
Di tengah hiruk pikuk konsumerisme modern, kini justru muncul sebuah arus berlawanan dan terus berkembang: minimalisme. Konsep yang menekankan kesederhanaan dan pemusatan pada hal-hal yang esensial dalam hidup ini mulai menarik perhatian berbagai kalangan, dari individu dengan sumber daya terbatas hingga para miliarder yang memilih hidup bersahaja di balik kemewahan yang mampu mereka raih.
Dalam teori struktur minimalisme Bruce Elkin, disebutkan bahwa kesuksesan terbagi menjadi dua tingkatan. Pertama, kesuksesan materi, yang meliputi uang dan tantangan. Ketika mencapai level ini, seseorang cenderung ingin mengonsumsi segala sesuatu melampaui kebutuhannya.
Seseorang yang terpaku pada tingkatan pertama ini akan terus berkutat dengan konsumerisme. Misalnya, seorang shopaholic, yang ketagihan berbelanja barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Kebahagiaannya seolah hanya bersumber dari belanja barang-barang baru. Namun, setelah beberapa kali pemakaian, kepuasan dan rasa bahagia itu sirna, sehingga mendorongnya untuk terus mencari komoditas anyar demi meraih kembali sensasi serupa.
Kedua, tingkatan sukses yang jauh melampaui materi, yaitu fokus pada kedalaman spiritual, kualitas waktu yang bermakna, serta harmoni dengan lingkungan. Individu yang mencapai level ini cenderung memilih kesederhanaan dan gaya hidup minimalis sebagai perwujudan nilai-nilai yang lebih tinggi.
Dalam konteks modern, fenomena ini tercermin pada tokoh seperti Mark Zuckerberg, salah satu CEO terkaya di dunia yang justru memilih hidup bersahaja. Zuckerberg kerap tampil dengan pakaian dan penampilan sederhana. Dalam sebuah wawancara, penemu Facebook ini menyatakan bahwa ia tidak biasa membeli pakaian yang mahal. Milyarder ini bahkan tinggal di apartemen yang hanya memiliki satu kamar tidur, dengan kasur yang tergelar di lantai, tanpa ranjang mewah. Ia bahkan bekerja di meja kerja kecil seperti karyawan lainnya.
Jauh sebelum popularitas minimalisme di era modern, teladan agung tentang kesederhanaan telah dipraktikkan oleh Rasulullah Saw. Nabi umat Islam ini dikenal dengan kepribadiannya yang sederhana. Nabi umat Islam ini dikenal dengan kepribadiannya yang jauh dari kemewahan duniawi. Andai beliau menghendaki, niscaya beliau hidup dalam gelimang harta, mendiami istana megah layaknya raja, beristirahat di ranjang empuk, dan menikmati hidangan istimewa setiap saat. Namun, pilihan beliau justru sebaliknya. Beliau memilih rumah yang sempit, bahkan saat shalat sunnah, kaki beliau pernah bersentuhan dengan istrinya yang sedang tidur.
Umar bin Khattab Ra pernah berkunjung ke rumah Nabi Muhammad Saw. Kala itu, Umar melihat ada bekas guratan tikar di tubuh Nabi. Sahabat mulia itu pun tak kuasa menahan air matanya. Ia begitu sedih karena Nabi hanya tidur di alas kasar yang menyebabkan bekas pada tubuhnya, padahal beliau adalah utusan Allah.
Riwayat dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi mengisahkan bahwa Rasulullah tak pernah menikmati tepung halus sepanjang hidupnya, menandakan betapa sederhananya makanan beliau. Keluarga beliau pun, sebagaimana dituturkan dalam hadis, tak pernah merasa kenyang dari gandum selama tiga malam berturut-turut. Aisyah ra. bahkan mengenang masa-masa ketika dapur rumah tangga Nabi ﷺ tak mengepul selama satu hingga dua bulan, bertahan hidup hanya dengan kurma dan air.
Pernah suatu hari Rasulullah Saw bertanya kepada istrinya, Aisyah “Apakah ada makanan?” namun sang istri menjawab bahwa di rumahnya sedang tidak ada makanan. Maka, Rasulullah Saw pun memilih untuk berpuasa.
Apabila kita berpikir bahwa Nabi melakukan hal demikian lantaran ia miskin, tentu saja tidak. Nabi Saw sudah biasa bekerja keras sejak kecil. Ia dikenal sebagai pedagang sukses yang mampu mengelola laba besar. Rasulullah mampu membeli tanah milik Sahal dan Suheil di Madinah. Di atas tanah itulah kemudian masjid Nabawi dibangun dengan kokoh. Rasulullah Saw juga memberikan mahar yang tinggi kepada istri-istrinya, yakni sebesar 500 dirham. Di samping itu, Rasulullah Saw kerap kali mendapatkan berbagai hadiah dari para raja. Beliau juga memiliki kebun di Madinah.
Nabi Muhammad Saw bisa saja menghabiskan harta kekayaannya untuk kepentingan pribadi. Namun beliau justru lebih memilih banyak bersedekah dan mengeluarkan hartanya untuk kepentingan Islam.
Mengacu pada teori minimalisme Elkin, kesuksesan yang diraih Rasulullah ﷺ jelas berada pada tingkatan kedua. Beliau telah melampaui obsesi pada kesuksesan materi dan duniawi, dan fokus sepenuhnya pada pencapaian ketenangan spiritual yang hakiki. Beliau memilih kesederhanaan dalam kehidupan dunia, namun hatinya kaya dengan keimanan dan kedekatan kepada Allah SWT.
Esensi minimalisme yang dicontohkan Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa hidup dengan lebih sedikit materi justru membuka ruang untuk lebih banyak hal yang esensial: kedalaman spiritual, waktu berkualitas, hubungan yang bermakna, dan kontribusi positif pada lingkungan serta masyarakat.
Beliau membuktikan bahwa kebahagiaan dan ketenangan batin sejati tidak terletak pada akumulasi harta, melainkan pada kesadaran akan kebutuhan yang sebenarnya dan fokus pada tujuan hidup yang lebih luhur. Dengan meneladani kesederhanaan Rasulullah ﷺ, kita belajar bahwa “kurang adalah lebih” (less is more) dan bahwa kepuasan sejati bersemi dari hati yang kaya, bukan dari harta yang melimpah.
(AN)