Allah SWT telah memilih Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk kekasih-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Perempuan suci lagi mensucikan, al-shiddiqah binti al-Shiddiq, perempuan yang derajat keagungannya memenuhi tujuh lapis langit, pendidik para ulama, pengajar akhlaq, pendakwah yang memiliki lisan fasih, juru bicara para fuqaha, sejak kecil dan tumbuh kembang sebagai pemeluk agama Islam. Ia pernah berkata:
لم أعقلْ أبويَّ إلاَّ وهما يَدينان الدِّين
“Sebelum aku tumbuh sebagai orang yang beraqal, kedua orang tuaku sudah memeluk Islam.”
Dialah satu-satunya istri Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang dinikahi masih dalam kondisi masih perawan, sebab belum pernah menikah sebelumnya. Kecintaannya pada Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam, digambarkan dalam banyak kitab manaqib sebagai yang tiada tertandingi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, menggambarkan keutamaan Aisyah dibandingkan dengan semua perempuan dari kalangan Ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ini.hadis tersebut diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, sebagai berikut:
فضْلُ عائشةَ على النِّساء كفَضلِ الثَّريد على سائر الطَّعام
“Keutamaan Aisyah dibanding perempuan-perempuan selainnya adalah bagaikan keutamaan al-tsarid mengalahkan jenis makanan lainnya.” HR. Bukhari dan Muslim
Maksud dari hadis ini, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah adalah sebagai berikut:
قال العلماء : معناه أن الثريد من كلّ الطعام أفضل من المرق, فثريد اللحم أفضل من مرقه بلا ثريد, وثريد ما لا لحم فيه أفضل من مرقه, والمراد بالفضيلة نفعه, والشبع منه, وسهولة مساغه, والالتذاذ به, وتيسر تناوله, وتمكن الإنسان من أخذ كفايته منه بسرعة, وغير ذلك, فهو أفضل من المرق كله ومن سائر الأطعمة، وفضل عائشة على النساء زائد كزيادة فضل الثريد على غيره من الأطعمة. وليس في هذا تصريح بتفضيلها على مريم وآسية; لاحتمال أن المراد تفضيلها على نساء هذه الأمة
“Para ulama berkata, makna hadis ini adalah bahwasanya al-tsarid (bubur) merupakan makanan yang paling utama di antara berbagai jenis makanan lainnya dari kelompok al-muraq (makanan lembut/kuah/kaldu). Bubur daging adalah lebih utama dibanding kaldu tanpa bubur. Bubur makanan yang tidak ada daging yang menggumpal di dalamnya adalah paling utama-utamanya muraq. Maksud dari utama ini adalah segi manfaatnya, mengenyangkan, dan mudah dicerna, serta kelezatan. Mudah dikonsumsi, dan memungkinkan semua orang bisa mengkonsumsinya dengan cepat. Itulah sebabnya, al-tsarid merupakan paling utama-utamanya muraq khususnya bila dibandingkan semua jenis makanan lainnya. Dan keutamaan Aisyah di antara perempuan lainnya adalah lebih banyak bagaikan kelebihan al-tsarid dari semua makanan ini.hadis ini tidak ada hubungannya dengan penjelasan keutamaan Maryam dan Aisyah, karena sifat khusus kandungan darihadis adalah mencakup semua perempuan dari ummat Muhammad ini.” (Syarah Muslim, Juz 15, halaman 99).
Penggambaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang keutamaan Aisyah radliyallahu ‘anha ini seolah mengesankan adanya sifat multitalenta yang dimiliki oleh Aisyah. Itulah sebabnya, beliau digambarkan sebagai al-tsarid, semacam bubur sederhana yang siapapun bisa mengolahnya dan mengakui kemanfaatannya.
Penggambaran ini bukan merupakan yang irrasional, tapi justru sangat rasional. Pertama, dari sisi usia beliau yang masih sangat belia ketika dinikahi oleh Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari faktor usia yang masih belia ini, maka sangat rasional bila daya hafalannya sangat kuat. Bahkan kemampuan pemahaman, penalaran dan komunikasi dalam menyampaikan gagasan. Itulah sebabnya, Aisyah radhiyallahu ‘anha dijuluki oleh para ulama sebagai muhadditsatu al-fuqaha, yaitu juru bicaranya para fuqaha.
