Pernahkah anda berburuk sangka kepada Allah? Hayoooo, ngaku saja, pernah, kan? Sama kok, saya juga pernah. Nggak usah malu-malu, bagi yang keimanannya masing mobat mabiot kayak kita, (elu aja kale) buruksangka kepada Sang Pencipta ini “manusiawi”, kok.
Rata-rata manusia suka berburuk sangka pada Allah. Jika belum cukup, manusia akan mencari kambing hitam untuk dipersalahkan. Jika hal ini terjadi, jangan heran bila buruk sagka kepada Allah akan memberikan dampak negatif dalam kehidupan. Ketika ia menyangka bahwa Allah mempersempit rizkinya, hal itu pula yang akan ia alami. Manakala manusia berpikir, kegagalannya akibat dari ini-itu dan ia pada akhirnya hanya sibuk mempersalahkan dan melupakan instrospeksi serta mencari solusi.
Sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang bersuara merdu, Abdullah Ibnu Masud radliyalllahu anhu, dengan bersumpah atas nama Allah berkata, “Tidaklah berprasangka baik kepada Allah, kecuali Dia memberikan apa yang diinginkannya. Sebab, seluruh kebaikan ada di tangan-Nya. Jika seorang hamba berprasangka baik kepada-Nya, sudah pasti Dia akan memberikan apa yang ada di dalam sangkaannya. Sebab, orang yang berprasangka baik kepada Allah niscaya Dia akan mewujudkan apa yang disangkakannya.”
Berprasangka baik kepada Allah, menurut Syaikh Ibn Qadhib al-Ban, salah seorang murid kinasih Syekh Abdul Qadir al-Jailani, mengharuskan seseorang tidak bersedih menghadapi segala masalah dan tidak mengkhawatirkan apa yang akan terjadi. Dalam istilah sekarang, susah senang “woles aja”. Sebab, lazimnya, skenario Allah akan terungkap setelah beberapa peristiwa terjadi dan kita kumpulkan puzzle–puzzle-nya untuk kita renungkan lalu ketemulah hikmahnya.
Berprasangka positif terhadap Tuhan bisa membuat seseorang terlatih untuk selalu berprasangka baik dengan manusia dan situasi yang menimpa dirinya. Dalam masalah rizki, misalnya, ada beberapa orang yang hanya bisa mengutuki nasibnya hingga mempersalahkan Tuhan. Seringkali pula dalam sebuah rizki yang diperoleh, seseorang malah memprotes Sang Pencipta mengapa hanya hanya diberi “segini-segitu”. Padahal, dalam banyak hal, sesungguhnya cara pandang kita saja yang harus diubah mengenai rizki dan apa yang telah kita peroleh agar senantiasa bersyukur. Dengan nada berkelakar, guru saya pernah menyampaikan rasa syukurnya dengan cara yang khas, “Aduhai Gusti Allah, terhampar di hadapan hamba ini, piring dari Cina, garam dari Madura, kangkung dari Mojokerto, nasi dari Sukabumi, bawang merah dari Nganjuk, bawang putih dari Probolinggo, cabe yang diulek jadi sambel berasal dari Jember, kecap dari Sidoarjo, ikan asin dari laut Pacitan, tempe yang diolah dari kedelai dari Jombang, serta krupuk dari Surabaya. Ricecooker pun dari Korea. Betapa hamba adalah makhluk-Mu yang paling kaya, wahai Rabbana!”
Padahal faktor-faktor di atas bermuara pada pikiran. Pikiran negatif hanya akan memperkeruh kondisi jiwa sedangkan pikira positif akan membuka lahirnya hal-hal yang positif. Bila sejak di Jerman BJ. Habibie tidak membuka pikiran positifnya bahwa suatu saat ia akan menciptakan sebuah pesawat canggih saat pulang di Indonesia, mungkin ia hanya menjadi insinyur perkeretaapian di negeri itu. Apabila Rudi Hartono dan Lim Swee King tidak memforsir tenaganya untuk berlatih setiap hari dan tidak memompa pikirannya agar mengharumkan nama Indonesia di kancah perbulutangkisan dunia, mustahil kiranya keduanya bisa menjadi jawara dunia. Keterangan tentang tekad dan optimisme ini ada di biografi kedua tokoh kebanggaan Indonesia itu.
