Langit Makassar siang itu tampak mendung. Hawanya sejuk, menghembuskan angin lembut di sela hiruk pikuk kota. Saya berdiri di pinggir jalan, menunggu mobil sewaan yang akan membawa saya ke Parepare.
Ketika mobil Avanza berwarna abu-abu berhenti di depan saya, sang sopir melambaikan tangan ramah. Penampilannya sederhana: jaket lusuh membalut kaos oblong, celana jeans dengan sobekan di lutut, dan senyuman kecil di wajahnya. Tak ada kesan mencolok, namun ada sesuatu yang membuat saya merasa nyaman.
Mobil itu penuh penumpang yang berbeda tujuan. Ada yang turun di Labbakang, daerah kecil di Pangkep, ada pula yang turun di Mangkoso dan Palanro. Namun, yang bikin saya terkesan adalah keramahan sang sopir. Dia mengantar setiap penumpang hingga ke lokasi tujuan mereka, tak peduli seberapa jauh jaraknya dari jalan raya.
Sepanjang jalan sesekali turun hujan. Dengan sabar dan tanpa keluhan, ia menempuh jalan-jalan kecil berliku, seakan-akan semua itu adalah bagian dari tugasnya. Dia bekerja penuh tanggung jawab.
“Bapak, sudah biasa seperti ini ya? Mengantar penumpang sampai ke tujuan?” tanya saya penasaran. Ketika itu penumpang hanya tinggal saya di mobil.
Dia tertawa kecil. “Bukan soal biasa atau tidak, Pak. Kalau bisa bantu orang, kenapa tidak? Jalan ini hanya alat, tujuannya kan bikin mereka sampai dengan selamat.”
Jawaban sederhana itu menghangatkan hati saya. Sebuah prinsip kecil yang sering terlupakan di dunia yang penuh kesibukan.
Namun, pengalaman itu begitu kontras dengan perjalanan sebulan sebelumnya. Saat itu, saya juga menuju Parepare, tapi dengan mobil sewaan lain. Mobil berhenti di Maros setelah saya dan seorang teman menghentikannya di pinggir jalan. Sopirnya tampak necis: wajah licin, rapi, dan penuh percaya diri. Bahkan, salah satu penumpang yang duduk di depan dengan sopir ikut turun dan membantu memasukkan barang saya ke bagasi.
Saya merasa aman. Penampilan sering kali menjadi penentu kesan pertama, bukan?
Mobil melaju lancar hingga tiba di Parepare, tepat di Taman Pahlawan. Di sanalah peristiwa mengejutkan terjadi. Sopir tiba-tiba menghentikan mobil dan berkata datar, “Sudah sampai, Pak. Ini Parepare. Bapak turun di sini.”
Saya tertegun.
“Lho, bukankah biasanya mobil seperti ini mengantar penumpang sampai tujuan?”
“Mobil ini ke Sengkang, Pak. Kalau di Sengkang, saya memang mengantar. Tapi di Parepare tidak,” jawabnya tanpa ekspresi.
Kekecewaan saya memuncak. “Kenapa tidak bilang dari tadi?”
“Kalau Bapak mau ke tempat tujuan, ambil angkutan online saja,” jawabnya acuh tak acuh.
Ia segera menurunkan barang bawaan saya dan melanjutkan perjalanan tanpa menoleh lagi.
Saya berdiri di pinggir jalan. Perasaan saya campur aduk, antara kesal dan menertawakan diri sendiri. Bagaimana saya bisa begitu mudah percaya?
Lalu saya cari angkutan online. Sopir angkutan online akhirnya menjemput saya juga terheran-heran. “Dari mana, Pak? Kok bisa sampai sini?” tanyanya sambil tersenyum simpul. Saya hanya menghela napas panjang, menceritakan pengalaman tersebut padanya.
“Macam-macam saja cara orang cari kesempatan,” katanya pelan.
Penampilan Menyamarkan Kebohongan
Perjalanan ini membuat saya merenung. Kebohongan bukanlah sesuatu yang besar atau kecil, tetapi bagaimana ia disamarkan dengan begitu halus sehingga terlihat seperti kebenaran. Seperti sopir yang menelantarkan saya di Parepare. Kebohongannya begitu sederhana namun berhasil mengecoh. Dia memanfaatkan keluguan saya yang terburu-buru, lalu percaya pada penampilan dan janji awal.
