat ini, berkata bahwa bila kita fokus pada kesalahan teman kita (ketimbang diri sendiri), maka kita akan kehilangan semua teman, karena tidak ada orang yang sempurna, selalu saja ada kesalahan orang lain yang kita temukan.

Tapi, apa gunanya menghitung-hitung kesalahan orang lain? Tariqah Naqsyabandhi mengajak kita untuk lebih banyak mengintrospeksi diri dari pada sibuk dengan hal-hal yang tidak relevan dengan ke mana arah kita menuju, khususnya secara spiritual. Jadi, fokuslah terutama pada kualitas diri dalam hal-hal ruhani misalnya akhlak, cinta kasih dan kesungguhan mengarahkan hati hanya kepada Allah dan RasulNya.

Kemana perjalananmu menuju? Mana jalan yang kamu pilih? Sedekat apa langkahmu menuju cinta dan ridha Allah? Demikian pertanyaan-pertanyaan yang menjadi refleksi masing-masing diri saat menerapkan ajaran ini.

Safar dar watan: perjalanan pulang. Prinsip ketiga jalan sufi Naqsyabandhi menekankan perlunya tiap salik/pejalan sufi untuk mengingat bahwa kemana pun kita menuju, sesungguhnya kita akan kembali ke asal.

Di manakah “asal” itu? Terdapat dua jenis asal. Yang hakiki adalah sebagaimana disebutkan dalam salah satu ucapan Allah sendiri bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah.

Yang kedua adalah perjalanan pulang ke diri sendiri, tempat di mana segala perbuatan dalam hidup kita berasal. Para sufi mengajarkan bahwa “siapa yang mengenal dirinya akan mengenal tuhannya.” Ungkapan ini sangat kuat untuk menjadi motivasi perjalanan spiritual ke dalam diri sendiri. Di titik ini, dapat disimpulkan bahwa mengenal diri adalah awal dari perjalanan mengenal Allah. Awal dari pulang sejati.

Kesadaran akan hal ini menjadi syarat perjalanan spritual sufistik, khususnya di tarekat Naqsyabandhiyah. Dikatakan bahwa sesungguhnya semua hal yang kita alami dan miliki tidak datang sendiri melainkan diberikan oleh Allah kepada masing-masing kita dan akan kembali juga kepadaNya.

Tugas tiap orang untuk mengembalikan pada Allah dalam bentuk terbaik, semurni ketika itu diberikan.

Apa sebenarnya yang diberikan oleh Allah? Segala sesuatu. Namun dari semua itu ada yang paling utama. Guru-guru Naqsybandhi mengajarkan bahwa cinta adalah pemberian terbaik dariNya. Sebagaimana disebutkan di atas, kelak “cinta” juga akan kembali pada Tuhan dan bersaksi tentang bagaimana dan untuk siapa ia kita manfaatkan.

Apakah cinta kita manfaatkan untuk mencintai seseorang dengan hawa nafsu, dengan harapan akan imbalan, atau semata-mata dalam rangka memberikan yang terbaik untuknya? Dan siapa seseorang itu? Apakah ada yang kita cintai lebih dari mencintai Allah dan RasulNya?

Wallahu A’lam.