Tere Liye dalam Lanskap Pertarungan Budaya Populer Baru

Tere Liye dalam Lanskap Pertarungan Budaya Populer Baru

Status fesbuk Tere memang tuna sejarah. Ada kepayahan dalam melihat sejarah perjuangan bangsa. Penyimpulan sejarah yang keliru tentu bukan hal yang bijaksana. Tapi menghardik kesalahan dengan kata-kata kasar dan menghinakan lebih tak bijaksana.

Tere Liye dalam Lanskap Pertarungan Budaya Populer Baru

Dalam dua hari terakhir, nama Tere Liye menjadi perbincangan ramai di media-media sosial. Kali ini bukan karena novel-novelnya yang kerap menjadi best seller di toko-toko buku. Bukan pula karena tips-tips percintaannya yang sering menyihir anak-anak muda.

Adalah status Tere di media sosial Facebook, yang memicu kontroversi luas. Begini status lengkapnya:

“…Indonesia itu merdeka, karena jasa-jasa tiada tara para pahlawan–yang sebagian besar diantara mereka adalah ulama-ulama besar, juga tokoh2 agama lain. Orang-orang religius, beragama.

Apakah ada orang komunis, pemikir sosialis, aktivis HAM, pendukung liberal, yang pernah bertarung hidup mati melawan serdadu Belanda, Inggris atau Jepang? Silahkan cari.

Anak muda, bacalah sejarah bangsa ini dengan baik. Jangan terlalu terpesona dengan paham-paham luar, seolah itu keren sekali; sementara sejarah dan kearifan bangsa sendiri dilupakan…”

Beragam kritikan, hujatan, hingga makian pun langsung dialamatkan ke Tere. Umumnya, mereka yang mengritik status tersebut menganggap Tere tak memahami sejarah secara benar. Tere sepertinya lupa, sengaja lupa, atau memang tidak tahu, bahwa sejumlah pendiri bangsa ini adalah orang-orang komunis, berpikiran sosialis, dan menghayati penghormatan atas hak asasi manusia (HAM) sangat mendalam.

Para pengritik pun menyodorkan nama-nama besar pendiri bangsa untuk menyangkal Tere, mulai HOS Tjokroaminoto, Bung Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka, hingga Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi Soekarno. Status tersebut juga dipandang seolah mengandaikan bahwa perjuangan merebut kemerdekaan milik satu kelompok saja.

Sebagai seorang penulis yang karya-karyanya berada di jajaran terlaris di negeri ini, tentu status tersebut sangat ironis. Pun, sebagai seorang penulis bernama besar, publik tentunya berharap sangat tinggi terhadap kapasitas pengetahuan Tere dalam banyak hal dan isu. Terlebih, terhadap isu masa lalu bangsa ini yang sebagian menyisakan keburaman dan sensitivitas, khususnya bila menyangkut komunisme dan sosialisme.

Namun, respons luas dan keras terhadap status Tere di media sosial tersebut sesungguhnya tak lepas dari pertarungan dalam lanskap budaya populer dan pembentukan identitas-identitas sosial baru kelas menengah di Indonesia, khususnya dalam satu dekade terakhir. Tulisan ini hendak mengulik bagaimana posisi penulis kelahiran Sumatera, 21 Mei 1979 tersebut, dalam lanskap budaya baru itu.

Post-Islamisme

Sebagai penulis, Tere Liye adalah hebat. Saya bukan pembaca setia buku-bukunya. Saya hanya mengenal satu buku karyanya yang sempat saya baca tuntas. Judulnya “Negeri Para Bedebah”. Sebuah novel yang mengisahkan sepak terjang para bandit bisnis, yang ber-hangky panky dengan pejabat negara, plus tak ketinggalan bumbu romansanya. Novel yang bagus dan rumit. Banyak hal teknis dunia bisnis yang harus diramu dalam membangun alur cerita yang mudah dibaca awam. Tapi, dia bisa melakukannya. Selebihnya, tentang karya-karya Tere, saya hanya tahu judul buku-bukunya yang sering saya lihat bertebaran di toko-toko buku.

