Terlepas dari siapa yang bermain di balik TWK (Tes Wawasan Keabangsaan) KPK RI–sebetulnya juga TWK di lembaga-lembaga lain, termasuk seleksi penerima beasiswa LPDP dan semacamnya, permainan nasionalisme sebagai alat eksklusi pemegang kekuasaan ini sudah kelewatan dan sangat berbahaya jika diterus-teruskan.
Saya sangat memahami kekesalan Mbak Alissa Wahid seperti terbaca di bawah. Saya juga mengenal baik Tata. Sangat menejengkelkan jika pribadi seperti dia, dengan rekam jejak yang panjang dalam gerakan sosial untuk membangun jejaring yang inklusif dinyatakan tak lolos TWK.
Confirmed bagi saya, TWK @KPK_RI mbelgedes. Mbak @tatakhoiriyah staf Humas KPK dinyatakan tidak lolos. Dulu asisten personal saya, keluarga kyai, qunut wolak-walik, sejak muda aktif di NU, ikut merintis & besarkan jaringan @gusdurian, ya kali tidak punya wawasan kebangsaan. 😡
— Alissa Wahid (@AlissaWahid) May 11, 2021
Nasionalisme bukan milik seseorang atau sekelompok orang, bahkan bukan milik negara. Nasionalisme adalah semangat yang tumbuh di kalangan rakyat sebagai ungkapan tanggung jawab kolektif kepada bangsanya. Mengukur nasionalisme pada akhirnya adalah mengukur kesetiaan, bukan terhadap bangsa, tetapi pada rejim yang sedang berkuasa.
Saya pernah menjadi salah seorang reviewer seleksi penerima beasiswa LPDP selama beberapa tahun, antara 2015-2019. Nasionalisme juga dipakai sebagai kriteria seleksi di sana. Tapi nasionalisme tentu adalah suatu pengertian yang sangat abstrak. Karena itu, apa yang dimaksud dengan nasionalisme dan bagaimana konsep itu dipakai sebagai kriteria seleksi sangat tergantung pada anggota tim seleksi. Tak jarang muncul pertanyaan absurd seperti “Apa Anda punya ketrampilan tari daerah?” seolah kemampuan tari daerah bisa dijadikan sebagai ukuran nasionalisme. Sikap yang kritis terhadap isu HAM di Papua, pandangan tertentu tentang LGBT adalah tidak nasionalis, misalnya.
Saya tahu ada banyak anak muda yang sangat potensial akhirnya tak lolos hanya karena sikap politiknya yang kritis. Jika anak-anak yang potensial tak lolos karena dianggap tak cukup nasionalis, bisa dibayangkan apa akibatnya model seleksi semacam itu terhadap masa depan generasi kita. Hanya anak-anak yang penurut saja yang dianggap nasionalis. Penurut terhadap siapa? Buat apa?
Ketika Orde Baru, bentuk lain dari TWK yang dipakai adalah litsus, screening. Intinya itu adalah sarana yang dipakai penguasa untuk mengeksklusi siapa saja yang dianggap kiri (bahkan meskipun samasekali tak kiri), untuk menyingkirkan siapa saja yang dianggap potensial sebagai ancaman terhadap rejim.
Kini TWK dipakai sebagai alat untuk menyingkirkan siapa saja yang dianggap potensi musuh rejim. Jika dulu kiri, sekarang yang dianggap potensial adalah radikalisme agama, kadrun.
Ini adalah gejala otoritarianisme yang tak boleh dibiarkan.
Kaum intelektual (seniman, wartawan, akademisi, rohaniawan, semua) perlu bicara, bukan karena anti terhadap rejim yang sedang berkuasa, tapi justru untuk menjaga agar kesalahan Orba tak diulangi sekarang. Setiap rejim politik selalu berpotensi melakukan kesalahan. Kritik adalah alat kontrol supaya kesalahan itu bisa diperbaiki. Kaum intelektual punya tanggung jawab moral untuk menyuarakan kebenaran yang diketahuinya.
Dulu Orba jadi besar karena orang menutup mata terhadap kesalahan Suharto. Apa yang terjadi? Setelah mesin melaju kencang, sulit dihentikan, bahkan tak bisa dihentikan.
Di belakang setiap rejim ada banyak kekuatan yang ingin meraih dan mempertahankan posisinya dengan cara apa saja dan biaya berapa saja.
Sekali lagi, kritik adalah cara untuk mengontrolnya. Rejim yang anti-kritik adalah rejim yang memang berperangai otoriter. Saya percaya akal sehat kita masih terjaga. Saya juga percaya kaum intelektual masih mampu mengemban tanggung jawab. Saya juga percaya, rejim politik kita mau mendengar suara kebenaran.
*) Dr Ahmad Mundjid, dosen Universitas Gajah Mada