Dalam hal pikiran positif disertai usaha yang positif pula, bisa memberikan pengaruh signifikan pada janin yang dikandung oleh seorang ibu. Ayah Imam Bukhari, Syaikh Ismail, yang merupakan ulama terpandang di zamannya sekaligus juga saudagar kaya, ketika sakit menjelang ajal, ia berpesan kepada istrinya agar mendidik anaknya menjadi pecinta ilmu. Sebab ia yakin bahwa anaknya kelak bakal menjadi seorang ulama dengan reputasi jempolan. Di atas pembaringan itu, ia juga mengkabarkan jaminan bahwa ia tak pernah menafkahi keluarganya dari harta syubhat dan haram. Jaminan kehalalan harta, pikiran positif seorang ayah, kegigihan seorang ibu, disertai dengan kemauan seorang anak inilah yang menjadikan Muhammad bin Ismail al-Bukhari kelak menjadi ulama hadis dengan reputasi mengagumkan.
Benarlah bila dikatakan bahwa pikira positif akan mempengaruhi 80% proses kehidupan kita, sedangkan pikiran negatif cenderung mengacaukan setiap hal yang kita inginkan dan kita harapkan. Kalimat bijak mengatakan, “Sebatang pohon dapat membuat jutaan batang korek api. Tapi satu batang korek api dapat membakar jutaan pohon.”
Melalui contoh-contoh di atas, kekuatan pikiran ini akan mempengaruhi kondisi jiwa dan ruhani seseorang. Maka, saya berharap kita semua menghilangkan kata “tetapi” dalam kehidupan kita. Cara ini saya kutip dari Jamil Azzaini dalam buku “Makelar Rizki”. Kata motivator ini, banyak orang ingin kehidupannya terus berkembang dan tumbuh. Namun setelah berganti bulan atau tahun, banyak dari mereka yang hidupnya tak beranjak membaik. Mengapa? Salah satu penyebabnya adalah karena mereka punya penyakit “tetapi”. Mereka ingin berubah “menjadi”, namun mereka menambahkan kata “tetapi” di belakangnya.
Tahukah Anda, kata tetapi” itu menegasikan atau menghapus kata-kata positif di depannya? Kata tetapi menghalangi seseorang mencapai targetnya. Kata “tetapi” juga menciptakan ketakutan seseorang untuk mewujudkan harapannya.
Contohnya, “Saya ingin bisnis, tetapi modalnya tidak ada.” Pernyataan ini telah menutup berbagai peluang datangnya modal. Pernyataan ini menyebabkan kreativitas bisnis anda musnah. Anda menyalahkan kurangnya modal. Bukan hanya itu, kepercayaan diri Anda untuk menawarkan ide-ide bisnis juga runtuh.
Ada juga yang berkata, “Saya ini ingin menulis buku utuh, tetapi tidak punya waktu luang.” Padahal para ulama dan professor yang sangat sibuk menyisihkan waktu khusus untuk membaca dan menulis, bukan menunggu hadirnya waktu luang.
“Saya ingin segera menikah, tetapi saya…..” nah, kalimat ini yang membuat jomblo semakin berkembang biak dengan cepat, padahal pernikahan bukan ditentukan oleh “tetapi”, melainkan tindakan konkrit.
Dalam pembinaan ruhani juga demikian. “Saya ingin belajar ke ulama yang saya kagumi itu, tetapi saya nggak punya waktu luang, atau “Sungguh, sebelum saya meninggal, saya ingin mewakafkan tanah sekian puluh hektar itu, tetapi saat ini masih saya pakai menanam kedelai.” dan pernyataan lain yang terdapat kata “tetapi” lainnya.
Bila masih demikian, mari kita renungkan sejenak, apa impian hidup kita dan berapa banyak target yang ingin kita capai? Adakah kata “tetapi” di belakangnya? Bila ada, sudah waktunya kita hapus kata tersebut. Sebab kita tak akan mampu meraih apa yang kita inginkan apabila masih ada “tetapi” di belakang harapan-harapan kita.
Wallahu A’lam Bisshawab