The Social Dilemma, Cara Media Sosial Mengubah Perilaku Kita Demi Iklan

The Social Dilemma, Cara Media Sosial Mengubah Perilaku Kita Demi Iklan

The Social Dilemma (2020) memberi perspektif asyik soal media sosial

The Social Dilemma, Cara Media Sosial Mengubah Perilaku Kita Demi Iklan

Roger McNamee yang berpengalaman selama 35 tahun menjadi investor teknologi menjelaskan “saat Silicon Valley berdiri 50 tahun yang lalu, mereka menjual perangkat lunak (Software) dan perangkat keras (Hardware). Sepuluh tahun terakhir, mereka menjual penggunanya.”  Hal ini diperkuat oleh Aza Raskin, mantan karyawan Firefox & Mozilla. Ia menambahkan, “pengiklan adalah pelanggan perusahaan teknologi, kitalah yang dijual. Kemudian dikuatkan oleh pepatah Klasik, “jika kau tidak membayar produknya, berarti kaulah produknya.”

Potongan pernyataan tersebut merupakan bagian kecil rahasia yang diungkap film Dokumenter Social Dilema (2020) yang dirilis Netflix. Film dokumenter tersebut hampir mewawancarai orang penting, pejabat, pegawai teknisi perusahaan teknologi dunia seperti Google, facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp dan lainnya. Film dokumenter ini secara singkat mengungkapkan bagaimana pertumbuhan kemampuan perusahaan media sosial dalam merubah persepsi publik.

Kunci utama dari keberhasilan perusahaan teknologi media sosial mulai terlihat saat tampilan laman mereka berkembang dari sekedar postingan, menjadi semacam persaingan penarik perhatian. Awalnya sosial media digunakan hanya untuk melihat kabar teman dan foto teman anda. Namun secara tidak sadar, setiap orang  sedang bersaing memikat perhatian.

Tipe media sosial seperti Facebook, Snapchat, Twitter, instagram, Youtube, Tiktok, Google, Pinters, Reddit, dan linkedin, adalah perusahan dengan model bisnis membuat orang terpaku di layar. Sebanyak mungkin.

Justin Rosenstein, pegawai teknisi di Facebook dan Google. Ia menyatakan awalnya banyak orang mengira internet gratis. Padahal internet dibiayai oleh iklan. Pengiklan adalah pelanggannya. Anda sebagai user / pengguna adalah produknya. Lebih tepatnya, perhatian kita adalah produk yang dijual ke pengiklan.

Namun hal ini dibantah oleh jaron Lanier. Ia menyatakan penjelasan semacam itu terlalu menyederhanakan. Menurutnya, kita ‘sebagai produk’ bukan benda mati. Yang dimaksud produk adalah aktivitas, prilaku dan persepsi kita. Itulah produknya. Hanya dari sanalah perusahaan teknologi bisa mendapatkan banyak uang. Dengan cara mengubah prilaku, cara berfikir dan jati diri kita.

Shoshana Zuboff, Profesor di Harvard Business School. Penulis The Age of Surveillance Capitalism. Ia menjelaskan mimpi semua bisnis adalah memiliki jaminan keberhasilan saat sebuah iklan dipasang. Bisnis Media Sosial adalah menjual kepastian. Kepastian bisa didapatkan dengan prediksi yang sangat bagus. Prediksi yang bagus dimulai dengan ‘Big data.’ Media sosial memiliki data kita melebihi dari yang kita ketahui. Bagaimana cara kerjanya?

 

Jeff Seibert, pegawai eksekutif Twitter mengakui bahwa setiap tindakan yang kita lakukan dipantau dan direkam dengan hati-hati. Meskipun sederhana, namun inilah perekaman yang paling penting; gambar apa yang kita lihat dan seberapa lama kita melihatnya (Engagement time).

Dari data tersebut dapat dihasilkan pengetahuan mengapa seseorang kesepian, depresi, seberapa lama anda memandangi foto mantan, hingga memantau apa yang kita lakukan ketika larut malam. Hal ini bisa mengembangkan prediksi kepribadian, apakah anda introvert atau ekstrovert. Model bisnis ini telah membawa internet menjadi bisnis triliun Dollar yang membawanya menjadi perusahaan terkaya dalam sejarah kemanusiaan.

Membatasi propaganda

Pada umumnya, media sosial akan merekomendasikan setiap postingan, kata kunci, berbentuk video, audio, fanpage, dan grup yang sesuai minat anda. Namun, hal ini bisa berubah apabila suatu page, laman, akun atau video yang diikuti banyak orang dan menjadi viral. Tanpa keterlibatan minat, konten tersebut bisa tiba-tiba muncul dalam beranda anda.

Langkah awal, tentu saja membatasi notifikasi. Hal ini bisa diatur dalam pengaturan smartphone anda sendiri. Anda bisa mematikan notifikasi. Baik yang muncul dalam layar depan maupun notifikasi yang muncul pada simbol aplikasi media sosial. Kedua, melakukan pembersihan pertemanan secara berkala. Hal ini berguna untuk membatasi anda melihat postingan atau terlibat dalam suatu konten yang tidak sesuai dengan ‘minat’ asli anda atau konten yang dipropagandakan oleh akun robot (buzzer).

Ketiga, masih pembersihan beranda, upayakan agar kita merubah algoritma newsfeed dengan cara mengunjungi akun/ page yang anda sukai atau anda anggap penting. Klik tombol love/ like sebanyak tiga sampai lima postingan pada beberapa page. Hal ini untuk memperkuat data minat anda dalam suatu postingan sehingga logaritma minat anda di dalam sosial media kembali seperti sedia kala.

Oleh sebab itu, logaritma semacam ini sering disamakan dengan gaya gravitasi antar planet. Sebagai contoh apabila anda adalah bumi, dan minat anda adalah bulan, newsfeed adalah peredaran tata surya dan hal-hal viral bisa menjadi matahari. Sebab semakin viral suatu postingan, maka ia akan memiliki daya tarik luar biasa sehingga bisa menarik siapapun kedalamnya. Namun juga soal viral, perusahaan media sosial bisa membuat sebuah postingan direkomendasikan secara khusus kepada setiap user yang dianggap memiliki minat yang sama. Viral dengan cara membayar. Biasanya dilakukan oleh pengguna jasa iklan media sosial. Di sinilah kemudian kita merasa disadap.

Pembicaraan bahwa media sosial memata-matai kita melalui smartphone merupakan penjelasan yang terlalu sederhana mengenai cara kerja perekaman dalam media sosial. Media sosial tidak secara langsung memata-matai anda. Mereka hanya merekam aktivitas anda selama membuka aplikasi tersebut bahkan seberapa lama anda menatap sebuah gambar.

Artinya kemampuan memprediksi media sosial semakin hari semakin baik. Sedangkan kita makin terpuruk kesulitan mendapatkan kebenaran informasi.