Cerita tentang keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme dari tahun ke tahun menjadi hal yang nyata. Di Indonesia, Dian Novitasari menjadi perempuan pertama yang ikut terlibat secara langsung aksi terorisme. Serta menjadi perempuan yang ditahan oleh pihak kepolisian. Berdasarkan yang dihimpun sudah ada 10 orang perempuan yang menjadi martir bom kekinian di Indonesia. Dari data tersebut, pertanyaan yang tidak bisa dipungkiri bagaimana pendampingan para narapidana teroris perempuan ini ketika di lapas?
Berdasarkan cerita pendampingan yang dilakukan oleh Yayasan Prasasti Perempuan (YPP), tidak jarang para narapidana perempuan ini tertutup kepada para petugas lapas yang berbeda gender. Peran pendamping atau wali perempuan bagi narapidana teroris perempuan lebih dari sekedar tugas. Selain membuat para narapidana teroris perempuan mau membuka diri untuk interaksi, para wali ini juga memastikan kebutuhan reproduksi mereka terpenuhi.
Bukan hanya sebagai pelaku bom bunuh, namun para perempuan ini bertugas di wilayah lain sebagai support system keberhasilannya teror bom tersebut. Saat ini, tidak sedikit perempuan yang dijatuhi hukuman atas tindakan tersebut. Beberapa waktu lalu, Working Group on Women and CVE (WGWC) menggelar agenda WGWC Talk dengan menghadirkan para wali dan pamong napiter yaitu, Nuraini Prasetiawati dan Suci Winarsih.
Cerita suka duka para pendamping narapidana teroris perempuan lenyap ditelan kesibukan hari-hari mereka, dan belum dianggap referensi penting bagi kerja-kerja deradikalisasi. Padahal cerita para pendamping dan wali di lapas ini sangat kaya akan cara-cara khas perempuan dalam membangun jembatan dua dunia yang berbeda dan pertemanan tulus untuk membangun masa depan lebih baik.
Para pendamping ini, secara tidak langsung berkontribusi pada kegiatan rehabilitasi bagi para narapidana teroris perempuan dengan memberikan empati kepada mereka. Walaupun dalam jangka waktu yang relative singkat, para pendamping dan wali ini berusaha mengenal mereka dengan baik. Serta para wali dan pendamping ini telah bekerja keras untuk terus menumbuhan semangat rehabilitasi dan reintegrasi kepada mereka.
Diakui oleh keduanya, sangat sulit mendekati keduanya. Keduanya seringkali memberontak jika para petugas mendekat. Ada banyak dalil yang mereka lontarkan untuk menolak interasi dengan para petugas. Namun, para pamong napiter tidak kehabisa akal. Para pamong mendekati dengan banyak cara, diantaranya memberitahu kondisi orangtuanya para napiter dan dan perkembangan anak-anak mereka.
Namun, terdapat karakter yang sama diantara para napiter perempuan, yakni menolak adanya petugas laki-laki yang datang ke lapasnya. Berdasarkan data yang dihimpun, para pamong dan wali diatur dalam Undang-undang pemasyarakatan pada 2019. Serta untuk penanganan napiter diatur dalam undang-undang terorisme pada 2018. Selain itu, dirinya menjelaskan jika kapasitas lapas di sejumlah tempat sudah melebihi melebihi kapasitas. tahanan dan napi di Indonesia jumlahnya mencapai 271.209 orang, atau setara 106 persen dari kapasitas ruang tahanan. Kondisi ini biasa disebut over-kapasitas. Dari 33 kantor wilayah, hanya Kanwil Yogyakarta, Kanwil Maluku Utara, dan Kanwil Sulawesi Barat yang tidak melebihi kapasitas.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nahe’I jika para wali dan pamong melakukan pendekatan non-diskriminasi kepada para napiter perempuan ini. Belum masuk kepada pendekatan HAM. Keimanan dari para napiter ini belum disentuh oleh para wali dan pamong. Sehingga, sangat penting ke depan untuk membuat roadmap untuk mengukur tingkat ekstremisme napiter ini berkurang. Selain itu, napiter perempuan apakah menjadi korban atau pelaku? Di komnas perempuan ini pernah dibahas, Komnas memandang jika napiter perempuan ketika ditangkap dan ditahan menjadi korban dengan berbagai faktor.
Selain itu, selama melakukan tugas pendampingan kepada napiter dua orang narasumber seringkali mendapatkan doktrinasi dari beberapa orang yang tidak dikenal tentang keislaman. Untungnya, dua orang narasumber tidak terpengaruh oleh pesan singkat tersebut. beberapa pelatihan tentang psikologi sudah para pendamping terima namun untuk masalah keagamaan para pendamping dan wali belum mendapatkan pelatihan. Pandangan keagamaan ini dimaksud untuk bisa menyeimbangi ketika napiter ini mengamuk dan membawa sejumlah ayat al-quran. Khususnya untuk di Bandung, dosen UIN Bandung sempat mendatangi lapas dan hal itu ternyata membuat napiter sedikit terbuka.
Para wali dan Pamong ini juga seringkali memberikan pembekalan bagi para napiter mandiri setelah keluar dari lapas. Misalkan Ummu Hapzah yang menjadi terapi bekam sebagai bekal untuk dirinya keluar dari lapas. Selain itu, Nuraini juga masih sering melakukan pemantauan kepada Ummu Hapzah dan masih berkontak dengan napiter.