Perenungan saya semakin mendalam. Bagaimana jika kebohongan seperti ini dilakukan mereka yang memiliki kekuasaan besar? Para pemimpin dengan panggung yang kokoh dan simbol-simbol hegemonik memukau? Kebohongan mereka tidak hanya menyesatkan satu atau dua orang, tetapi ribuan, bahkan jutaan orang yang tulus percaya pada apa yang mereka katakan.
Para psikolog mengatakan bahwa kebohongan dapat dikenali melalui ekspresi wajah. Saat seseorang berbohong, otot di sekitar dahi dan pipi lebih banyak berkontraksi, berbeda saat mereka berkata jujur, di mana kontraksi lebih banyak terjadi di sekitar mata dan mulut. Namun, ada pula wajah-wajah yang bisa mengecoh. Wajah polos, simetris, dengan dahi lebar dan kulit halus sering kali dianggap jujur, padahal tidak selalu demikian.
Namun, siapa yang punya waktu mengamati ekspresi wajah dengan saksama?
Dalam kehidupan sehari-hari, kebohongan sering kali lolos karena kepercayaan kita berikan begitu saja. Dan kebiasaan berbohong, menurut para ahli, tidak hanya merusak hubungan interpersonal, tetapi juga berdampak buruk pada kesehatan, termasuk meningkatkan risiko gangguan kecemasan, depresi, bahkan penyakit serius seperti kanker.
Hikmah Perjalanan
Pengalaman ini mengajarkan saya banyak hal tentang kebohongan yang sering kali datang dari arah yang tak terduga. Kadang ia hadir dalam kepolosan wajah, senyum ramah, atau bahkan sosok yang tampak terpelajar.
Namun, kebohongan seperti bayang-bayang menyesatkan. Ia memaksa kita lebih hati-hati, lebih sadar, dan lebih bijaksana menilai orang maupun situasi.
Jalan raya Sulawesi yang membentang dari Makassar ke Parepare seakan menjadi isyarat kehidupan itu sendiri. Berliku, penuh jebakan, namun menyimpan keindahan tersembunyi. Dalam perjalanan panjang itu, saya mengenang sopir pertama yang penuh kejujuran. Ia, dengan sinar kesederhanaan, adalah pelita kecil penerang gelap dunia. Kehadirannya, meski singkat, seperti tetes embun di tengah gurun yang panas.
Namun, dunia tidak selalu seindah itu. Ironisnya, menemukan kejujuran kini terasa seperti mencari berlian di antara gunungan pasir. Ketika secercah kebenaran hadir, ia membawa kehangatan begitu dalam. Rasanya seperti berdiri di depan oasis setelah bertahun-tahun tersesat di padang pasir. Namun, kesadaran pahit segera menyusul: kejujuran adalah kemewahan yang semakin jarang kita temui.
Ada sesuatu yang menakutkan tentang kebohongan. Ia tidak hanya merusak hubungan antar manusia, tetapi juga meninggalkan jejak di dalam tubuh dan jiwa kita. Para ahli mengatakan, kebiasaan berbohong bisa meningkatkan risiko gangguan kecemasan, depresi, bahkan penyakit yang lebih serius. Kebohongan menuntut lebih banyak kebohongan untuk menutupinya, seperti beban berat yang terus-menerus menekan.
Lebih menyeramkan lagi, mereka yang berkuasa sering kali menggunakan kebohongan dengan cara yang jauh lebih memukau. Dengan simbol-simbol hegemonik dan panggung besar, mereka menyelubungi fakta dengan kepalsuan yang terlihat seperti kebenaran. Dalam situasi ini, kita hanya bisa berharap agar tidak jadi mangsanya.
Dan pada akhirnya, perjalanan ini menyisakan rasa getir.
Di tengah kebohongan mengelilingi kita, sesekali kita bertemu dengan secercah kejujuran. Namun, layaknya oase yang jauh di cakrawala, ia hanya tampak sesaat, menghilang ketika kita mendekat.
Hidup terus berjalan, tetapi harapan akan kejujuran itu, sekecil apapun adalah alasan untuk terus melangkah, bahkan ketika langkah-langkah terasa berat dan sia-sia.
*Tulisan ini telah diedit dan dimuat atas izin Helmi Ali