Di luar karya-karyanya, saya hanya tahu Tere dari status-statusnya di media sosial. Itu pun hanya sebatas status-status yang dibagikan oleh teman-teman fesbuk saya. Maklum, saya tidak berteman dengan Tere di media sosial apapun. Umumnya dia memposting tentang tips-tips hidup, percintaan, dan pandangan relijius mengenai ini itu. Ada pula tentang pandangan-pandangan dia terkait isu-isu aktual, seperti soal homoseksualitas, kontroversi isu 65, politik, dan lain sebagainya.

Sepintas, saya melihat dia cenderung kanan. Dia bermain pada sebuah kelompok subkultur keislaman baru yang disebut Ariel Heryanto dalam bukunya “Identitas dan Kenikmatan” dengan istilah Post-islamisme. Sebuah subkultur keislaman yang salah satunya ditandai dengan peningkatan kesadaran membawa simbol-simbol Islam dalam ranah publik, termasuk ke bidang-bidang yang sesungguhnya sekuler. Sebuah identitas kultural baru dalam lanskap islamisme pasca-reformasi, yang membuat film-film bernuansa agamis, seperti “Ayat-Ayat Cinta” meledak tak tertandingi, novel-novel berlatar belakang agama (Islam) diterima luas bak kacang goreng, serta jilbab dan busana muslim lainnya menjadi bagian arus utama dunia fesyen yang berpadu-padan dengan dunia kapitalisme. Sebuah subkultur baru yang sangat tak terbayangkan sebelumnya, di mana syariat yang pada dasarnya puritan, bertemu dengan modernitas yang kapitalistik dan konsumtif. Singkatnya, cara pandang keagamaannya puritan, namun mesra dengan produk-produk sekuler.

Belakangan subkultur ini menjadi sangat mainstream. Mewarnai gaya hidup dan cara pandang generasi muda Islam kelas menengah perkotaan. Sosok-sosok semacam Teuku Wisnu, Laudya Cintya Bella, atau Dude Herlino, dengan penampakan relijius modisnya dengan cepat menjadi panutan, referensi untuk mematut diri di depan cermin maupun pergaulan. Di layar tontonan, ustad-ustad kekinian dan gaul semacam Yusuf Mansyur, Maulana, Felix Siaw, ataupun Aa Gym, adalah panutan yang wajib kutib, like, dan share, bagi mereka. Nah, di ranah literasi, orang-orang seperti Habiburrahman El Shirazy, dan tentunya Tere Liye, adalah pujangga-pujangga yang haus untuk dibaca karya-karyanya. Bagi kelompok ini, penulis-penulis muda yang juga tengah populer namun sekuler, seperti Puthut EA dan Agus Mulyadi, tidak cukup “tampan” sebagai referensi.

Secara politik, kelompok subkultur baru ini umumnya punya stereotipikal yang sama, cenderung kanan akrobatik. Moderat dalam bersyariat, namun puritan saat dihadapkan dengan perbedaan. Tidak menolak formalisme agama, tapi tiba-tiba dapat menjadi nasionalis kaku saat berhadapan dengan isu-isu tertentu, misalnya dalam tarung wacana peristiwa seputar 1965. Pada suatu waktu mereka bisa memuja Erdogan bak rock n roll star, tapi pada saat yang sama bisa terlihat khusyuk dengan UUD 1945 kala terpojok dengan isu-isu HAM. Pada suatu ketika mereka bisa memandang pancasila itu produk sekuler dan kafir, tapi saat lainnya bisa menjadi sangat pancasilais ketika bentrok dengan kelompok yang mereka pandang komunis.

