Tidur adalah kenikmatan. Setelah seharian penuh tubuh ini beraktivitas dan pikiran didayagunakan, malam tiba, mata terserang kantuk, dan tidur terasa nikmat tiada tara. Tidur adalah istirahat dan mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Di saat tidur, kesadaran kita berhenti, pikiran kita mandek, tubuh kita terkalahkan kantuk.
Ada yang bertanya, di saat tidur, kemana dan dimanakah kesadaran dan pikiran kita berjalan ataukah memang tidak berjalan? Pertanyaan ini tidak mengurangi eksistensi tidur sebagai peristirahatan yang paling nikmat.
Tidur hanya menyisakan nafas yang terus bekerja. Dalam tidur, kadang ada kilasan mimpi, kadang indah dan kadang tidak indah. Kadang mendengkur (ngorok), dan kadang tidak ngorok.
Tidur seperti ambang kematian. Lalu, setiap orang membutuhkan dan bahkan menikmati tidur, sebab tidur pada akhirnya menjadi rutinitas yang dinikmati. Manusia tidak takut tidur. Kenapa manusia takut mati?
Manusia mengimajinasikan kematian sebagai akhir kehidupan, karenanya menakutkan. Sedangkan tidur diimajinasikan sebagai peristirahatan, karenanya menyenangkan. Padahal, kematian juga istirahat dari aktivitas dunia. Jika tidur dan kematian adalah peristirahatan, dan peristirahatan adalah kenikmatan, maka sejatinya kematian adalah kenikmatan. Ini logikanya.
Sehingga para sufi malahan mengimajinasikan kematian sebagai kenikmatan. Sebab kematianlah yang menghantarkan hamba berjumpa dan menyatu dengan Kekasihnya, yaitu Tuhan, dengan mesra.
Dalam doktrin Islam, kematian adalah proses kembali kepada Sumber Kehidupan, yaitu Allah. Dari Allah kembali ke Allah. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.()