Serasa ada kekuatan yang menggerakkan, tiba-tiba saja Khoe Hok Tiong ingin bergabung dalam kerumunan itu. Setelah sejenak memperhatikan gerakan orang yang berwudhu sebelumnya, seketika itu juga ia turut berwudhu.
Lalu dengan serta merta ia ikut berjamaah salat magrib. Sampai sejauh itu, tidak satu pun di antara jamaah yang mengetahui bahwa ada seorang nonmuslim yang ikut shalat berjamaah bersama mereka. Peristiwa yang terjadi tanpa rencana dan begitu spontan itu, ternyata membuat kesan yang amat dalam pada jiwa Khoe Hok Tiong. Ia baru memahami betapa luhurnya ajaran Islam itu. Hatinya berkata lirih bahwa untuk menghadap Tuhannya orang Islam harus benar-benar dalam keadaan bersih.
Beberapa hari berikutnya, pandangan mata Khoe Hok Tiong seperti ada yang mengarahkan. Selama beberapa hari, secara kebetulan, ia selalu saja menjumpai masjid di mana pada saat itu bertepatan dengan kumpulan orang yang sedang berwudhu.
Semua yang dilihat itu, terekam jelas di otak Khoe Hok Tiong. Dan, pada malam hari, kembali menjadi bahan renungan. Renungan yang menyejukkan hati.
Hatta, pada suatu hari Khoe Hok Tiong melihat seorang memakai kopiah hitam. Sebetulnya ini hal yang biasa. Tetapi, entah mengapa, pada hari itu ia begitu terpesona.
Ia membatin, alangkah agung dan wibawanya orang itu. Mengapa tidak semua orang Islam berkopiah. Padahal, alangkah baiknya kalau semua orang Islam memakai kopiah. Biar tampak agung dan berkharisma. Beberapa hari kemudian, ia kembali menjumpai hal yang sama.
Akhirnya, Khoe Hok Tiong benar-benar terpikat kopiah hitam. Walhasil, ketika singgah ke sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta, ia pun membeli kopiah hitam. Dan, langsung dipakai. Tak ayal, perilaku Khoe Hok Tiong mengundang tanya pada setiap orang yang melihatnya. Ada seorang bertampang Tionghoa, dengan penampilan khas seorang eksekutif muda, dan berdasi tetapi memakai kopiah. Dilihat seperti itu, tentu saja Khoe Hok Tiong salah tingkah.
Sejak itu Khoe Hok Tiong selalu berkopiah, kecuali di rumah dan di kantor. Ia masih malu. Tentang kopiah ini, ada satu peristiwa yang menarik. Ketika singgah di pusat perbelanjaan di Jalan Gajah Mada, ia berpapasan dengan seorang gadis cantik. Naluri kelelakiannya tergerak untuk menggoda gadis itu. Apalagi ia seorang duda kesepian. Tentu amat wajar, bukan? Tetapi, ketika ingin menghampiri sang gadis, secara refleks tangannya bergerak menyentuh kopiah yang sedang dipakai. Dan, spontan batinnya pun berujar, aku seorang muslim.
Niat menggoda gadis itu pun diurungkan. Tetapi yang membuat Khoe Hok Tiong kaget bercampur heran, mengapa hatinya dapat berkata “aku seorang muslim”. Padahal pada saat itu ia belum lagi bersyahadat. Kejadian yang seperti itu berulang dua kali, di tempat yang berbeda. Malamnya Khoe Hok Tiong tidak dapat tidur. Ia heran memikirkan suara hati yang menyatakan diri seorang muslim, padahal sesungguhnya ia belum menjadi seorang muslim. Tetapi, diam-diam ia bersyukur. Dengan kopiah itu, jiwanya seperti punya kendali. Jalan kehidupannya seperti terbimbing ke satu arah yang pasti.
Hingga pada suatu senja menjelang isya, ketika pulang ke rumahnya di daerah Jatinegara, kebetulan ia melewati sebuah masjid. Entah dorongan dari mana, tiba-tiba kaki Khoe Hok Tiong melangkah masuk ke halaman masjid. Dan, ia kembali ikut berwudhu dan kemudian shalat bersama jamaah masjid itu. Seperti malam-malam sebelumnya, pada malam itu ia kembali merenungi keanehan-keanehan yang dialami. Tetapi, untuk kali ini tekadnya sudah bulat: ingin masuk Islam.
Setelah melewati proses berpikir yang cukup panjang akhirnya Khoe Hok Tiong memutuskan untuk berkonsultasi ke sekretariat PITI (Pembina Iman Tauhid Islam) di Masjid Istiqlal, Jakarta. Setelah mendapat informasi, tekadnya tambah mantap. Ada suatu keanehan yang terjadi setelah pulang dari Masjid Istiqlal. Ketika tiba waktu magrib, ia mendengar alunan azan yang amat merdu.
Setelah azan selesai, telinga Khoe Hok Tiong seperti mendengar bisikan: shalatlah kamu. Ketika menoleh ke kiri dan ke kanan, tidak ada seorang pun di sekitarnya. Ia takjub, dari mana suara gaib itu. Kejadian seperti itu berlangsung tiga kali, pada waktu yang berbeda.
Singkat cerita, pada hari Rabu, 24 Juli 1991, pukul 10.00 WIB, bertempat di sekretariat PITI di Masjid Istiqlal Jakarta, Khoe Hok Tiong mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat. Allahu Akbar.
Setelah resmi menjadi seorang muslim, ia mendalami Islam di Pondok Pesantren Gentur, Sukabumi, Jawa Barat. Oleh Pak Kiai, nama Khoe Hok Tiong diganti menjadi Abdul Rasyid. Selain mempelajari Al-Quran, ia juga giat berzikir. Dengan begitu ia benar-benar telah menemukan kebahagiaan sejati. []
Penulis Saiful Amin Ghofur, Penulis Buku “Mimpi Ziarah ke Makam Rasulullah” (Komarona, 2013)