Tokoh-tokoh seperti Felix, Mansyur, dan Tere, sepertinya sadar betul, kelompok subkultur baru ini bukan saja haus sentuhan keagamaan yang kekinian, tapi juga ceruk pasar bisnis yang luar biasa besar. Maka tidak heran, orang-orang tersebut ber-die hard dengan segala logika untuk merawat dan menjaga popularitasya pada segmen ini. Mereka membabar logika, teks, dan tuturan, yang akan disukai oleh umat-umat semacam ini. Rentangnya pun luas, mulai gaya hidup, keimanan, percintaan, politik, hingga sejarah.

Secara pribadi sebenarnya hal ini membuat saya agak terkecoh dengan sosok Tere Liye. Semula, saat membaca novel “Negeri Para Bedebah”, saya membayangkan penulis ini sebagai sosok kritis, dingin, dan sekuler. Ternyata, melihat sepak terjang berikutnya, dia adalah sosok yang sehaluan dengan Yusuf Mansyur cs. Sama terkecohnya saya saat pada awalnya menduga Tere Liye adalah nama seorang perempuan. Padahal, dia adalah seorang laki-laki.

Kelompok kritis

Pada saat yang sama, dalam beberapa waktu terakhir, di negeri ini juga muncul subkultur yang lain. Salah satunya adalah menguatnya kelompok masyarakat yang kritis dan vokal terhadap tren keislaman di atas. Di antara mereka ada yang sunguh-sungguh sekuler, Islam sekuler, liberal, Islam kultural, Islam kiri, dan kiri. Meski ciri umumnya rata-rata liberal, banyak di antara mereka tidak mau dicap sebagai bagian dari gerakan liberal (beberapa di antaranya mendaku diri sebagai anti-liberal).

Kelompok kritis ini biasanya sangat vokal terhadap apa saja yang mereka anggap puritan, fundamentalis, anti-pluralisme, intoleran, dan ahistoris. Sama dengan kelompok yang pertama, kelompok yang kedua ini juga sangat riuh di media sosial. Dibanding yang pertama, kelompok kedua ini umumnya lebih baik secara intelektual, namun kalah pintar dalam membangun akar ke padang rumput kelas menengah.

Pertarungan kedua kelompok ini terjadi di arena medan tempur apapun. Apapun bisa diperdebatkan. Mulai dari isu jilbab, halal-haram, politik, tragedi 65, LGBT, hingga status di media sosial.

Nah, pada titik pertautan yang antagonistik inilah status fesbuk pesohor yang stereotipikal kanan itu harus menemui sebuah resistensi yang sangat keras oleh kelompok kedua. Status yang seolah-olah meniadakan peran pejuang-pejuang berfaham sosialis, komunis, peduli HAM, dalam perjuangan merebut kemerdekaan.  Tidak hanya kritikan yang sifatnya meluruskan, hujatan dan rundungan pun bertebaran. Kata-kata kasar, seperti “tolol” dan “bodoh” pun ditembakkan ke Tere.

Harus diakui, status fesbuk Tere yang saat ini diributkan memang tuna sejarah. Ada kepayahan dalam melihat sejarah perjuangan bangsa. Penyimpulan sejarah yang keliru tentu bukan hal yang bijaksana. Tapi menghardik kesalahan dengan kata-kata kasar dan menghinakan, seperti “tolol”, “goblok”, dan sindiran-sindiran yang menyakitkan, juga lebih tidak bijaksana.

Bagi saya, selama Tere Liye tidak mencalonkan diri jadi presiden, gubernur, bupati, atau jabatan publik lainnya, status fesbuknya tidak layak dirundung berlebihan. Dia bukan Donald Trump. Bukan pula pejabat publik yang memakan uang negara. Dia hanya penulis partikelir. Sama dengan saya. Bedanya saya amatir, Tere profesional, dan tentunya sangat terkenal.

Amnesia sejarah

Pertama-tama kita harus mengakui bahwa bangsa ini mengalami amnesia sejarah yang parah. Maka tidak usah heran, hingga 17 tahun era demokrasi berjalan, pola pikir dan jargon-jargon Orde Baru masih demikian kuat menancap di banyak benak warga di negeri ini.

