Ternyata, Peperangan Masa Rasul Bukan Karena Perbedaan Agama

Ternyata, Peperangan Masa Rasul Bukan Karena Perbedaan Agama

Dari sekian banyak peperangan yang terjadi pada masa Rasulullah, ternyata tidak disebabkan perbedaan agama.

Ternyata, Peperangan Masa Rasul Bukan Karena Perbedaan Agama
Ilustrasi perang Khandaq

Islam adalah agama yang diturunkan untuk umat manusia. Manusia dibelahan bumi manapun, baik secara individu, kelompok, atau bangsa, niscaya akan menghadapi dua kondisi, yaitu perang atau damai.

Melalui Al-Quran dan hadis, Allah SWT memberikan panduan kepada kaum muslimin bagaimana menghadapi salah satu dari dua keadaan tersebut. Dalam Al-Quran banyak ayat bertema perang, dan banyak pula ayat yang bertema damai, begitu pula dalam hadis Rasulullah Saw.

Kaum muslimin harus menggunakan ayat atau hadis tentang perang dalam keadaan perang, begitu juga ayat dan hadis tentang perdamaian. Inilah ajaran islam. Kondisi perang dan damai tercermin pada firman Allah dalam QS. Al-Mumtahanah [60]:8-9

Adalah merupakan suatu kesalahan, jika ayat Al-Quran dan hadis tentang perang digunakan dalam keadaan damai, atau jika ayat Al-Quran dan hadis tentang damai digunakan dalam keadaan perang.

Dalam sejarah Islam kaum muslimin pernah berperang melawan non-muslim. Bahkan banyak peperangan terjadi antara muslim dan non-muslim. Peperangan tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan agama, melainkan oleh alasan-alasan lain.

1. Perang Badar

Peperangan ini terjadi pada tahun kedua Hijriah antara kaum muslimin yang dipimpin oleh Nabi Muhammad, dengan kaum musyrikin Makkah. Penyebab peperangan ini adalah orang muslim yang hijrah dari Makkah ke Madinah meminta harta mereka dikembalikan oleh kaum musyrikin.

Ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah, mereka meninggalkan harta mereka di Makkah. Harta mereka ini, baik berupa tanah, rumah, maupun ternak dijarah oleh orang musyrikin Makkah. Oleh karena itu, ketika beberapa orang dari kaum musyrikin itu pergi untuk berdagang ke Syam (Syiria), orang-orang muslim meminta mereka untuk mengembalikan harta kaum muslim itu.

Kaum musyrikin itu ternyata tidak mau mengembalikan harta itu kepada kaum muslimin. Mereka malah memberi tahu kepada kaum musyrikin yang ada di Makkah bahwa mereka dalam keadaan bahaya. Sehingga kaum musyrikin Makkah mengirim kurang lebih seribu tentara ke Madinah untuk membantu kaum musyrikin yang akan kembali dari Syam tersebut. Peperangan pun tak bisa dielakkan.

2. Perang Bani Quraidhah yang terjadi pada tahun kelima Hijriah.

Bani Quraidhah merupakan tempat domisili kaum Yahudi. Mereka memiliki perjanjian damai dengan kaum muslimin. Namun, orang-orang Yahudi Bani Quraidhah membatalkan perjanjian itu secara sepihak. Maka Nabi Muhammad diperintah oleh Allah SWT untuk melawan orang-orang Yahudi yang membatalkan perjanjian damai secara sepihak itu.

Lalu pecahlah perang Bani Quraidhah setelah terjadinya perang Khandaq atau Ahzab pada tahun kelima Hijriah. Perang ini tidak disebabkan oleh perbedaan agama antara Islam dan Yahudi, namun karena pembatalan perjanjian perdamaian antara mereka, yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi secara sepihak.

3. Perang Tabuk yang terjadi pada tahun sembilan Hijriah.

Tabuk adalah kota kecil yang berlokasi di sebelah utara semenanjung Arab. Sebab yang melatarbelakangi  terjadinya peperangan ini adalah adanya berita yang sampai kepada Rasulullah bahwa Bizantium telah mengerahkan sejumlah besar pasukan di Syam, serta merekrut Kabilah Lakhm, Judzam, dan kabilah lainnya yang merupakan penganut Kristiani di semenanjung Arab.

