Terkadang Kita Memang Kerap Salah Memahami Hijrah

Terkadang Kita Memang Kerap Salah Memahami Hijrah

Yuk introspeksi, sudah benarkah kita berhijrah

Terkadang Kita Memang Kerap Salah Memahami Hijrah

Belakangan kata “hijrah” menjadi bahasa yang khas digunakan oleh sebagian muslim perkotaan yang berusaha mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik, taat dan bertakwa. Dalam ajaran Islam, praktik seperti ini bukan disebut dengan “hijrah”, melainkan “taubat”.

Kata “hijrah” dalam kamus bahasa Arab Lisanu al-‘Arab karya Ibnu Mandhur (w. 711 H) diartikan dengan “keluar dari satu tempat ke tempat lain” (al-khuruj min ardl ila ardl). Imigrasi Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah disebut dengan “hijrah” karena Nabi Saw meninggalkan Makkah, dalam arti keluar darinya, berpindah menuju Madinah, yakni keluar dari satu wilayah untuk menempat di wilayah lain. (1414 H: V, 251).

Hijrah dengan arti demikian, yakni meninggalkan satu tempat untuk menetap di tempat lain dalam Islam dianjurkan, bahkan dalam keadaan tertentu wajib apabila di tempat yang pertama atau wilayah yang ditinggali terdapat kemaksiatan dan kezaliman yang merajalela sementara seseorang tidak bisa menghentikannya. Maka dalam hal ini ia dianjurkan untuk hijrah, yakni berpindah meski harus meninggalkan harta bendanya.

Dalam al-Quran kata “hijrah” dengan beragam derivasinya disebut sebanyak 31 kali. Semuanya mengandung arti meninggalkan keburukan yang melekat pada sesuatu atau keadaan yang berada di luar diri seseorang, yakni keburukan atau kezaliman berada di dalam konteks atau perilaku orang lain, bukan berada pada dirinya sendiri.

Misalnya dalam QS. An-Nisa 34 yang menjelaskan tentang istri yang membangkang terhadap janji atau kesepakatan di dalam pernikahan disebutkan “wahjuruhunna fi al-madlaji’” (tinggalkanlah mereka di tempat tidur), “wa-hjuru” derivasi dari kata “ha-ja-ra” dalam ayat ini berarti “meninggalkan” istri yang berperilaku buruk, yakni menyalahi aturan. Keburukan di sini bukan dilakukan oleh suami yang diperintahkan untuk “hijrah” atau meninggalkannya, tapi istri yang ditinggalkan. Jadi keburukan berada “di” dan datang “dari” luar orang yang hijrah.

Contoh lain dalam QS. Al-Baqarah 218, QS. Ali Imran 190, QS. Al-Anfal 72 dan lainnya yang disebutkan dengan “al-ladzina hajaru” (orang-orang yang berhijrah), kata “hajaru” digunakan untuk menunjukkan makna para sahabat Nabi Muhammad Saw yang meninggalkan Makkah karena diusir atau menghindari kezaliman penduduknya. Kezaliman dan keburukan di sini bukan dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya yang hijrah, melainkan berada “di” dan datang “dari” luar, yakni orang-orang kafir Makkah.

Jadi kata “hijrah” dalam al-Quran digunakan sebagaimana makna kebahasaannya, yaitu meninggalkan sesuatu, orang atau keadaan yang buruk. Keburukan di sini bukan berada pada orang yang melakukan hijrah, melainkan berada di luar dirinya, baik itu seorang maupun orang banyak atau masyarakat.

Lalu apa istilah yang tepat untuk menunjukkan praktik meninggalkan perbuatan maksiat atau dosa dan berusaha mengubah diri menjadi pribadi yang baik? Praktik demikian dalam ajaran Islam disebut dengan “taubat”. Dalam QS. At-Tahrim 8 disebutkan bahwa orang-orang yang beriman diperintahkan untuk bertaubat dengan sebaik-baiknya (tubu ilallah taubatan nashuha).

Dalam QS. An-Nisa 17 dinyatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan buruk atau maksiat lalu segera bertaubat kepada Allah maka Allah akan menerima taubatnya.