Terlalu banyak aspek-aspek rumit dan tak menyenangkan sejarah Indonesia yang dihapus sepanjang 32 tahun Orba berkuasa, terutama yang berkaitan dengan peristiwa 1965. Kitab-kitab resmi sejarah dihadirkan dengan narasi yang manipulatif. Sejarah dijejalkan dalam bentuk hitam-putih, baik-jahat, dengan menempatkan Soeharto dan militer sebagai Si Baik, sementara Soekarno, komunis, beserta simpatisanya sebagai si Buruk Rupa.

Wawasan sejarah yang penuh masalah itu bertahan hingga jauh melampaui keruntuhan Rezim Soeharto. Orang Indonesia yang lahir dan dibesarkan dalam dua generasi terakhir, hidup tanpa mengalami pendidikan dasar dan berimbang mengenai sejarah nasional mereka sendiri. Dampaknya kini terlihat, betapa piciknya cara pandang historis sebagian besar anak-anak bangsa di negeri ini, termasuk kaum elite, saat mendiskusikan kontroversi sejarah maupun persoalan mutakhir yang terhubung ke masa lalu.

Pekan lalu, sebuah rangkaian acara diskusi, bedah buku, dan pentas seni bertajuk Belok Kiri Fest  yang akan digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, terpaksa harus dibatalkan hanya sehari sebelum festival dibuka. Kepolisian enggan mengeluarkan izin menyusul protes sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) yang menganggap festival yang digelar kalangan aktivis, mahasiswa, dan intelektual kiri dari berbagi kota di Indonesia tersebut hendak menghidupkan kembali komunisme di negeri ini. Masih banyak lagi kasus-kasus pembungkaman serupa terhadap upaya pelurusan sejarah 65 di negeri ini dalam beberapa tahun terakhir. Ironisnya, sebagian besar pelaku pembungkaman bukan oleh aparat, melainkan organisasi massa. Dalam hal ini, sikap orang-orang seperti Tere Liye adalah bagian dari gelombang resistensi generasi masyarakat tuna sejarah ini.

Karena itu, bagi saya, kesalahan status fesbuk Tere Liye, sama dengan kesalahan banyak warga di negeri ini lainnya: tak punya cukup lingkungan dan bahan pembelajaran sejarah yang benar. Kesalahan ini mirip kesalahan para siswa di sekolah. Pandai ilmu matematika, tapi kurang pintar ilmu bahasa Indonesia. Atau cerdas dalam IPS, tapi bodoh dalam IPA.

Bedanya, Tere adalah orang yang sangat terkenal. Karya-karyanya menjadi panutan anak-anak muda di negeri ini. Kata-katanya banyak diserap bak pujangga. Tak terhitung berapa orang yang mendapat penghiburannya dari rasa patah hati ditinggal kekasih. Jika Agus Mulyadi dan karya-karyanya hanya mampu membuat para jomblo merasa ada temannya. Tere lebih jauh lagi, mampu membuat korban patah hati dan kaum jomblo menjadi beriman dan ingat Tuhan dalam kesendirian. Oleh karena itu, tentunya, kita tak berharap Tere menginspirasi generasi bangsa ini menjadi semakin tuna sejarah.

Namun demikian, kita tentu juga tak berharap, kelas menengah kritis di negeri ini menghabiskan energi hanya untuk mengritik status fesbuk orang. Ada banyak hal yang masih menanti pandangan sikap kritis mereka, terutama terkait persoalan struktural, seperti kian menganganya jurang kaya dan miskin, pengangguran yang makin meluas, kebijakan ekonomi yang cenderung lebih mengutamakan kalangan pengusaha, dan izin pengusaan lahan pertambangan dan sawit yang mengabaikan kelestarian lingkungan serta kesejahteraan rakyat di sekitarnya. []

Mohamad Burhanudin adalah jurnalis dan penulis lepas. Tinggal di Indonesia