Ayat yang menjadi dasar bahwa Islam adalah agama yang sempurna (kâmil) adalah QS Al-Maidah [5]:3. Bagian dari ayat itu memiliki redaksi yang berbunyi: al-yawma akmaltu lakum dînakum (pada hari ini bagi kalian telah Kusempurnakan agama kalian). Ayat ini turun pada hari Jum’at, tahun 10 H, di ‘Arafah, bertepatan dengan Haji Wada’. Sebakda turun ayat ini, tak lama kemudian Nabi Muhammad Saw wafat. Menurut riwayat Ibn Juraij, Nabi wafat 81 hari setelah turunnya ayat itu.
Ayat itu menjadi dalil bagi sebagian umat Islam untuk menunjukkan bahwa Islam sudah sempurna. Islam sudah paripurna sejak masa Nabi Muhammad. Maksud dari Islam yang sudah “sempurna” itu, bagi sebagian umat Islam, kurang lebih ialah: (1) karena Islam sudah sempurna sejak masa Nabi, maka ia tak memerlukan tambahan, apalagi revisi ajaran: Islam tak mengenal progresivitas; (2) Islam sudah sempurna sejak masa itu dan bentuk dari kesempurnaan Islam adalah ia mengatur segala aspek kehidupan.
***
Benarkah asumsi sebagian umat Islam tentang kesempurnaan Islam itu? Penafsiran semacam itu memang ada dalam tafsir klasik. Dalam Tafsir ath-Thabari terhadap ayat itu, ada riwayat tafsir dari Ibn ‘Abbas bahwa pada hari itu Allah telah menyempurnakan Islam sehingga tak butuh lagi akan tambahan (falâ yahtajûna ila ziyâdah abadan). Diceritakan pula, bahwa bakda turunnya ayat itu, Umar menangis. Katanya, “Tiada sesuatu yang telah sempurna, kecuali ia akan beranjak menuju kepada kekurangan” (fainnahu lam yakmul sya’iun illa naqasha). Beberapa riwayat menuturkan, “Setelah ayat ini, tiada lagi wahyu yang turun menerangkan hukum halal-haram.”
Namun demikian, tafsir dari “kesempurnaan” itu ternyata beragam, tidak tunggal, tidak univok—dan dari ayat ini kita mengerti, kata yang dalam pandangan sekilas tampak gamblang sedemikian rupa, ternyata tak bisa serta merta dimaknai secara harfiah.
Masih dalam pemaparan ath-Thabari, ada makna lain dari “sempurna”. Riwayat dari Al-Hakam, Qatadah, dan Sa’id ibn Jubair menyatakan, maksud dari sempurna adalah umat Islam sudah bisa melakukan haji dan orang-orang musyrik sudah tersingkir dari Baitullah. Kita tahu, sejak di Madinah, Mekkah baru bisa diakses kembali oleh umat Islam sejak Pembebasan Makkah. Sebelum itu, mereka tak bisa melakukan haji. Pada hari itulah (al-yawma), umat Islam sanggup “menyempurnakan” rukun Islam kelima itu.
Abu Ja’far menguatkan penafsiran yang kedua itu. Makna sempurna dalam QS 5:3 adalah “menyempurnakan rukun Islam yang kelima”. Sejak hari itu, umat Islam sudah melengkapi rukun Islam.
Pendapat yang demikian ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa ternyata setelah turun ayat itu, masih ada ayat hukum lain yang turun dan itu berkaitan dengan hukum halal-haram. Al-Barra` ibn ‘Azib menuturkan, ayat terakhir turun adalah QS 4:176, dan ayat ini menjelaskan tentang hukum waris kalâlah (orang yang mati tanpa meninggalkan ayah dan anak). Abu Ja’far juga menuturkan bahwa justru wahyu berangsur-angsur turun paling banyak di pekan-pekan menjelang wafatnya Nabi. Ini saya kira argumen kuat, karena kemungkinannya kecil sekali jika selang antara waktu turunnya QS 5:3 sampai wafatnya Nabi sama sekali tak ada ayat yang turun, apalagi itu di hari-hari menjelang meninggalnya Nabi.
Tafsir al-Qurthubi pun menjelaskan demikian. Maksud dari “agama” adalam kalimat “Kusempurnakan agama kalian”, menurut jumhur mufassir, sebagaimana dinukil Al-Qurthubi, adalah “sebagian besar” hukum halal-haram, bukan seluruhnya, sebab kenyataannya setelah ayat itu masih turun ayat tentang riba dan kalâlah. Lebih lanjut, Al-Qurthubi menyatakan, makna dari akmaltu lakum dînakum adalah “telah Kukalahkan para musyrikin, sehingga mereka tak lagi mampu menghadang kalian”. Kita tahu, di masa turun ayat itu, Islam telah menyebar hampir di segala penjuru jazirah Arabia.
Dengan beberapa pandangan itu, maka saya cenderung pada pendapat bahwa QS 5:3 tidak bisa dipakai sebagai justifikasi bahwa Islam adalah agama “sempurna” sebagaimana dipahami sebagian umat Islam masa kini.
***
Persoalannya adalah “Islam sempurna” itu menjadi propaganda politis: untuk memaksakan semua hal harus memakai hukum Islam (dalam pengertiannya yang harfiah dan ahistoris), sebab Islam mengatur segala aspek kehidupan. Hasan al-Banna pernah mengatakan, “Al-Islâm dînun syâmilun yatanâwalu mazhâhir al-hayâh jamî’an; al-Islâmu dînun wa dawlatun” (Islam adalah agama komprehensif, mencakup semua aspek kehidupan; Islam adalah agama dan negara). Adagium “Islam sempurna” itu kemudian berlanjut pada propaganda untuk kembali kepada Al-Quran, sebab Al-Quran sudah menyediakan semua jawaban bagi problematika kehidupan manusia (tibyânan likulli syai’in, lihat QS 16:89).
Pada kenyataanya, kita tak mendapat jawaban detail tentang bagaimana Al-Quran memberikan solusi atas kemacetan lalu lintas, tentang cara menanggulangi banjir, tentang cara mendidik umat Islam agar disiplin dalam antrian, dan lain-lain. Yang ada, Al-Quran hanya memberikan rambu-rambu umum tentang etika.
Diskursus tentang kesempurnaan Islam, bagi saya, adalah Islam ini “sempurna”, sebagaimana pula agama lain, dalam hal menyajikan jawaban tentang persoalan kosmologis (dunia di luar materi, termasuk soal surga-neraka, dan hari kiamat) dan etis (aturan moral universal). Di luar itu, Islam tak memberikan aturan mendetail, dan tak menyeluruh di segala aspek kehidupan.
Salah satu bukti kisah yang telak sebagai sanggahan terhadap “Islam yang sempurna sejak masa Nabi” ialah: di Saqifah Bani Sa’idah, bakda wafatnya Nabi, kaum Muhajirin berdebat dengan Anshar ihwal siapa pengganti Nabi, padahal waktu itu jenazah Nabi belum jua dikebumikan. Kalau Islam sudah sempurna sejak saat Nabi wafat, maka Abu Bakar dan Umar ibn al-Khatthab (wakil Muhajirin) tak perlu berdebat sengit melawan Sa’d ibn Ubadah dan Hubab ibn Munzhir (wakil Anshar) tentang suksesi kepemimpinan pasca-Nabi.