Kabilah-kabilah ini berada dibawah kekuasaan Imperium Bizantium. Sebagian dari mereka telah tiba di wilayah Balkan, maka Rasulullah memerintakan kaum muslimin untuk pergi dan memberitahukan tempat perang agar mereka bersiap untuk peperangan itu. Ketika mereka telah sampai di Tabuk, mereka tidak melihat pasukan itu. Pasukan itu telah lari.

Sejumlah besar orang yang telah berkumpul untuk melakukan peperangan tersebut tidak tampak batang hidungnya, sehingga perang pun tidak terjadi. Kemudian datanglah seorang walikota Aylah yang bernama Yuhanah, mengajukan perdamaian kepada Rasulullah dengan membayar jizyah. Hal yang sama juga dilakukan oleh penduduk Jarba’ dan Adzrah, mereka membayar jizyah kepada Rasulullah, maka untuk itu Rasulullah menulis perjanjian.

Dapat terlihat disini bahwa sebab peperangan Tabuk bukanlah perbedaan dua agama, Islam dan Kristen, akan tetapi sesuatu yang lain, yaitu keinginan orang-orang Bizantium yang hendak menyerang kaum muslimin.

Tiga peperangan ini hanya sebagai contoh saja, banyak lagi peperangan lain di mana perbedaan agama bukan menjadi sebab umat Islam memerangi orang-orang non-muslim.

Perbedaan agama, menurut ajaran Islam, bukanlah menjadi penyebab terjadinya perselisihan antara penganut agama. Jika peperangan atau pertempuran terjadi pada masa yang akan datang antara mereka, alasannya adalah masalah lain, bukan perbedaan agama.

Salah satu mertua Nabi adalah Huyay bin Akhtabal-Nadhari. Dia adalah pemimpin Bani Quraidhah dan beragama Yahudi. Putrinya yang bernama Shofiyah dinikahi oleh Nabi. Shofiyah masuk Islam, lalu menjadi Umm al-Mu’minin.

Di sini ada pertanyaan, jika perbedaan agama menjadi pembenar bagi seorang muslim untuk membunuh non-muslim maka mengapa Nabi tidak membunuh mertuanya sendiri? Sampai meninggal dunia, mertua Nabi itu tetap memeluk agama Yahudi. Hal ini pernah diungkapkan ahli hadis Indonesia, KH. Ali Mustafa Yaqub.

Kenyataannya, di Madinah, juga dibanyak tempat di jazirah Arab, non-muslim tetap ada. Di Madinah banyak tinggal orang Yahudi, begitu juga di kota Khaibar. Di Najran, sebelah selatan jazirah Arab, banyak orang Kristen. Di Bahrain dan di daerah timur, banyak tinggal pemeluk agama Zoroaster (Majusi). Dan umat Islam yang dipimpin Nabi Muhammad tidak pernah memerangi atau membunuh mereka.

Ini merupakan bukti kuat bahwa dalam ajaran Islam perbedaan agama bukanlah alasan untuk memerangi atau membunuh penganut agama lain. Sekiranya perbedaan agama menjadi alasan yang membenarkan orang islam membunuh atau memerangi kaum non-muslim, tentulah orang-orang Yahudi, Kristen, Majusi, dan Paganis yang lain yang ada pada waktu itu sudah dibunuh oleh umat islam pada masa nabi. Dan ternyata hal itu tidak pernah terjadi.

Memang ada beberapa ayat Al-Quran dan hadis Nabi yang berbicara tentang perang. Di sisi lain, ada juga ayat-ayat dan Hadis Nabi yang berbicara tentang damai. Seharusnya umat Islam harus mampu menempatkan ayat perang dan damai sesuai kondisinya, bukan malah sebaliknya. Sebagai contoh, temaktub dalam Al-Quran: QS. Al-Tahrim [66]:9.

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.”

Jika hanya mengambil ayat ini, kemudian menerapkannya dalam kehidupan masyarakat dalam situasi damai, maka yang terjadi adalah muncul ideologi ekstrimis atau teroris. Ayat ini harus diterapkan hanya pada situasi perang. Harus dipahami bahwa Islam bukan hanya terdiri dari ayat ini. Banyak ayat bercerita tentang perdamaian antara sesama umat manusia.

Wallahu a’lam.