Pada suatu hari di salon langganan saya, seorang ibu setengah baya, berjilbab minta rambutnya yang mulai memutih dicat menarik. Saya tersenyum mendengarnya sibuk memilih warna yang katanya harus disesuaikan dengan usianya sekarang.
Kapster dan stylist salon yang ada di dekatnya tak luput diminta pendapat tentang pilihan warnanya.
“Saya ini sudah bercucu mbak, jadi tolong kasih pendapat apakah warna ini tidak menyalahi umur saya?” Mendengar itu, beberapa tergelak, termasuk saya.
Ketika saya bertanya, mengapa ia tertarik mewarnai rambutnya padahal ia berjilbab, ia mengatakan, “Ah saya ingin menikmati hidup, menyenangkan diri sendiri. Rasanya fun, tidak sepenuhnya hanya untuk suami.” Jawaban persis disampaikan oleh kawan saya yang berjilbab, yang rambutnya ternyata indah dengan warna semu abu-abu.
Pengamatan ini membuat saya jadi teringat pada buku yang belum selesai saya baca, novel non fiksi karya Geraldine Brooks, yang berjudul Nine Parts of Desire: The Hidden World of Islamic Women.
Brooks adalah wartawan asal Australia yang menghabiskan 6 tahunnya di beberapa negara di Timur Tengah. Ia mengamati bahkan berinteraksi langsung dengan kehidupan perempuan di Timur Tengah, salah satunya Iran.
Dalam salah satu bagian bukunya itu, ia bercerita bertemu dengan istri almarhum Imam Khomeini, Khadija. Ia sangat terkejut dengan penampilan Khadija saat di rumah. Ketika cadarnya dibuka, ternyata rambutnya berwarna se-oranye wortel.
Begitu juga ketika ia bertemu dengan sekelompok perempuan pejuang Hezbullah Lebanon yang mengundangnya minum teh, tak disangka mereka berpenampilan cantik di luar cadarnya, rambut keriting indah bagai asap rokok yang bergulung-gulung.
Baju sutra tipis dengan potongan kerah leher rendah ke bawah, bahkan salah satu perempuan sedang berbaring santai dengan baju tidur satin warna merah menyala. Ia menggambarkan para perempuan itu seperti boneka barbie, cantik, bersih terawat, sedangkan di bagian tubuhnya yang lain mulus bebas rambut.
Menurut para perempuan yang ditemui Brooks, begitulah Islam mengajarkan ketika para perempuan/Istri di rumah. Mereka harus cantik, menarik bahkan tampil menggoda di depan para suami untuk meningkatkan kehidupan berumah tangga.
Hal ini dikuatkan oleh seorang ulama di Iran, Ibrahim Amini yang mengatakan, berkat cadar, perempuan bisa tenang di rumah karena para suami mereka tidak akan tergoda dengan perempuan lain di luar.
Begitu juga Shabir Akhtar seorang scholar Muslim di Inggris menguatkan dengan pemikiran alternatif yang dianggap rasional, bahwa hijab (cadar, jalabiya atau abaya, jilbab) adalah untuk menciptakan budaya erotis yang sebenarnya bukan kenikmatan seksual yang tidak nyata (artificial) sebagaimana disediakan secara melimpah ruah oleh industri pornography.
Dengan semua alasan itu, Brooks sempat berkesimpulan bahwa ia begitu naif mengira hijab membebaskan perempuan dari tirani industri kecantikan. Tapi ia mengamini bahwa hijab merupakan simbol protes melawan shah dan Barat sebagai sekutu utamanya yang kemudian melahirkan Revolusi Iran yang terkenal itu di tahun ’70-an.
Dan Brooks kesal inti dari diskusi tentang semua hal di atas sesungguhnya terletak pada tubuh perempuan di komunitas muslim yang dianggap berbahaya, harus dikurung terutama untuk menjaga kehormatan para laki-laki. Perempuan harus mengorbankan kenyamanan dan kebebasan untuk pelayanan sempurna bagi seksualitas mereka, kaum laki-laki.
Sayangnya Naomi Wolf, seorang feminis asal Amerika punya pendapat lain (pendapatnya ini dapat dijumpai di Majalah Madina edisi Oktober 2008 hal. 44 – 45).
Bersambung ke bagian dua.