Naomi berpendapat bahwa perang ideologis seringkali mempersoalkan tubuh perempuan sebagai simbol utamanya, termasuk dalam kasus Islamophobia di Barat. Bahkan perempuan ideal digambarkan dengan standar kepantasan menurut perspektif Barat. Sedangkan hijab ditafsirkan sebagai bentuk penindasan perempuan dan pengekangan seksualitas mereka.
Naomi mengunjungi Maroko, Yordania dan Mesir untuk memahami dan mendalami ini. Menurutnya sikap muslim pada cara berpakaian dan seksualitas tidak berakar pada penindasan namun pada semangat yang kuat untuk membedakan ruang privat dan publik.
Juga tidak benar jika Islam menindas seksualitas perempuan. Namun lebih pada perasaan yang kuat untuk menyalurkannya pada sarana yang pantas yaitu melalui pernikahan, ikatan yang melanggengkan kehidupan keluarga, dan kedekatan yang menjamin sebuah kediaman yang nyaman dan tetap. Menurut saya itu juga seperti menjelaskan bahwa pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah dan mendekat dengan Tuhan.
Pendapat Naomi sungguh menarik, terutama pada upayanya memahami sebuah konteks budaya kelompok tertentu, yaitu Muslim dengan cara membebaskan dari segala kecurigaan yang melingkupinya. Bahkan ketika berada di Maroko, ia juga mencoba mengenakan jilbab yang menutupi seluruh bagian tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan.
Ia merasa merdeka dalam cara tertentu. Ia tak menyangkal, mungkin karena ia perempuan Barat. Perasaan Naomi saat itu sama persis dirasakan oleh beberapa teman saya yang akhirnya memutuskan memakai jilbab. Mungkin lebih tepatnya bukan merdeka, tapi sebuah kedekatan, manifestasi dari nilai spiritualitas dan religiusitas.
Di Indonesia, saya meyakini konteks dan penjelasannya lebih kaya bahkan untuk beberapa kasus tertentu cenderung lebih rileks dengan fenomena jilbab yang modis. Walaupun ketegangan dan ketakutan tentang fenomena jilbab — bahkan sampai sekarang terutama untuk cadar –sempat mendera pada masa Orde Baru yang akhirnya melahirkan protes dan jilbab diijinkan di ruang publik hingga sekarang.
Saya juga percaya bahwa jilbab tidak homogen atau tidak dimaknai secara monolitik hanya milik perempuan. Selain berkaitan dengan pertarungan sosial, ekonomi, dan politik sebuah kelompok, jilbab juga bagian dari produk kebudayaan yang kompleks dan terus berkembang. Contohnya fenomena beberapa daerah yang memberlakukan syari’at Islam. Bahkan kawan saya bercerita bahwa ia tidak bisa masuk Masjid Baiturahman Aceh karena mengenakan celana, yang menurut penjaga Masjid, menyalahi aturan berpakaian Muslimah.
Untuk itu memahami konteks ini penting membuka dialog dan mendengar secara jernih. Karena jilbab seringkali disikapi sangat personal oleh mereka yang memakainya. Namun tentu saja kita harus tegas menentang segala bentuk pemaksaan yang mengatasanamakan agama dan kebencian terhadap tubuh dan seksualitas perempuan.
Ah, kok jadi serius sekali ya, saya hanya ingin berefleksi bahwa ternyata motivasi cantik adalah bagian dari pembentukan budaya, nilai dan estetika manusia, walaupun di dalamnya terdapat pertarungan nilai ideologis yang sangat kental.
Selama ini, kritik telah banyak dialamatkan pada industri kecantikan yang menyeret perempuan terjerembab industri pornografi yang mengeksploitasi dan menggerus esensi kemanusiaan, khususnya perempuan.
Namun bagai saya, industri kecantikan dalam bentuk kecil seperti salon tetap perlu ada. Karena hal semacam ini adalah alat untuk mengembalikan semangat kehidupan, rileks, fun, untuk hidup yang produktif dan berkualitas, khususnya bagi perempuan.
Wallahu A’lam.
Baca tulisan sebelumnya di link ini.