Julukan ini kiranya tidak berlebihan, sebab beliau adalah istri Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam, yang sudah pasti mengetahui banyak seluk beluk soal fi’li (perbuatan) Nabi ketika ada di rumah. Mayoritas hadis-hadis yang diriwayatkan olehnya, adalah sunnah fi’liyah, misalnya hadis tentang tata cara berwudhu, shalat, haji dan lain sebagainya. Tak urung, ada sekitar 2.210hadis yang diriwayatkan oleh beliau.
Di antara 7 sahabat yang meriwayatkan banyakhadis, Siti Aisyah radhiyallahu ‘anha, menduduki urutan nomor 4 setelah Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan Anas bin Malik. Tiga sahabat lain yang banyak meriwayatkan hadis, akan tetapi masih di bawah Aisyah adalah Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, dan Abu Sa’id al-Khudri.
Alhasil, dari sisi periwayatanhadis, Siti Aisyah merupakan sejajar dengan para perawi hadis di kalangan sahabat-sahabat terkemuka lainnya. Yang paling menonjol dari sisi keunggulan hadis Aisyah ini adalah keberadaan hadis-hadits infirad bi al-riwayah (hadis dengan sanad tunggal) dan tidak diriwayatkan sahabat lainnya, karena berkaitan dengan hal-hal yang ada dalam rumah tangga. Jadi, andaikan Siti Aisyah radhiyallahu ‘anha tidak meriwayatkan hadis ini, maka hilanglah sebagian dari riwayat hadis penting dalam khazanah keilmuan Islam dan tidak sampai ke generasi berikutnya.
Di dalam meriwayat hadis, Siti Aisyah radhiyallahu ‘anha sangat ketat dalam memegang redaksi hadis. Ia menolak segala bentuk periwayatan bi al-ma’na. Suatu ketika dikisahkan, ada sahabat Urwah bin Wutsqa datang mengisahkan kepada Aisyah bahwasanya Ibnu Amr bin Ash telah menyampaikan sebuah hadis:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إِنَّ الله لا يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعَاً يَنْتَزِعُهُ من العِبادِ ولَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ حتَّى إذا لَمْ يُبْقِ عَالِمٌ اتَّخَذَ الناس رؤسَاً جُهَّالاً ، فَسُئِلوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا-البخاري
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggengam ilmu dengan sekali pencabutan, mencabutnya dari para hamba-Nya. Namun Dia menggengam ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga, jika tidak disisakan seorang ulama, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka tersesat dan menyesatkan.” (HR: Al Bukhari)
Awalnya Siti Aisyah radhiyallahu ‘anha menolak hadis ini. Sampai akhirnya ketika Ibn Amr bin Ash datang ke Madinah, diperintahkanlah olehnya Urwah bin Zubair ini untuk menghadapnya dan bertanya sekali lagi perihal hadis tersebut. Selanjutnya, setelah Urwah menghadap Ibn Amr, lalu kembali ke Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia menyampaikan bahwa Ibn Amr bin Ash telah meriwayatkanhadis itu dengan redaksi yang sama. Dari sinilah kemudian, Siti Aisyah baru menyatakan, bahwa menurutnya Ibnu Amr itu benar sebab ia meriwayatkan hadis itu dengan tidak menambah atau mengurangi redaksinya. Artinya, riwayat itu bi al-lafdhi dan tidak sekedar bi al-ma’na. (Abdu al-Hamid Mahmud, al-Sayyidah Aisyah: Ummu al-Mu’minin wa ‘Alimatu al-Nisa’ al-Islam, Damaskus: Dar al-Qalam, 1994, halaman 187).
Inilah bagian dari peran penting Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam sejarah periwayatan hadis. Maka tidak heran, bila ia dijuluki sebagai muhaditsatu al-fuqaha’, mu’allimatu al-‘ulama (pengajar para ulama), dan berbagai gelar lainnya yang disematkan padanya. Bahkan para sahabat perawi hadis lainnya juga turut mengaji kepadanya, seperti halnya Sahabat Abu Hurairah dan Anas bin Malik radliyallahu ‘anhum ajma’in.