Tionghoa yang Terpikat Kopiah Hitam, Lalu Masuk Islam (1)

Tionghoa yang Terpikat Kopiah Hitam, Lalu Masuk Islam (1)

Tionghoa yang Terpikat Kopiah Hitam, Lalu Masuk Islam (1)

ANDAI saja Khoe Hok Tiong tak mengalami kegagalan dalam membangun bahtera rumah tangga, mungkin kisah hidupnya akan berbeda dari sekarang. Akibat kegagalan itu Khoe Hok Tiong bisa menyerap betapa damainya kehidupan. Siapa Khoe Hok Tiong?

Dia adalah seorang warga Indonesia, dengan kekentalan Tionghoa. Ia bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta menempati posisi Sales and Marketing Manager—sebuah jabatan yang prestisius. Meski demikian, ia memikul tanggung jawab besar dalam bidang penjualan dan pemasaran.

Kisaran tahun 1989, karir Khoe Hok Tiong berangsur suram. Ada saja persoalan yang menderanya. Apalagi sebagai  manajer penjualan dan pemasaran, dirinya sering dituntut untuk mengambil keputusan strategis. Sayangnya, karena sesuatu hal, keputusan yang dia ambil sering tidak tepat, sehingga berdampak besar pada kerugian perusahaannya.

Khoe Hok Tiong tercenung. Dia mencoba mengevaluasi apa penyebab dari semua itu. Ternyata, penyebab terbesar dari kegoncangan pikiran sewaktu bekerja adalah prahara rumah tangganya. Memang, ia menyadari bahwa ketenteraman rumah tangga turut mempengaruhi karir dan produktifitas kerjanya.

Rumah tangga yang dibina sejak tahun 1986 dan sudah membuahkan dua orang putra, mengalami goncangan yang sebenarnya kecil dan sepele, bisa menjadi besar. Rumah rasanya seperti neraka. Karena persoalan rumah tangga itu, kerja pun tidak konsentrasi dan produktivitas pun menurun.

Sebagai kompensasi Khoe Hok Tiong sering keluyuran, sekadar mencari ketenangan batin. Gereja yang sekian lama menjadi tempat yang paling damai ternyata tidak mampu menepis kegundahan hatinya. Anehnya, ia justru menjadi semakin jauh dari gereja.

Prahara rumah tangga Khoe Hok Tiong kian menggila. Karena keduanya sama-sama berkarakter keras, akhirnya keutuhan rumah tangga itu tak bisa dipertahankan. Bahtera rumah tangga itu pun karam di tengah derasnya samudra kehidupan. Bercerai sebenarnya bukan keinginan Khoe Hok Tiong. Walau dalam ajaran agamanya bercerai itu dilarang, tetapi tak ada jalan lain kecuali itu. Meski sejatinya Khoe Hok Tiong merasakan pedih yang memerih, sebab mengingat kedua belahan jiwanya masih kecil. Sebagai ayah, jelas ia amat mencintai anak.

Tetapi apa mau dikata, mungkin sudah suratan takdir. Bulan Januari 1991 Khoe Hok Tiong resmi bercerai dengan istrinya. Kedua anaknya dibawa oleh istri ke Kutoarjo, Jawa Tengah.

Dampak perceraian itu sungguh luar biasa. Khoe Hok Tiong seperti terombang-ambing di atas gelombang kehidupan. Tanpa biduk untuk dikayuh. Tanpa kepastian ke mana akan melangkah. Antara bulan Januari sampai Juni 1991, ia merasa menjadi orang kafir, karena selama enam bulan itu sudah tidak lagi menginjakkan kaki di gereja. Tetapi selama masa “kekafiran” itu, banyak hal aneh yang dijumpai.

Misalnya, ketika pada suatu sore pada bulan Mei 1991, Khoe Hok Tiong berkunjung ke Toko Buku Wali Songo di daerah Kwitang, Jakarta Pusat. Dia heran melihat begitu banyak orang keluar masuk toko buku tersebut.

Penasaran dengan pemandangan itu, ia pun masuk ke dalam toko buku itu. Di sana ia melihat banyak orang membersihkan diri di kran air. Tentu ia tak tahu kalau orang-orang tersebut sedang berwudhu untuk menunaikan shalat maghrib. Tidak lama kemudian terdengar suara azan dari bagian atas. Meskipun sudah pernah ke sana dua tahun yang lalu, tetapi baru hari itu ia tahun bahwa di toko buku itu ada masjidnya. (Bersambung)

Penulis Saiful Amin Ghofur, Penulis Buku “Mimpi Ziarah ke Makam Rasulullah” (Komarona, 2013)